Oleh: Akbar Rafsanjani*
Film Beach of the War Gods (1973) disutradarai dan dibintangi oleh Jimmy Wang Yu, mengambil latar masa invasi Jepang ke wilayah Tiongkok pada era Dinasti Ming. Cerita dimulai dengan kedatangan seorang pendekar misterius bernama Hsia Feng (diperankan oleh Wang Yu) ke sebuah desa kecil di pesisir yang sedang berada di ambang kehancuran. Ancaman datang dari sekelompok samurai Jepang yang menuntut desa tersebut menyerah atau dihancurkan.
Melihat ketakutan penduduk dan lemahnya struktur pertahanan lokal, Hsia memutuskan untuk mengambil alih komando dan menyusun strategi perlindungan. Ia mulai merekrut para pendekar dari berbagai latar belakang. Penjual pedang, petarung jalanan, ahli pisau, dan seorang mantan tentara untuk melawan musuh yang jauh lebih terlatih dan bersenjata lengkap.
Alur cerita kemudian berkembang menjadi narasi kolektif perlawanan. Dari konflik internal antarpendekar yang harus belajar bekerja sama, hingga ketegangan moral antara menyelamatkan diri sendiri atau membela tanah kelahiran. Dengan membagi waktu narasi antara persiapan pertahanan dan klimaks pertempuran besar di pantai, film ini membangun ketegangan dramatik yang intens.
Puncaknya adalah sebuah sequence pertempuran panjang dan koreografis, saat kelompok kecil rakyat yang bersenjata bambu dan keberanian harus bertahan menghadapi pasukan Jepang dalam bentrokan brutal di garis pantai. Di balik narasi perlawanan ini, Beach of the War Gods menanamkan pesan patriotisme dan semangat kolektif dengan pahlawan yang bukan hanya bertarung demi kemenangan, tetapi juga demi martabat komunitas.
Di tengah gelombang sinema seni bela diri yang membanjiri Hong Kong dan Taiwan pada awal 1970-an, Beach of the War Gods berdiri sebagai pengecualian yang sekaligus menandai puncak inovasi dalam genre ini. Dibuat setelah kepergiannya dari Shaw Brothers dan dalam peran ganda sebagai sutradara sekaligus bintang utama, film ini tidak hanya menegaskan posisi Wang Yu sebagai pionir sinema kung fu, tetapi juga menghadirkan narasi historis-populer yang sarat muatan politik dan nasionalisme.
Dengan pendekatan estetika yang dipengaruhi Akira Kurosawa, penggambaran musuh yang eksplisit (Jepang), dan struktur naratif yang menggabungkan epos perlawanan rakyat dengan aksi bela diri hiper-maskulin, film ini menyusun sebuah dokumen sinematik yang layak dibaca ulang dalam konteks ideologi pascakolonial dan produksi maskulinitas sinematik Asia Timur.
Wang Yu pertama kali melejit lewat The One-Armed Swordsman (1967), film yang menandai pergeseran besar dalam sinema Hong Kong dari melodrama feminisasi ke aksi maskulin yang kasar, getir, dan berdarah. Namun, prestasi artistik sejatinya terjadi saat ia mulai menyutradarai filmnya sendiri, termasuk The Chinese Boxer (1970), yang menciptakan arketipe pahlawan kung fu tangan kosong, berbeda dari estetika wuxia yang masih mengandalkan pedang dan gaya teatrikal. Beach of the War Gods adalah bagian dari kuartet film masterpiece Wang Yu sebagai sutradara, dan dalam banyak hal merupakan pencapaian visual dan dramaturgi yang paling ambisius.
Dalam film ini, Wang Yu tidak hanya memosisikan dirinya sebagai aktor dan pembawa pesan patriotik, tetapi juga sebagai arsitek pertempuran yang memanfaatkan lanskap, koreografi massa, dan pencahayaan untuk menciptakan sinema perang rakyat. Adegan klimaks di pantai, yang berlangsung nyaris sepanjang separuh film, menyulap bentrokan antarkelompok menjadi perang gerilya berskala besar, dan menjadi salah satu adegan aksi paling megah dalam sejarah sinema laga Asia Timur era 1970-an.
Salah satu aspek paling mencolok dari Beach of the War Gods adalah bagaimana film ini secara eksplisit membangun antagonisme terhadap Jepang, baik sebagai negara maupun simbol imperialis. Dalam sinema Hong Kong dan Taiwan pada masa itu, musuh Jepang adalah konvensi naratif umum, tetapi dalam karya Wang Yu, kebencian terhadap Jepang tidak hanya hadir sebagai latar sejarah, tetapi sebagai energi moral dan motivasi kolektif. Tokoh-tokoh pejuang yang direkrut oleh sang pendekar asing (diperankan Wang Yu) bersatu bukan karena identitas ideologis, tetapi karena kesamaan dendam terhadap kekuatan asing yang ingin menaklukkan Tiongkok.
Kutipan dialog seperti “Normally I get paid for killing, but I figure I can kill a few Japs for free (Biasanya saya dibayar untuk membunuh, tapi saya bisa membunuh tentara Jepang dengan gratis)”, memperlihatkan cara film ini menggabungkan humor sinis, chauvinisme, dan retorika balas dendam dalam satu narasi aksi. Ini adalah politik populis dalam bentuk paling mentah, dan dalam konteks geopolitik pasca-Perang Dunia II, ia mencerminkan aspirasi sinema untuk menjadi alat afirmasi identitas nasional.
Namun, alih-alih sekadar propaganda, film ini menggunakan antagonisme sebagai perangkat sinematik yang produktif, yaitu untuk menyatukan keragaman karakter, memperkuat motivasi dramatik, dan menciptakan penonton yang secara emosional berpihak. Dengan kata lain, anti-Jepang bukan semata kebencian historis, tapi bahasa afektif sinema laga saat itu. Mirip dengan bagaimana film barat Hollywood menggunakan stereotip Nazi, komunis, atau teroris sebagai alat konsolidasi naratif.
Menariknya, Beach of the War Gods memperlihatkan pengaruh besar sinema Akira Kurosawa, terutama dalam skala produksi dan pemahaman sinematik terhadap lanskap sebagai medan ideologis. Perbandingan dengan Seven Samurai (1954) bukan hanya terlihat dari struktur plot (pendekar membantu desa kecil melawan musuh besar), melainkan juga dari penggunaan ruang, hujan, debu, dan gerak kamera dalam menangkap chaos yang terkontrol.
Namun, berbeda dengan Kurosawa yang kerap membiarkan ambiguitas moral terbuka, Wang Yu memosisikan perang sebagai pertarungan jelas antara penjajah dan rakyat. Dalam hal ini, Beach of the War Gods adalah film ideologis, dengan tidak menawarkan refleksi tentang kekerasan, tapi membenarkannya. Ini adalah perang sebagai tindakan etis, dan sinema sebagai bentuk agitasi estetis.
Beach of the War Gods mungkin tidak mendapat tempat dalam kanon sinema dunia seperti film-film Bruce Lee atau karya wuxia lainnya yang lebih populer di Barat. Namun, film ini menandai tonggak penting dalam pengembangan sinema aksi sinofon, dari estetika individu ke kolektif, dari duel antarpendekar menjadi perang rakyat, dari aksi bela diri menjadi bentuk ekspresi nasionalisme kultural. Bahkan film seperti 300 (2006) karya Zack Snyder, dengan premis perlawanan minoritas terhadap invasi besar-besaran tampaknya secara tidak sadar menggemakan spirit film ini.
Melalui sinema, Wang Yu mengartikulasikan satu bentuk keberanian sinematik. Bukan hanya berkelahi, tetapi juga mengambil kendali atas medium. Dengan menyutradarai, memproduksi, dan membintangi film ini, ia tidak hanya menciptakan pahlawan di layar, tetapi juga menunjukkan bahwa sinema itu sendiri dapat menjadi arena perlawanan baik terhadap penjajahan, maupun terhadap sistem industri yang mengekang.[]
Editor: Ihan Nurdin
*Akbar Rafsanjani adalah kurator film, sekarang bermukim di Wisconsin, Amerika Serikat. Baca tulisan film lainnya di akun Letterboxd pribadinya: https://letterboxd.com/akbarrafs/films/reviews/