Byklik | Banda Aceh—Dalam bulan April ini, dua warga Aceh meninggal dunia dalam keadaan gantung diri. Kejadian ini menambah angka kasus bunuh diri yang dalam beberapa tahun terakhir marak terjadi di Aceh.
Munculnya kasus bunuh diri menimbulkan respons yang beragam dari masyarakat atau warganet. Banyak yang menyayangkan kejadian tersebut, tetapi ada juga yang menyalahkan korban. Misalnya, menyebut korban kurang iman atau pendek akal sehingga mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidup. Namun, patutkah korban disalahkan?
Menanggapi fenomena tersebut, psikolog klinis Rumah Sakit Jiwa Aceh dan dosen psikologi Universitas Muhammadiyah Aceh, Devianti, M.Psi., Psikolog, menjelaskan bahwa tindakan bunuh diri berangkat dari persoalan kesehatan mental. Tidak bisa serta-merta mengaitkan dengan religiositas atau kadar keimanan seseorang. Namun, erat kaitannya dengan ketangguhan atau resiliensi mental seseorang. Juga lingkungan sekitar tempat korban tinggal. Mengatakan korban bunuh diri sebagai kurang beriman menurutnya juga di luar konteks.
“Berbicara soal isu kesehatan mental, khususnya pada kasus-kasus bunuh diri, kita harus melihat dulu penyebabnya apa. Ada berbagai faktor penyebab seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Ini juga bukan tindakan impulsif yang ujug-ujug langsung bikin orang bunuh diri,” kata Devianti saat ditemui di Kampus Unmuha, Jumat, 18 April 2025.
Faktor-faktor tersebut, yaitu faktor psikologis, faktor biologis, dan faktor sosial atau lingkungan. Dari ketiga faktor tersebut, yang paling banyak pemicunya adalah faktor psikologis yang diperparah oleh faktor lingkungan. Sedangkan faktor biologis seperti faktor keturunan atau genetik sangat jarang terjadi.
Perilaku bunuh diri menurutnya bukanlah perilaku yang impulsif. Jauh sebelum melakukan bunuh diri, korban biasanya sudah menunjukkan gejalanya sejak awal. Hanya saja, orang-orang di sekitarnya sering tidak bisa mendeteksinya atau tidak peka (abai). Kurangnya kepedulian dari lingkungan menjadi faktor pendukung perilaku tersebut. Namun, jika lingkungannya kondusif maka kemungkinan tersebut bisa mengecil.
Gejala yang muncul biasanya berupa perubahan perilaku, seperti menjadi murung, performa kinerja menurun, penurunan berat badan drastis, mengalami kelelahan, atau suka menyendiri.
“Orang-orang dengan gejala seperti itu memungkinkan muncul ide-ide untuk mengakhiri hidup. Masalahnya, orang-orang di sekitarnya sering tidak peka atau tidak berempati ketika melihat ada mahasiswa, rekan kerja, atau tetangganya yang punya kecenderungan seperti itu,” kata Devi.
Menerapkan 3K
Menurut Devi, jika kita melihat ada orang-orang di sekitar kita dengan gejala seperti itu, kita bisa menolongnya dengan melakukan 3K. Pertama, menumbuhkan kepedulian pada orang tersebut dengan cara mengajaknya berbicara. Kedua, memiliki keterikatan atau keterhubungan dengan menunjukkan empati, tidak menghakimi, atau tidak melabeli dengan stigma-stigma negatif. Ketiga, mendukung kesehatan mental orang tersebut sesuai kapasitas yang kita miliki atau membantu membawa mereka pada psikolog atau psikiater.
“Jadi, yang perlu kita pahami adalah problem kesehatan mental ini bukan karena seseorang tidak beriman. Ini dua hal yang berbeda. Usia-usia remaja atau dewasa awal disebut juga ‘masa badai’ atau masa transisi sehingga banyak kita lihat korbannya orang-orang dengan usia tersebut,” katanya.
Alih-alih menyalahkan korban, lingkungan sosial menurutnya juga perlu melakukan introspeksi diri, baik secara individu maupun kolektif. Banyaknya kasus bunuh diri di Aceh menjadi alarm bahwa isu kesehatan mental harus menjadi prioritas pemangku kepentingan.[]