Seminggu sebelum tsunami menerjang Aceh pada Minggu, 26 Desember 2004, Ferhat Muchtar berjalan-jalan ke Pasar Aceh. Ia mampir ke sebuah toko buku di Jalan Muhammad Jam, Toko Alif namanya.
Ferhat berkeliling dari satu rak ke rak lainnya. Melihat-lihat sekiranya ada buku yang bisa dibeli barang satu-dua. Saat tiba di rak buku fiksi, ia melihat sebuah buku kumpulan cerita pendek yang dituliskan oleh anggota FLP Aceh dan diterbitkan oleh Gema Insani Press, sebuah penerbit kenamaan di Jakarta. Judulnya Bintang di Langit Baiturrahman. Seketika jantungnya berdegub kencang. Debarnya tak keruan. Ia jadi senyum-senyum sendiri. Salah satu cerita di dalam buku itu adalah karya Ferhat.
“Itulah buku pertama saya yang diterbitkan oleh penerbit. Dulu komunikasi agak sulit sehingga saya tidak tahu kalau buku itu ternyata sudah terbit,” kisah Ferhat, Minggu, 12 Oktober 2025.
Dua puluh tahun berlalu, ia masih berdebar tiap kali mengingat kejutan di toko buku itu. Itu saat ia berada di tahun-tahun terakhir sebagai anak SMA. Sensasi itu masih terasa indah meskipun sudah lama menjadi kenangan.
Mundur jauh ke belakang, Ferhat mulai menulis sejak duduk di kelas lima SD. Di tengah gonjang-ganjing negara yang saat itu sedang dilanda krisis moneter. Empat sekawan, Ferhat dan tiga temannya, lebih suka duduk di pojokan kelas. Saat guru di depan sibuk menerangkan, mereka berempat malah sibuk menulis.
Lembar-lembar kertas mereka berisik dengan kisah fantasi horor yang bercampur misteri. Awalnya mereka menulis untuk iseng, sekadar menuangkan apa yang berjejalan di kepala. Rupa-rupanya cerita mereka malah digandrungi kawan sekelas. Mereka bilang ceritanya asyik dan menghibur. Bahkan oleh teman-teman di kelas sebelah. Hal ini justru memunculkan ide bisnis di kepala empat sekawan itu.
“Kami pun sepakat bikin lis cerita yang bisa disewakan. Siapa yang mau baca cerita kami wajib membayar Rp25 perak per cerita. Besok pagi harus dikembalikan lagi. Dan ‘bisnis cerita’ ini bergulir sampai beberapa minggu,” kenangnya.
Tiga temannya menyerah di tengah jalan. Selain kelelahan menulis cerita, mereka juga keteteran dengan tugas-tugas yang diberikan guru. Beberapa latihan yang diberikan guru terlambat dikumpulkan. Masa-masa itu, guru masih senang memberi kuis sebelum jam pelajaran berakhir. Siapa yang bisa menjawab atau mengumpulkan lebih cepat, bisa pulang lebih dulu. Mereka ini sering kecolongan, padahal keempatnya termasuk murid yang berprestasi. Sering mendapat ranking. Proyek menulis keroyokan itu pun akhirnya tak diteruskan. Namun, tidak bagi Ferhat, kebiasaannya dalam berimajinasi dan menulis cerita semakin menjadi-jadi, bahkan hingga ia duduk di bangku SMP.
Menerbitkan Teller Sampai Teler
Masa-masa itu ia tengah menggandrungi novel-novel horor Goosebumps karya R.L. Stine. Novel-novel ini ia pinjam dari rental buku. Ia juga gemar menonton televisi, sehingga terpapar dengan karya-karya Marga T yang diadaptasi menjadi sinetron seperti Karmila. Kebiasaan ini kembali memicunya untuk membuat buku sendiri. Tulis sendiri, jilid sendiri, bikin kover sendiri. Ia menikmati setiap prosesnya. Buku-buku itu ia bagikan kepada teman-temannya untuk dibaca. Ia juga masih menyimpannya sampai sekarang. Di tahun-tahun terakhirnya di bangku SMP, Ferhat sempat vakum menulis.
Namun, di puncak milenium baru pada tahun 2000, ketika majalah Annida dan Forum Lingkar Pena booming, ia memutuskan untuk kembali terjun ke dunia menulis. Ia pun memutuskan untuk menjadikan FLP sebagai “rumah” dan terus bernaung di sana hingga saat ini.
“Jadi, sudah 24 tahun saya bergabung di komunitas menulis itu,” kata alumnus Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi USK itu.
Berawal dari buku pertama yang diterbitkan Gema Insani pada tahun 2004, buku-buku lain pun mulai menetap. Awalnya ia fokus ke menulis fiksi, cerpen dan puisi. Cerpen-cerpennya dimuat di sejumlah koran dan majalah terbitan Jakarta, seperti Annida, Sabili, dan Seputar Indonesia.
Sebagai penulis, Ferhat juga tertantang untuk bisa menulis pada genre apa pun. Ia menyebut dirinya sebagai penulis yang banyak maunya.
“Selagi mampu, saya gas terus,” kata penyuka tulisan-tulisan Nezar Patria, Dee Lestari, dan Khaleed Husaini ini.
Jika dulu orang-orang mengenalnya sebagai cerpenis, sekarang ia dikenal sebagai penulis apa saja. Ya, cerpen; ya, buku; ya, liputan jurnalistik; hingga laporan perjalanan. Cerpen terakhir yang ia tulis terbit tahun 2018 lalu. Ketika dunia perbukuan dihebohkan dengan serial-serial lucu ala Raditya Dika dan Dedew dengan buku Anak Kost Dodol-nya, Ferhat berhasil menduplikasi model tersebut dan menelurkan Teller Sampai Teler yang diterbitkan Elexmedia. Buku ini berkisah tentang pengalamannya sekian tahun saat bekerja di CIMB Niaga.
“Mungkin, dari sekian banyak buku saya, ini buku yang paling berkesan. Sebab tembus penerbit mayor, penjualannya bagus, menceritakan kisah saya sendiri, dan secara konsep buku ini baguslah. Bahkan untuk kover buku sengaja saya order sendiri biar puas,” katanya lagi.
Tapi, buku bagus juga tidak lahir tiba-tiba. Sebelum menggarap Teller Sampai Teler, ia banyak melakukan riset, mendatangi satu demi satu toko buku, apakah sudah ada buku dengan genre dan pengalaman serupa? Ternyata belum ada. Ia pun melihat ini sebagai peluang. Masa-masa lowong setelah resign dari bank ia manfaatkan untuk merampungkan buku ini. Setelah rampung, dikirim ke penerbit.
Penerbit pertama menolak naskahnya. Ferhat membaca ulang, mengoreksi di sana-sini, lalu mengirimkan ke penerbit lain. Eh, ditolak juga. Tak patah arang, ia kirim juga ke penerbit ketiga. Ditolak juga. Alasannya, naskah tersebut nggak sesuai dengan genre buku-buku yang mereka terbitkan. Terbesitlah ide untuk mengirimkan ke Elexmedia, yang masih satu grup dengan Gramedia. Eh, justru di sini si Teller Sampai Teler berjodoh.
Merambah Buku Cerita Anak

Ferhat kemudian bekerja lagi sebagai tenaga humas di Universitas Syiah Kuala. Berawal dari tuntutan kerja, ia pun mempelajari jenis-jenis tulisan di luar fiksi, seperti artikel, konten promosi, hingga berita. Ia juga aktif menulis di blog yang terinspirasi dari cara Trinity—travel writer—menulis. Dari sini kegemarannya menulis konten-konten lokal tumbuh. Hasilnya cukup menggembirakan, jadi buku yang diterbitkan oleh instansi pemerintah. Yang lebih membahagiakan Ferhat, buku-buku itu didistribusikan ke berbagai perpustakaan sekolah.
“Setahun terakhir ini saya sedang fokus belajar menulis cerita anak. Saya lihat peluang pasarnya besar, lomba-lombanya juga banyak karena pemerintah juga sedang menggenjot peningkatan literasi pada usia dini.”
Bagi Ferhat, menjadi penulis nggak ada ruginya. Segagal-gagalnya orang menjadi penulis, mereka tetap untung banyak karena otaknya terus mendapat asupan pengetahuan; relasi bertambah; dan dalam banyak hal membuat mereka menjadi pribadi yang lebih bijak. Namun, apa pun genre yang ia tulis, rohnya ada pada dunia fiksi. Ferhat juga gemar mengoleksi buku dan ada seribuan buku yang ia beli sejak tahun 2001. Tentu saja buku-buku fiksi mendominasi koleksinya.
Di sisi lain ia melihat dunia kepenulisan masih menjanjikan asalkan penulisnya bisa beradaptasi dengan tren saat ini. Juga, jangan malas berjejaring dan selalu membuka diri untuk senantiasa belajar. Termasuk soal marketing. Banyak penulis beken yang ceritanya selalu ada di hati pembaca karena dia berhasil membangun fanbase yang solid. Sebut saja seperti Tere Liye, Asma Nadia, Raditya Dika, J.S. Khairen, atau Dee Lestari.
Namun, bagi yang baru mulai terjun ke dunia fiksi menurutnya juga tak perlu berkecil hati. Selalu ada ceruk yang bisa digarap. Termasuk oleh pemula. Cerita anak misalnya, menurutnya lebih evergreen sebab konten-kontennya relevan sepanjang waktu.
Ferhat mendapatkan kesenangan tersendiri saat menulis fiksi. Dia bisa bebas bermain kata dan memilih diksi. Bisa bermajas dan menggunakan metafora dalam mengkiaskan kata. Bisa membangun karakter dan plot yang lebih luwes. Pesan-pesan yang disampaikan bisa secara tersirat. Meskipun, bagi sebagian orang, menulis sastra lebih sulit, tapi di sinilah letak seninya bagi Ferhat.
Saat ini, di sela-sela kesibukannya sebagai PNS di Pemkab Aceh Besar, Ferhat terus menyiasati waktu agar bisa konsisten menulis. Akhir-akhir ini ia lebih banyak menulis menjelang subuh untuk menghemat energi agar tak keseringan begadang—selain karena diprotes istri yang seorang dokter.
“Ternyata, setelah saya jalani, menulis di waktu subuh itu jauh lebih fresh. Ide mengalir dengan lancar.”
Saat ini, bersama tiga rekannya, Ferhat sedang merampungkan buku profil sebuah perusahaan migas di Aceh. Dijadwalkan terbit akhir tahun nanti.
Meskipun saat ini banyak platform berbasis internet yang bisa digunakan penulis untuk memublikasikan karya-karya mereka, tetapi Ferhat tetap menyimpan harap agar media arus utama di Indonesia, khususnya di Aceh, menyediakan ruang atau rubrik sastra. Inilah salah satu jalan yang bisa diupayakan untuk memberi ruang bagi penulis di Aceh dalam mewujudkan eksistensi mereka.
Peran media sangat besar dalam memunculkan dan melahirkan penulis-penulis baru. Ia juga berharap agar sastra mendapat ruang yang sepatutnya. Event-event sastra perlu terus dihadirkan. Berkaca dari pengalaman masa lalu, sastra adalah salah satu jalan yang dipilih untuk mengabarkan berbagai peristiwa pilu di Aceh.
Dengan pengalaman menulis tersebut, tak heran jika sejumlah penghargaan telah ia dapatkan. Tahun 2009 silam, namanya tercatat sebagai salah satu dari sepuluh penulis yang mendapat penghargaan dari Balai Bahasa Aceh karena keaktifan di dunia kepenulisan. Pernah juga memenangi lomba-lomba yang diselenggarakan oleh Pemerintah Aceh, Dinas Perpustakaan, Balai Bahasa Aceh, RSUZA, hingga Perpustakaan Nasional, dan Kementerian pendidikan. Agustus 2025 lalu, Ferhat juga terpilih menjadi salah satu penulis Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang diadakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
“Naskah cerita anak saya terpilih menjadi 100 naskah terbaik dari 1.600 lebih naskah yang masuk ke meja juri. Judul karya saya Jangan Foto Diam-Diam,” kata mantan ketua FLP Aceh itu.
Ini merupakan salah satu sayembara menulis paling prestisius di Indonesia. Penilaiannya ketat, idenya benar-benar harus unik, dan banyak penulis profesional yang ‘turun gunung’ ikut dalam sayembara tersebut. Setelah dua dekade berlalu, Ferhat akhirnya bisa merasakan kembali debar yang sama seperti saat ia melihat buku berisi karyanya terpampang di rak buku. Kali ini, saat mengeja namanya di daftar pemenang sayembara prestisius tingkat nasional: Ferhat Muchtar.[]