Politik

Guru Besar USK: Perlu Empati Tangani Sengketa Empat Pulau di Aceh

×

Guru Besar USK: Perlu Empati Tangani Sengketa Empat Pulau di Aceh

Sebarkan artikel ini
Guru Besar USK Prof Humam Hamid

Byklik | Banda Aceh–Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Prof Humam Hamid, turut mengomentari polemik sengketa empat pulau di Aceh Singkil yang kini menjadi milik Provinsi Sumatera Utara. Menurutnya, keputusan Pemerintah Pusat yang dilakukan secara sepihak, yakni tanpa proses dialog yang terbuka dan bermakna, membuat Aceh merasa diperlakukan secara tidak adil.

“Di mata masyarakat Aceh, ini bukan sekadar pengalihan wilayah, melainkan pengabaian atas martabat dan komitmen politik pascadamai. Kasus pengalihan empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara secara administratif tampak sederhana. Namun, bagi masyarakat Aceh, keputusan ini tidak bisa dilepaskan dari dimensi sejarah, politik, dan identitas yang kompleks,” ujar Humam, Rabu, 11 Juni 2025.

Pulau-pulau itu bukan sekadar titik di peta, melainkan bagian dari ruang simbolik yang menyimpan memori konflik, perjuangan otonomi, dan perjanjian damai yang diperoleh dengan pengorbanan besar masyarakat Aceh.

Ia mencontohkan, misalnya, tuntutan Catalonia yang ingin berpisah dari Spanyol tidak semata karena alasan ekonomi, tetapi karena sejarah marginalisasi dan aspirasi kultural yang diabaikan oleh pusat. Masyarakat Catalonia merasa bahwa otonomi yang dijanjikan terus dibatasi, dan keputusan strategis diambil tanpa menghormati aspirasi lokal. Situasi ini memperkuat identitas kolektif dan mendorong resistensi yang kini berlangsung dalam bentuk politik.

Baca Juga  HMI: Pengalihan 4 Pulau Aceh untuk Sumut adalah Pengkhianatan Sistematis Negara

Hal serupa juga terjadi di Skotlandia. Meskipun prosesnya berlangsung dalam kerangka demokratis, dorongan untuk merdeka lahir dari rasa bahwa keputusan penting tentang masa depan Skotlandia terlalu lama ditentukan oleh London.

Setali tiga uang dengan yang terjadi di Mindanao di Filipina selatan. Konflik berdarah selama puluhan tahun terjadi di sana karena negara gagal memahami struktur sosial dan religius masyarakat muslim di Mindanao. Pendekatan militer dan administratif justru memperpanjang kekerasan.

“Aceh memiliki banyak kesamaan dengan ketiga kawasan itu: identitas historis yang kuat, pengalaman relasi timpang dengan pusat, dan kesadaran kolektif untuk mempertahankan harga diri wilayah. Dalam konteks ini, pendekatan legalistik terhadap pengalihan wilayah hanya akan memperdalam kecurigaan. Bila tidak ditangani secara sensitif, keputusan administratif bisa menjadi percikan bagi munculnya kembali narasi resistensi yang lebih luas,” ujar Humam.

Baca Juga  Bawaslu RI Gelar Bedah Buku Srikandi Mengawasi di Aceh

Dalam konteks reproduksi resistensi antargenerasi, pelajaran terpenting bagi Pemerintah Pusat dari kasus pengalihan empat pulau ini adalah urgensi mengedepankan pendekatan empati dibanding semata-mata jalur legal-formal. Di wilayah seperti Aceh, yang menyimpan sejarah panjang konflik dan perjuangan otonomi, keputusan administratif—betapapun sah secara hukum—dapat memicu luka lama jika tidak disertai dengan pemahaman akan makna simbolik dan emosi kolektif yang melekat pada wilayah tersebut.

“Pendekatan empati berarti hadir untuk mendengar, bukan sekadar menjawab; memahami konteks sosial dan psikologis masyarakat, bukan hanya membaca peta dan regulasi,” tegasnya.

Pendekatan empati menuntut negara untuk tidak hanya hadir sebagai pemegang kewenangan, tetapi juga sebagai mitra yang menghargai memori, identitas, dan martabat lokal. Dengan cara ini, kepercayaan publik dapat dipulihkan dan risiko munculnya ketegangan lintas generasi dapat diredam sebelum berkembang menjadi bentuk resistensi baru. []

Example 120x600