Politik

GeRAK Aceh Gelar FGD terkait Revisi Undang-Undang Pemilu

×

GeRAK Aceh Gelar FGD terkait Revisi Undang-Undang Pemilu

Sebarkan artikel ini

Byklik | Banda Aceh–Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menggelar focus group discussion (FGD) selama dua hari berturut-turut sebagai bagian dari upaya penguatan partisipasi publik dalam proses revisi Undang-Undang Pemilu.

Kegiatan ini berlangsung di D’Kupi Aceh, Banda Aceh, dan menghadirkan beragam pemangku kepentingan untuk memberikan masukan strategis untuk perubahan UU Pemilu, Rabu–Kamis, 25–26 Juni 2025.

Pada FGD hari pertama menghadirkan 30 akademisi dari enam kampus, yaitu UIN Ar-Raniry, USK, Unmuha, Unida, Abulyatama, dan Serambi Mekah. Hari kedua menghadirkan 33 peserta dari kalangan LSM, penyelenggaran pemilu, tokoh agama, praktisi pemilu, lembaga media, komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Aceh dan Komisi Informasi Aceh.

Program Officer GeRAK Aceh, Destika Gilang Lestari, menyatakan bahwa kegiatan ini diselenggarakan untuk menjaring masukan-masukan terhadap perubahan Undang-Undang Pemilu dari berbagai stakeholder di Aceh. Dengan melihat membahas empat hal yang berkaitan dengan sistem pemilu, aktor, manajemen, dan penegakan hukum.

Gilang juga menyatakan, hasil dari masukan-masukan ini akan dirumuskan menjadi daftar inventaris masalah dan position paper yang akan diserahkan langsung kepada Wakil Menteri Dalam Negeri dalam seminar yang akan dilakukan di Aceh pada Agustus.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Zainal Abidin, selaku narasumber menegaskan, pembentukan daerah pemilihan (dapil) untuk seluruh wilayah Aceh perlu dievaluasi dan diubah secara menyeluruh. Menurutnya, sistem pemilu dengan sistem proposional terbuka merupakan bentuk penghormatan terhadap pilihan rakyat.

“Dengan demikian, suara pemilih harus benar-benar dilindungi. Penting juga memastikan bahwa hak pilih seseorang tidak dicabut secara sembarangan,” katanya.

Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa untuk tingkat DPRA, terdapat perubahan pada pembentukan ketentuan Nomor 6 yang sebelumnya berada di ranah DPRK. Ketentuan tersebut berkaitan dengan pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara.

Baca Juga  Komisioner KPU RI Pantau Langsung PSU di Sabang

“Perubahan ini perlu dicermati secara serius karena menyangkut tahapan krusial dalam proses pemilu yang sangat menentukan legitimasi hasil akhir pemilihan,” kata Zainal.

Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN  Ar-Raniry, Ramzi Murziqin, yang juga narasumber menyampaikan dari sisi manajemen pemilu,  pentingnya memastikan setiap tahapan berjalan tidak hanya secara administratif, tetapi juga secara substansi. Ia menyoroti kasus pencalonan seorang kandidat yang diketahui pernah menjadi narapidana, namun tetap lolos dalam proses seleksi.

“Hal ini menunjukkan bahwa proses verifikasi faktual yang seharusnya menjadi penguat integritas pencalonan masih belum berjalan optimal. Ini menjadi catatan penting bahwa ke depan proses verifikasi tidak boleh hanya sekadar formalitas. Verifikasi harus benar-benar dijalankan secara menyeluruh agar tidak sekadar “ada” dalam dokumen, tetapi juga terasa nyata dalam hasil dan kepercayaannya di mata publik,” kata Ramzi.

Sementara itu, Ahmad Mirza, narasumber dari Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh menyatakan, revisi Undang-Undang Pemilu sudah masuk ke dalam agenda Koordinasi Nasional (Koreknas). Namun, hingga kini masih menjadi perdebatan apakah revisi tersebut akan menggabungkan pemilu dan pilkada atau tetap dipisah. Menurutnya, waktu 20 bulan yang dialokasikan sebenarnya cukup jika seluruh pihak yang terlibat benar-benar siap.

“Apakah tahapan pemilu yang panjang ini mampu dipertahankan dalam sistem yang serentak, serta apakah KPU dan Bawaslu siap jika mekanisme tersebut terus dilanjutkan?” kata Mirza.

Di sisi lain, ia mengatakan, sistem presidensial Indonesia justru bisa diperkuat melalui keserentakan ini. Jika pemilu nasional dan pilkada dilakukan dalam satu rezim yang sinkron, maka kohesi antarstruktur pemerintahan bisa lebih terjaga.

Baca Juga  Gubernur Mualem Terima Draft Revisi UUPA, Memuat 8 Pasal Perubahan dan 1 Pasal Tambahan

Namun, wacana tentang pemisahan antara pemilu nasional dan lokal juga mulai menguat. Mirza mengusulkan adanya jeda satu tahun antara pemilu legislatif/presiden dan pilkada, agar tahapan dapat berjalan lebih optimal dan tidak saling membebani.

“Selain itu, praktik politik uang masih menjadi tantangan besar. Dalam beberapa kasus, praktik ini seolah menjadi hal biasa, dan ketika dilaporkan pun masih dianggap urusan KIP semata,” kata Mirza.

Narasumber dari praktisi pemilu dan demokrasi, Marini,  menyampaikan menyoroti permasalahan dalam pelaporan pelanggaran pemilu. Ketika syarat awal pelapor tidak terpenuhi atau tidak memiliki bukti, maka laporan tidak dapat ditindaklanjuti. Akibatnya, justru masyarakat atau pelapor yang akhirnya harus menjadi penyedia informasi awal.

Dalam praktiknya, hal ini menyulitkan masyarakat untuk melaporkan pelanggaran, terutama terkait politik uang. Marini menekankan bahwa dalam pemilu, pelanggaran politik uang seharusnya ditindak tegas, baik untuk pihak pemberi maupun penerima, sebagaimana yang telah berlaku dalam konteks pilkada.

Selain itu, ia menyampaikan bahwa penanganan terhadap pelanggaran pidana pemilu masih belum maksimal. Ia menilai bahwa kasus-kasus pidana pemilu sering kali tidak ditangani langsung oleh lembaga pemilu, melainkan diserahkan kepada aparat penegak hukum.

“Padahal, seharusnya pelanggaran semacam ini menjadi perhatian serius dalam sistem penyelenggaraan pemilu. Kurangnya penanganan yang tegas membuat efek jera terhadap pelanggar menjadi lemah, dan koordinasi antar lembaga juga menjadi kurang jelas,” katanya.[]

Example 120x600