Berita Utama

Komnas Perempuan: Perdamaian Aceh Masih Mengabaikan Suara Perempuan

×

Komnas Perempuan: Perdamaian Aceh Masih Mengabaikan Suara Perempuan

Sebarkan artikel ini
Anggota Komnas Perempuan Yuni Asrianti.

Byklik | Banda Aceh–Komnas Perempuan mengapresiasi dan memberikan penghormatan tinggi kepada seluruh perempuan Aceh, khususnya perempuan korban, penyintas, dan perempuan pembela HAM, yang diwakili oleh lima perempuan yang dengan berani menyampaikan suara dan pengalaman mereka selama dua puluh tahun. Selama itu, mereka terus menumbuhkan harapan di tengah kesulitan dan pengabaian akses keadilan.

Pernyataan ini disampaikan oleh Dahlia Madanih, Komisioner Komnas Perempuan, dalam Webinar Internasional memperingati 80 tahun Kemerdekaan Indonesia dan 20 tahun Perjanjian Damai Helsinki pada Selasa, 19 Agustus 2025.

“Perempuan Aceh telah memperlihatkan wajah perempuan yang tidak pernah lelah dan terus bertahan, menyuarakan dan berdiri di depan dalam menjaga dan merawat damai di Aceh sepanjang dua puluh tahun hingga hari ini,” katanya.

Ia menegaskan bahwa perdamaian Aceh yang telah berlangsung dua dekade penting untuk mendengarkan isu-isu utama yang dihadapi perempuan korban, seperti dukungan ekonomi dan kesejahteraan pada korban, akses keadilan, pendidikan, serta akses transportasi, agar mendapat penanganan tindak lanjut dan penguatan tanggung jawab negara untuk menghadirkan keadilan dan pemulihan bagi perempuan korban.

”Menghadirkan pemulihan dan keadilan bagi kehidupan perempuan korban dan penyintas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu, perempuan disabilitas, perempuan minoritas, dan perempuan korban kekerasan menjadi agenda perdamaian yang tidak bisa diabaikan. Jika diabaikan, perdamaian akan kehilangan makna dan justru memberikan warisan dampak bagi generasi mendatang,” ujar Yuni.

Baca Juga  Balai Syura Peringati Seperempat Abad Hari Jadi Bersama Perempuan Korban Konflik di Aceh Besar

MoU Helsinki 2005 telah menghentikan konflik yang berlangsung tiga puluh tahun. Namun, dua puluh tahun setelah janji perdamaian, perempuan korban masih menanggung beban berat, mulai dari kehilangan orang tercinta, trauma mendalam, terbatasnya akses pemulihan, hingga tekanan dan keterbatasan sosial dan ekonomi.

Situasi ini menunjukkan bahwa suara dan pengalaman  perempuan, terutama mereka yang marginal, masih diabaikan dalam kebijakan dan program pascakonflik.

“Perempuan penyintas konflik Aceh mengingatkan kita semua bahwa perdamaian bukan sekadar tanda tangan perjanjian, tetapi amanah moral bagi negara untuk menegakkan keadilan dan pemulihan. Tanpanya,perdamaian akan rapuh,” tegas Dahlia.

Komnas Perempuan menekankan bahwa upaya reparasi bagi korban harus dijalankan secara menyeluruh, bukan parsial, dengan tetap memperhatikan kebutuhan spesifik perempuan korban. Pemerintah juga perlu memperkuat partisipasi bermakna perempuan dalam perumusan kebijakan pembangunan Aceh, agar suara mereka tidak lagi diabaikan dan menjadi fondasi perdamaian yang adil serta berkelanjutan.

Komisioner Sondang Frishka Simanjuntak menyampaikan, penekanan partisipasi bermakna perempuan di wilayah konflik dan pascakonflik secara khusus dimandatkan dalam Resolusi PBB Nomor 1325 tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan yang menyoroti dampak konflik bersenjata yang tidak proporsional terhadap perempuan.

Baca Juga  Bupati Aceh Timur Mediasi Konflik Lahan Warga dengan PTPN I

Indonesia telah mengadopsi Resolusi 1325 ini dalam Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial  (RAN P3AKS), dan Aceh merupakan salah satu provinsi yang telah mengadopsinya dalam rencana aksi daerah (RAD). Berdasarkan semangat ini, ditambah dengan prinsip CEDAW yaitu Kesetaraan Substantif, maka peran bermakna perempuan Aceh menjadi sangat krusial.

Pemerintah  wajib melindungi hak perempuan atas tanah dan sumber daya alam, sekaligus mencegah praktik perampasan yang melemahkan komunitas pasca-konflik. Lebih jauh, pendidikan damai yang inklusif dan responsif gender perlu dikembangkan agar pengalaman perempuan korban tercatat sebagai bagian dari ingatan kolektif bangsa dan diwariskan sebagai pelajaran penting bagi generasi mendatang.

“Suara perempuan korban adalah penunjuk arah bangsa. Mereka bukan hanya saksi luka masa lalu, tetapi juga penjaga masa depan perdamaian. Negara wajib hadir dengan kebijakan yang berpihak, agar damai Aceh juga mengajarkan pentingnya pemulihan dan keadilan nyata bagi generasi mendatang,” pungkasnya.[]

Example 120x600