JIKA Anda sedang berkunjung ke ibu kota Provinsi Aceh di Kota Banda Aceh, sempatkan untuk berpelesir ke Museum Aceh di Jalan Sultan Mahmudsyah yang searah dengan lokasi Pendapa Gubernur Aceh di Gampong Peuniti, Kecamatan Baiturrahman. Buang jauh-jauh kesan tentang museum yang kuno dan berdebu. Nyatanya, berkunjung ke Museum Aceh yang berada di Kompleks Rumoh Aceh semakin menyenangkan dengan tata letak yang fresh.
Usia Museum Aceh (Atjeh Museum) sudah genap 110 tahun sejak didirikan pada 31 Juli 1915 di masa Aceh masih berada di bawah kepemimpinan Gubernur Sipil F.W.Stammeshous. Dikutip dari museum.acehprov.go.id, setelah Indonesia merdeka, operasional Museum Aceh secara bergantian dikelola oleh Pemerintah Daerah Tk. II Banda Aceh (1945-1969), Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (Baperis) (1970-1975), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976-2002).
Saat ini, pengelolaan Museum Aceh menjadi kewenangan Pemerintah Aceh. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 10 Tahun 2002 tanggal 2 Februari 2002, status Museum Aceh menjadi UPTD Museum Provinsi Aceh di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh.
Secara umum, koleksi Museum Aceh tergolong atas tiga klasifikasi besar, yaitu koleksi anorganik, organik, dan campuran. Klasifikasi tersebut kemudian terbagi lagi ke dalam 10 jenis koleksi. Saat ini, jumlah koleksi Museum Aceh sebanyak 6.038 item, yang terbagi dalam kategori: geologika, biologika, etnografika, arkeologika, historika, Numismatika & Heraldika, filologika, keramonologika, seni rupa, dan teknologika. Pada Senin, 4 Agustus 2025, byklik berkesempatan mengunjungi Museum Aceh dan berikut beberapa foto-fotonya:
Pengunjung dapat melihat beberapa spesimen hewan yang telah diolah menjadi taksidermi atau opsetan, yakni seni pengawetan dan pengolahan jasad hewan dengan cara penyanggaan dan pengisian sehingga tampak seperti keadaan aslinya saat hidup. Hewan-hewan seperti gajah, beruang (cage), harimau (rimueng) memiliki nilai penting dalam tradisi dan budaya Aceh. Hewan-hewan ini juga berkaitan erat dengan praktik-praktik totemisme di Aceh sehingga keberadaannya tidak hanya dianggap semata-mata sebagai hewan. Sebutan-sebutan seperti “Poe Meurah” untuk gajah atau “Nenek” untuk harimau menunjukkan adanya penghormatan yang tercipta karena hubungan yang selaras antara manusia dengan alam.
Kumpulan teks, syair, Al-Qur’an, dan kitab, juga replika nisan Ratu Nahrasyiyah binti Sultan Zainal ‘Abidin yang ada di Museum Aceh menunjukkan ketinggian ilmu pengetahuan dan kebudayaan Aceh di masa lampau. Makam aslinya berada di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudra, Kabupaten Aceh Utara. Makam tersebut dibuat dari marmer dan dinobatkan sebagai makam terindah di Asia Tenggara sehingga menjadi daya tarik bagi peneliti untuk mengkajinya dari berbagai aspek.
Di Museum Aceh, pengunjung juga bisa melihat dan membaca garis waktu sejarah Aceh sejak era kesultanan, kolonialisme, pramerdeka, pascamerdeka, hingga pasca-MoU Helsinki. Garis waktu ini menjadi magnet tersendiri bagi pengunjung karena dapat melihat Aceh dari sudut pandang yang lebih luas secara global. Selain itu, Aceh juga merepresentasikan kekayaan dan keragaman budaya yang majemuk yang dapat berfungsi sebagai modal sosial.
Melalui koleksi jalur rempah, pengunjung dapat melihat berbagai komoditas rempah, seperti kayu gaharu, cengkih, pala, kemenyan, lada, dan lain-lain. Aneka komoditas ini terbukti telah menjadi penyangga ekonomi Aceh sejak zaman kesultanan. Kekayaan sumber daya alam ini diharapkan terus mendapat perhatian di tengah semangat membangun ekonomi yang berkelanjutan. Lukisan pesawat Seulawah RI-001 yang ada di pameran kontemporer menunjukkan komitmen dan loyalitas bangsa Aceh dalam mendukung terbentuknya Republik Indonesia.