HeadlineHumaniora

Renungan tentang Keberanian dan Kekalahan di Kerkhof Peucut

×

Renungan tentang Keberanian dan Kekalahan di Kerkhof Peucut

Sebarkan artikel ini

Oleh Azhira*

Di tanah Serambi Mekkah, tempat peluru dan doa pernah saling bersahutan, jejak langkah asing kini terbenam di bawah naungan pohon kemboja dan nisan bersilang. Kerkhof Peucut, terletak di jantung Kota Banda Aceh, adalah pemakaman kolonial yang berdiri sunyi di tengah hiruk kehidupan yang terus bergerak. Posisinya persis di samping Museum Tsunami Aceh di Jalan Iskandar Muda.

Di balik gerbang besi tua yang mulai berkarat, lebih dari dua ribu nisan berjajar rapi dalam keteraturan militer. Nama-nama asing terukir pada marmer: Van Dijk, Huygen, Kohler. Mereka datang dari utara, membawa pusaka api dan bendera kebanggaan lalu terkubur dalam tanah yang tak pernah mencintai mereka.

Kisah mereka bermula dari perang panjang yang membelah tanah dan jiwa. Pada akhir abad ke-19, Aceh menjelma menjadi medan pertempuran paling sengit dalam sejarah kolonial Belanda. Perang Aceh bukan sekadar perlawanan bersenjata, tetapi perjuangan mempertahankan kehormatan. Ketika pasukan kolonial datang membawa senapan dan meriam, rakyat Aceh menyambut mereka dengan rencong dan doa. Hutan menjadi benteng, sungai menjadi pelindung, dan tanah menjadi saksi bisu pertarungan.

Aku terdiam di depan gerbang besar, berdiri di antara dua tembok tebal. Di dindingnya, tertulis ratusan nama asing yang terasa asing pula di telinga. Mereka adalah serdadu Belanda yang gugur di bumi Aceh. Langkahku terayun perlahan. Gerbang besi itu berderit saat kudorong, seolah mengucapkan selamat datang pada kenangan yang terlupakan.

Aku datang untuk bertemu seseorang. Sosok pria yang katanya menunggu di dalam. Ia berdiri menghadap sebuah nisan marmer tinggi, matanya menatap diam.

“Pak Adi?” sapaku.

Ia mengangguk pelan. Seorang pamong budaya kelahiran Bandung, kini berusia 40-an. Ia menghabiskan belasan tahun hidupnya mendampingi situs sejarah dari Sumatra Barat hingga Aceh. Saya bersyukur bisa bertemu dengannya akhir tahun 2023 lalu. Tulisan ini saya buat untuk mengabadikan pertemuan itu sebagai kenangan.

“Saya tidak tahu harus merasa sedih atau marah setiap kali menginjakkan kaki di sini,” ucapnya lirih.

“Maksud Bapak?”

“Mereka mati di tanah yang mereka jajah. Tapi justru mereka diabadikan, dirawat, dan dijaga. Sementara banyak makam syuhada Aceh lenyap digilas waktu, terkubur senyap di bawah kota.”

Angin mengibaskan jilbabku. Bau tanah lembap dan harum bunga kemboja menyusup pelan. Kami mulai melangkah, menyusuri lorong pemakaman. Nisan-nisan beragam bentuk tersebar, ada yang megah, ada yang condong ke tanah, seolah lelah menanggung masa lalu.

Kami berhenti di depan sebuah tugu besar bertuliskan huruf Latin: Aan hen die vielen voor het vaderland— bagi mereka yang gugur demi tanah air.

Baca Juga  Indonesia Tetapkan Idulfitri 31 Maret, Arab Saudi 30 Maret

“Tanah air?” batinku. “Apakah yang dimaksud adalah tanah ini?”

Aku bersuara, “Ironis ya. Mereka datang sebagai penjajah, tapi kini justru menyatu dengan tanah yang mereka jajah.”

Pak Adi mengangguk. “Bahkan penjajah pun tak bisa memilih di mana mereka dikuburkan.”

Tiba-tiba ia menunjuk ke arah depan. “Itu makam Jenderal Kohler.”

Mataku mengikuti. Kohler. Nama yang tak asing. Sejarawan mencatat ia tewas tertembak di sekitar Masjid Raya Baiturrahman tahun 1873. Saat jenazahnya diangkat, tembakan masih terdengar dari arah kota.

“Kini, Kohler bersemayam dalam diam, hanya beberapa kilometer dari tempat ia gugur. Masjid itu menjadi simbol keagungan Aceh, sementara Kohler tinggal nama di atas batu,” ujar Pak Adi.

Kami kembali berjalan. Langkah kami terhenti di depan sebuah nisan tanpa nama. Hanya tertulis: “Soldaat No. 144.”

“Saya baru sadar,” ucapku pelan. “Tidak semua dari mereka dimakamkan dengan nama.”

“Banyak dari mereka mati muda, jauh dari rumah. Mereka tak sempat pulang, dan hanya dikenang lewat angka,” katanya.

Lalu ia menambahkan, “Dengan ingatan. Tapi bukan penghormatan. Kita tak menabur bunga untuk mereka. Tapi kita belajar dari kekalahan mereka, dan dari keberanian rakyat Aceh.”

Pintu gerbang Kompleks Kerkhoff. Foto: Azhira

Aku membayangkan tentara muda yang datang dengan harapan menjadi pahlawan, tapi mati oleh hujan peluru, penyakit, atau ketakutan. Tidak semua dari mereka jahat, tapi semua dari mereka salah tempat.

Kami bertemu seorang lelaki paruh baya di ujung lorong, penjaga makam. Ia memperbaiki nisan yang hampir roboh.

“Sudah berapa lama Bapak kerja di sini?” tanyaku.

“Hampir dua puluh tahun. Makam ini tenang, tapi sepi. Yang datang kebanyakan turis atau peneliti,” jawabnya.

Ia tersenyum pahit saat kutanya apakah pernah ada keluarga dari Belanda datang.

“Kadang. Tapi yang paling sering anak-anak sekolah yang belajar sejarah.”

Pak Adi menoleh. “Itulah bedanya. Belanda menulis sejarahnya sendiri. Mereka paham nilai masa lalu. Sampai sekarang pun, pemerintah mereka rutin mengirim dana untuk merawat Kerkhof. Melalui yayasan bernama Stichting Peucut Fonds yang berarti Yayasan Dana Peucut.”

Aku mengangguk pelan. “Sedangkan kita…?”

Pak Adi menarik napas. “Terlalu sibuk menyembuhkan luka, sampai lupa siapa yang terluka.”

Langit mulai mendung. Kami duduk di bangku kecil. Dari kejauhan, azan Zuhur berkumandang, menggema di antara nisan-nisan bisu.

Aku memberanikan diri bertanya, “Pak, adilkah kita marah pada keberadaan makam ini?”

Baca Juga  Antisipasi Lonjakan Pemudik, Dishub Aceh Siapkan 11 Kapal Penyeberangan

Pak Adi tersenyum tipis. “Nak, sejarah tidak selalu adil. Tapi ia juga tak bisa dihapus. Kerkhof ini bukan soal siapa benar atau salah, tapi soal kenangan dan pelajaran. Tentang bagaimana kita memilih untuk mengingat.”

Aku termenung. “Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari tempat ini?”

“Bahwa sejarah bukan untuk memuliakan penjajah. Tapi untuk mengingat luka. Agar tak terulang. Kerkhof Peucut adalah pelajaran tentang keberanian, keyakinan, kehormatan, dan tentang memaafkan tanpa melupakan.”

Rintik hujan mulai turun. Kami berjalan ke gerbang. Angin menggugurkan bunga kemboja. Mereka jatuh perlahan di atas nisan, seperti memberi selimut bagi yang tak pernah sempat kembali.

Pak Adi melanjutkan kisahnya sambil mendekap kedua tangannya.

“Bayangkan, Nak. Pada 18 Mei 1602, jauh sebelum dentum meriam Belanda mengguncang Krueng Raya, Kesultanan Aceh justru tercatat sebagai negara pertama di dunia yang mengakui kemerdekaan Republik Belanda dari Spanyol. Pengakuan itu dituangkan dalam sepucuk surat Sultan Alauddin Riayat Syah kepada Pangeran Maurice van Orange, diantar oleh para laksamana Aceh melintasi samudra.” Ia terdiam sejenak.

“Namun, dua setengah abad kemudian, Belanda kembali ke Aceh bukan sebagai sahabat, melainkan sebagai penakluk, mengusung bayonet dan ambisi kolonial. Seruan itu karam di sungai yang serakah. Madu dibalas tuba.”

“Supaya pepatah ‘madu dibalas tuba’ tidak lagi melekat pada hubungan Aceh–Belanda, Stichting Peucut Fonds mengambil prakarsa mendirikan sebuah monumen untuk Tengku Abdul Hamid.”

Tengku Abdul Hamid ialah ketua delegasi Kesultanan Aceh Darussalam yang wafat di Middelburg pada 10 Agustus 1602 ketika hendak menyerahkan surat pengakuan kemerdekaan Belanda. Dengan monumen itu, Belanda hendak membayar utang sejarah, menghormati utusan yang dulu membantu kelahiran republik mereka, tetapi lama terabaikan.

Pak Adi kembali menatap nisan-nisan Kerkhof, cuaca masih tak bersahabat. Bulir air mulai jatuh di atas nisan berpahatkan huruf Latin. Ia menunduk, suaranya nyaris bisik.

“Lihat, bahkan hujan Aceh pun membasuh musuhnya. Jika saja mereka tahu, di bawah batu ini tertidur serdadu yang negaranya pernah ‘lahir’ berkat secarik kertas dari Sultan Aceh. Begitulah sejarah ia menulis sajaknya sendiri, kadang dengan tinta simpati, kadang darah.”

Mereka yang datang dari jauh, membawa peluru dan perintah, kini menyatu dengan tanah yang dulu mereka jajah. Bersama kekalahan yang mereka tak pernah bayangkan. Mereka mati di sini, tapi tak pernah pulang. Aceh, seperti tanah tua yang bijak, tak mengusir mereka. Tapi juga tak pernah lupa siapa yang berjuang.[]

Penulis adalah siswa kelas XI SMAN 7 Banda Aceh

Example 120x600