Oleh: Zulfadli Ilmar
Polemik seputar isu “sengketa empat pulau” yang sempat masuk wilayah Sumatra Utara secara administratif, telah memicu kegaduhan nasional. Lebih dari sekadar perdebatan kebijakan, polemik ini memperlihatkan gejala yang lebih dalam—kemungkinan adanya operasi intelijen dalam negeri yang gagal atau justru sengaja dibiarkan liar demi kepentingan politik tertentu.
Dalam negara demokrasi yang masih mengalami tantangan konsolidasi, seperti Indonesia, tidak jarang intelijen digunakan bukan hanya untuk menjaga keamanan negara dari ancaman luar, tetapi juga sebagai alat kontrol isu dalam negeri. Narasi liar tentang penjualan pulau, perjanjian rahasia, hingga intervensi asing yang tidak terbukti secara faktual dapat dimobilisasi sebagai “soft weapon” untuk mendistorsi opini publik, mendiskreditkan kebijakan pemerintah, bahkan menekan lawan politik.
Namun, efek samping dari operasi semacam itu bisa sangat merugikan. Dalam konteks ekonomi, investor—terutama asing—membaca ketidakstabilan narasi sebagai tanda lemahnya tata kelola. Ketika aparat negara, elite politik, dan lembaga intelijen tidak satu suara dalam menjelaskan isu yang sangat sensitif, yang terjadi bukan sekadar kegaduhan media, melainkan krisis kepercayaan terhadap arah kebijakan nasional.
Jika operasi intelijen dalam negeri ini memang bertujuan untuk menjaga kepentingan nasional, maka harus ada garis tegas antara stabilisasi dan manipulasi. Intelijen yang bekerja secara profesional harus mampu meredam spekulasi, bukan justru memperpanjangnya demi keuntungan sempit jangka pendek.
Kegamangan Struktural
Polemik ini layak dianalisis dari perspektif studi intelijen, keamanan non-tradisional, dan ekonomi politik internasional.
Dalam pendekatan teori intelijen politik (political intelligence theory), munculnya narasi yang bersifat disruptif dan tidak tersinkronisasi dengan data formal negara mengindikasikan kemungkinan adanya operasi intelijen dalam negeri yang bersifat preemptif maupun manipulatif. Operasi semacam ini, dalam konteks demokrasi pascareformasi, sering kali bertujuan untuk membentuk preferensi publik, menggeser wacana kebijakan, atau menciptakan ruang manuver politik tertentu.
Namun, kompleksitasnya bertambah ketika efek dari operasi ini tidak hanya menyasar persepsi domestik, tetapi juga berdampak pada persepsi eksternal, terutama komunitas investor asing. Ketidakpastian narasi dan lemahnya penanganan komunikasi publik terkait isu empat pulau telah menciptakan kegamangan struktural yang oleh pelaku pasar dibaca sebagai political risk. Dalam literatur investasi internasional, faktor kepercayaan terhadap tata kelola negara (governance trust) menjadi variabel penting dalam keputusan alokasi modal jangka panjang.
Jika memang benar terdapat upaya pembentukan opini melalui mekanisme intelijen dalam negeri—baik oleh aparat resmi maupun aktor-aktor informal yang memiliki afiliasi kekuasaan—maka kita sedang berhadapan dengan dilema etis dan strategis yang serius. Di satu sisi, fungsi intelijen domestik idealnya difokuskan untuk stabilisasi dan deteksi dini ancaman terhadap kedaulatan.
Namun di sisi lain, ketika narasi yang diciptakan justru menciptakan fragmentasi persepsi dan krisis kepercayaan terhadap negara, maka peran intelijen telah tergelincir ke wilayah delegitimasi sistemik.
Kolaborasi Riset
Bagi kalangan akademisi, penting untuk tidak terjebak pada analisis permukaan berupa siapa menjual pulau kepada siapa. Sebaliknya, kajian ini harus bergerak ke hulu: bagaimana narasi terbentuk, melalui kanal apa ia disebar, siapa yang mengamplifikasi, dan motif struktural apa yang melatarbelakanginya.
Di titik ini, konsep “informational sovereignty” menjadi sangat relevan. Sebuah negara berdaulat bukan hanya dalam hal teritorial dan politik, tetapi juga dalam kontrol terhadap informasi strategis yang membentuk persepsi publik dan global.
Pemerintah dan institusi akademik perlu membangun kolaborasi riset untuk mengaudit cara kerja komunikasi strategis negara, serta mengevaluasi batas etik operasi intelijen dalam konteks demokrasi. Jika tidak, maka operasi semu yang dilakukan atas nama stabilitas dapat berubah menjadi virus yang merusak legitimasi dari dalam—dan menjauhkan kepercayaan yang dibutuhkan untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional.
Di tengah persaingan geopolitik dan kerentanan disinformasi, kredibilitas negara adalah modal strategis. Ketika kredibilitas itu diganggu bukan oleh aktor luar, melainkan oleh sistem internal sendiri, maka ancaman terbesar bukan lagi dari luar pagar, melainkan dari ruang komando.[]
Zulfadli Ilmard, Dosen Studi Hubungan Internasional Fisipol Universitas Malikussaleh Lhokseumawe.