HeadlineHumaniora

Rikanurrizki: Merawat dengan Hati, Mengabdi dengan Penuh Dedikasi

×

Rikanurrizki: Merawat dengan Hati, Mengabdi dengan Penuh Dedikasi

Sebarkan artikel ini
Rika Nurrizki

LEBIH dari sepuluh tahun menjadi perawat, tentunya banyak asam-garam dan pahit-getir pengalaman yang telah dirasakan oleh Rika. Terlebih, ia bertugas di unit perawatan intensif atau intensive care unit (ICU). Di unit ini, perawat dilatih untuk dapat mengambil keputusan dan berpikir cepat serta sigap dalam menangani kondisi pasien yang lebih kompleks dan sulit. Yang lebih penting, harus mampu bekerja dalam tim, sekaligus dapat melakukan komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga, ataupun sejawat.

Rikanurrizki namanya. Per tahun 2025 ini, tepat sebelas tahun ia menjadi perawat profesional dan bertugas di ICU Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh. Sebelas tahun lalu, setelah Rika lulus sebagai ners, ia dapat kesempatan mengikuti tes dosen non-PNS di Universitas Syiah Kuala tempatnya menimba ilmu. Kesempatan itu datang karena Rika bisa lulus dengan pujian alias cum laude.

“Selama di sana, saya mengajar sekaligus menjadi pembimbing mahasiswa selama praktik di RS. Saya resign dari kampus dan memutuskan berkarier sebagai ners setelah lulus PNS di RSUDZA pada 2014,” kata Rika, Jumat, 5 September 2025.

Sejak saat itu hingga hari ini, Rika senantiasa bertugas di ICU. Sebelum resmi bekerja, ia bersama sejumlah rekan lainnya terlebih dahulu wajib mengikuti proses orientasi dan pelatihan khusus bagi perawat ICU. Dibandingkan di ruangan lain, perawat yang ditempatkan di ICU mestilah memiliki sejumlah sertifikat pelatihan khusus.

Misalnya, sertifikat pelatihan trauma cardiac life support (BTCLS). Ini adalah pelatihan kegawatdaruratan yang fokus pada penanganan awal pada pasien gawat darurat trauma maupun jantung, teknik resusitasi jantung-paru, dan keterampilan praktis lainnya berkaitan dengan penggunaan alat.

Ada juga pelatihan advanced cardiovascular life support (ACLS) agar mampu menangani pasien-pasien dengan kondisi henti jantung, henti napas, atau kegawatdaruratan kardiovaskular lainnya. Perawat ICU juga harus memiliki kemampuan tambahan seperti merawat pasien dengan alat bantu napas (ventilator), monitoring pasien, dan menguasai alat bantu penunjang kehidupan yang lainnya.

Perawat ICU dilatih untuk dapat mengambil keputusan dan berpikir cepat serta sigap dalam menangani kondisi pasien yang lebih kompleks dan sulit. Yang lebih penting, harus mampu bekerja dalam tim, sekaligus dapat melakukan komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga, ataupun sejawat. Sedangkan perawat ruangan non-ICU cukup mengikuti pelatihan keperawatan dasar saja yang sesuai dengan area penempatan mereka.

Sama seperti di unit atau ruang-ruang lain, di ICU sistem kerjanya juga berdasarkan sif. Ada sif pagi, siang, dan malam. Untuk sif pagi dan siang masing-masing enam jam, sedangkan sif malam berdurasi 12 jam. Jika ditotal, setidaknya mereka bekerja sekitar 40 jam per minggu.

Saat pergantian sif, seluruh tanggung jawab untuk penanganan pasien akan dilimpahkan kepada yang bertugas pada sif berikutnya. Oleh karena itu, tim yang bertugas atau piket harus secara intens memantau perkembangan kondisi pasien. Hasil pantauan dicatat dengan detail dan teliti. Inilah yang menjadi dasar untuk mengambil tindakan yang tepat bagi pasien.

Di unit ini, setiap tim yang terdiri atas ners, dokter, ahli gizi fisioterapis, apoteker, dan tim kesehatan lainnya harus saling bekerja sama. Tidak boleh bekerja sendiri-sendiri atau mengambil keputusan sepihak. Tak hanya itu, petugas di ICU juga terlibat dalam menangani pasien gawat di area rumah sakit. Tim ini akan merespons kondisi darurat medis yang serius seperti henti jantung atau henti napas, yang dikenal dengan istilah “code blue”.

Baca Juga  PAG Komitmen Dukung Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Pesisir

“Tim ini terdiri atas dokter dan perawat terlatih yang akan segera bergerak ke lokasi pasien untuk melakukan tindakan resusitasi, seperti resusitasi jantung paru (RJP) dan memberikan pertolongan cepat untuk menyelamatkan nyawa pasien,” kata Rika.

Rika memeriksa salah satu peralatan kesehatan di ruang ICU

Bagi Rika sendiri, meski ia telah mengantongi ijazah sarjana keperawatan, telah pula lulus sebagai ners dengan keahlian khusus, tetapi ICU seolah menjadi “laboratorium” besar yang selalu memberinya pengalaman dan ilmu-ilmu baru yang tak tertulis. Di tempat inilah ia merasa pengabdiannya sebagai ners menjadi paripurna.

“Tempat yang telah memberi saya kesempatan untuk mengintegrasikan seluruh peran perawat, baik sebagai pemberi asuhan keperawatan, menjadi pendidik yang berperan sebagai clinical instruktur untuk mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan profesi ners, hingga melakukan kolaborasi dengan profesi lain,” ujarnya.

Di sini ia juga bisa mendedikasikan diri sepenuhnya untuk menjadi pelindung pasien. Rika juga sering memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat, baik secara tatap muka maupun melalui artikel-artikel yang saya tulis, dan juga menjalani tugas perawat sebagai peneliti. Dengan semua tugas dan tanggung jawab itu, keterampilan teknis saja menurutnya tidaklah cukup. Yang tak kalah penting, harus punya motivasi diri yang tinggi dalam melayani sepenuh hati.

Karena hanya dengan begitulah ia bisa melihat dan menganggap pasien seolah anggota keluarga sendiri sehingga harus diperlakukan semaksimal mungkin berdasarkan prosedur medis. Menjadi perawat ICU juga harus punya kemampuan untuk tetap tenang dalam berbagai kondisi yang dihadapi. Pasien-pasien atau situasi kerja di ICU bahkan sering terjadi di luar prediksi.

Tak jarang mereka baru bisa merapatkan punggung dengan sandaran kursi setelah lewat tengah malam. Kadang terpaksa harus salat di ujung-ujung waktu. Bahkan di bulan puasa, adakalanya meski azan Magrib sudah lama berkumandang, tetapi mereka masih harus “berpuasa” karena pasien sama sekali tak bisa ditinggalkan.

Belum lagi, terkadang harus menghadapi keluarga yang panik dan kalut dan memerlukan penjelasan yang humanis mengenai kondisi pasien. Semuanya menuntut kesabaran dan tak boleh tersulut emosi.

“Saya sarankan untuk setiap tenaga kesehatan, khususnya perawat punya cara manajemen untuk regulasi diri. Pilih salah satu yang mungkin dilakukan dan paling disukai, punya hobi buat menyeimbangkan beban pekerjaan dan tetap sehat secara mental. Kalau saya, biasa setiap pulang kerja menyempatkan menulis jurnal pribadi sebagai cara regulasi diri, dan menyempatkan untuk olahraga ringan. Selain itu, tentunya juga berdoa untuk memohon kemudahan dalam bekerja,” kata alumnus Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala angkatan 2002 (S-2) dan 2012 (S-2) ini.

Bagi Rika, motivasi terbesarnya adalah menjadikan pekerjaannya sekaligus sebagai sarana beribadah, serta memberikan yang terbaik untuk sesama. Ia juga sangat bersyukur karena keluarganya sangat mendukung pekerjaannya. Profesi ini menyadarkan Rika, bahwa menjadi manusia tidak boleh lepas dengan Sang Pencipta.

Baca Juga  7 Jenis Gangguan Mental dan Ciri-Cirinya yang Perlu Dikenali

“Profesi ini adalah profesi yang melekat seumur hidup di mana pun kita berada. Menjadi ners bukan hanya perihal merawat pasien, melainkan juga membagikan ilmu kepada peserta didik dan masyarakat pada umumnya.”

Namun, tentu tak semuanya berjalan sesuai rencana. Adakalanya aral tetap melintang. Menghadapi situasi yang mengujinya untuk senantiasa bersikap profesional. Misalnya, ketika anak atau orang tuanya sakit, adakalanya ia harus meminta orang lain untuk menjaga mereka, sedang dirinya memilih untuk tetap bertugas. Ia tetap memantau kondisi mereka dari jarak jauh. Adakalanya, jika kondisi mengharuskan ia untuk mendampingi keluarganya, ia akan berkoordinasi dengan tim, mencari jalan tengah agar semua bisa berjalan dengan baik. Saling memudahkan dan saling menolong, begitulah prinsip mereka.

Rika saat membimbing mahasiswa keperawatan yang sedang praktikum di RSUDZA

Rika memaknai profesinya itu dengan mengedepankan profesionalitas, sambil tetap berempati terhadap kondisi pasien dan keluarga. Menjaga kerja sama tim, membangun dan membina komunikasi yang baik, memprioritaskan kebutuhan pasien saat bertugas, dan hadir sepenuhnya untuk pasien.

“Yang paling membahagiakan adalah waktu lihat pasien yang bisa keluar dari ICU dengan kondisi yang lebih sehat dari sebelumnya,” katanya.

Kasus-kasus yang mereka tangani di ICU bervariasi, tergantung kekhususan ruang ICU-nya. Ada ICU yang khusus untuk pasien jantung, ICU khusus merawat bayi, ICU khusus untuk anak, ICU khusus untuk pasien kanker dan banyak lagi.

Ia pun mewanti-wanti agar setiap orang menjaga dan sadar betapa pentingnya kesehatan. Usahakan mencegah sehingga jangan sampai masuk ke rumah sakit, apalagi dirawat di ICU. Perlu memeriksa kesehatan secara berkala dan jangan meremehkan sekecil apa pun keluhan atau rasa sakit yang dirasakan. Harus segera memeriksakan diri ke dokter. Satu lagi, buang jauh-jauh perasaan tidak mau memeriksakan diri ke dokter karena “takut” penyakitnya akan terdeteksi.

“Jika terdeteksi menderita masalah kesehatan tertentu, maka ikuti saran dokter dan minum obat sesuai anjuran. Masyarakat sebaiknya menjaga pola makan sehat, cek gula darah, memeriksakan tekanan darah secara teratur, memeriksakan kesehatan gigi dan mata secara berkala. Berkendara dengan aman dan mengikuti prosedur keselamatan, misal pakai safety belt dan helm dengan benar.”

Di tengah-tengah rutinitas yang pada, Rika kerap “menghibur” diri dengan buku-buku yang digemari, seperti topik-topik self improvement dan buku-buku sastra.

“Saya membaca saat waktu senggang, biasanya menjelang tidur, atau di hari libur,” kata Rika yang aktif membuat jurnal harian. Selain itu, ia bersama rekan-rekan di rumah sakit juga membuat buku memoar.

Sebelas tahun bekerja sebagai perawat di ICU, tentu bukan waktu yang sebentar bagi Rika. Ini adalah tempat di mana setiap detik begitu berarti bagi hidup dan mati seorang pasien. Di dalam ruangan dingin itu, sejatinya pasien dan tenaga medis sedang berjuang bersama.[]

Example 120x600