Hiburan & Budaya

[Review Film]: There Will Be Blood sebagai Alegori Kapitalisme Awal Amerika Serikat

×

[Review Film]: There Will Be Blood sebagai Alegori Kapitalisme Awal Amerika Serikat

Sebarkan artikel ini
Foto: rottentomatoes.com

Oleh Akbar Rafsanjani*

Pada Juni 2025, The New York Times menerbitkan daftar 100 film terbaik dari abad ke-21, hasil voting dari lebih dari 500 sutradara, aktor, dan figur industri film. There Will Be Blood (2007) menduduki peringkat ketiga, hanya di bawah Parasite dan Mulholland Drive. Pencapaian ini menegaskan statusnya bukan hanya sebagai film klasik era 2000-an, tetapi juga sebagai karya politis dan ideologis yang terus menggema dalam narasi sinema modern.

Paul Thomas Anderson lewat There Will Be Blood (2007) menggarap bukan hanya sebuah drama sejarah tentang eksploitasi minyak di awal abad ke-20, tetapi sekaligus mengonstruksi potret brutal kapitalisme dalam bentuk paling purbanya yang digerakkan oleh keserakahan, kompetisi, dan kehendak untuk menguasai. Dalam film ini, sejarah Amerika tidak diceritakan dari perspektif progres, melainkan dari sisi gelapnya, yaitu penguasaan tanah, komodifikasi agama, dan kehancuran relasi sosial.

Tokoh utama, Daniel Plainview (Daniel Day-Lewis) adalah figur self-made man, ikon khas American Dream. Namun alih-alih menjadi simbol harapan, ia justru menjelma sebagai representasi kapitalisme paling gelap, individu yang tidak hanya mengeruk keuntungan, tetapi juga menindas, menghancurkan, dan mengasingkan siapa pun di sekitarnya. Sejak awal film, ia digambarkan sendirian menggali tambang di tengah gurun, adegan ini tanpa dialog, hanya disertai bunyi gesekan senar dari skor musik Jonny Greenwood yang menciptakan atmosfer tekanan dan kegilaan.

Daniel tak membutuhkan orang lain. Ia mengadopsi anak dari pekerja yang meninggal, bukan karena kasih sayang, melainkan sebagai simbol keluarga untuk memuluskan kontrak bisnis. Ia mengaku ingin membangun komunitas, tapi justru menghancurkan komunitas itu dengan pengeboran yang menyebabkan ledakan dan kematian.

Film ini membongkar ilusi moralitas dalam kapitalisme. Daniel bukan koruptor, bukan penjahat kartel, melainkan pengusaha sukses yang bermain sesuai aturan, tetapi aturan itu sendiri didasarkan pada eksploitasi dan pemusnahan.

Baca Juga  Ingin Mahir Menulis? Yuk, Bergabung dengan FLP Aceh

Salah satu aspek paling tajam dari film ini adalah hubungannya dengan agama dan pendeta palsu, yang diwakili oleh karakter Eli Sunday (Paul Dano). Eli adalah pemuda pengkhotbah yang juga memanfaatkan keyakinan komunitasnya untuk mendapatkan kekuasaan. Ia menyambut Daniel dengan wajah penuh damai, tapi dengan agenda tersembunyi, menjadikan gereja sebagai pusat kehidupan masyarakat baru yang dibangun di atas minyak.

Interaksi antara Eli dan Daniel menjadi titik sentral film. Dua sosok yang mewakili dua institusi paling dominan dalam sejarah Amerika (kapitalisme dan kekristenan). Dua institusi ini saling bersaing dan pada akhirnya saling menghancurkan. Namun kemenangan tetap di tangan kapitalisme. Di adegan final yang penuh kekerasan dan absurditas, Daniel memaksa Eli mengakui bahwa “God is a superstition,” lalu memukulnya hingga mati dengan pin bowling.

Anderson menolak untuk mengambil posisi netral. Ia memperlihatkan agama bukan sebagai penyelamat dari kerakusan, melainkan sebagai bagian dari sistem yang sama, “opium bagi rakyat”, kata Karl Marx. Agama yang digunakan untuk menenangkan massa sambil elit mengeruk sumber daya.

Secara sinematik, film ini tampil sangat terkendali dan disiplin, namun justru menyampaikan kegilaan dan kekacauan batin melalui ketegangan yang terkubur dalam gambar dan suara. Jonny Greenwood menciptakan salah satu soundtrack paling tidak nyaman dalam sejarah sinema Hollywood. Musiknya tidak pernah sentimental. Ia tidak memandu emosi, tetapi justru menekankan absurditas, kekosongan, dan kengerian dari pembangunan yang terjadi.

Gambar-gambar lanskap gurun yang sunyi, pengeboran yang meledak tanpa peringatan, dan adegan-adegan tanpa dialog yang panjang menciptakan rasa alienasi khas film-film Michelangelo Antonioni, namun dalam setting kapitalisme awal Amerika.

Baca Juga  Delegasi Banda Aceh Curi Perhatian Masyarakat 'Kota Pahlawan' di Karnaval Budaya APEKSI ke-VII

Dalam hal ini, Anderson berhasil menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar film sejarah, ia menciptakan fabel gelap tentang bagaimana Amerika dibangun dengan darah, tanah, dan mimpi yang membusuk.

Salah satu hal mencolok dalam film ini adalah ketiadaan kelas pekerja sebagai subjek kolektif. Para buruh pengeboran tampil sebagai individu tanpa latar atau kepentingan bersama. Tidak ada organisasi, tidak ada serikat, tidak ada solidaritas. Daniel Plainview bekerja bukan melawan kelas pekerja, tetapi melawan siapapun yang menghalangi dominasinya termasuk anak angkat, mitra bisnis, dan Tuhan sekalipun.

Dalam hal ini, There Will Be Blood bisa dibaca sebagai kritik terhadap kapitalisme primitif yang belum menghadapi resistensi dari kelas pekerja. Ia memperlihatkan tahap awal dari akumulasi primitif dalam istilah Karl Marx, yaitu penguasaan atas tanah dan tenaga kerja lewat kekerasan, tipu daya, dan institusi hukum atau agama.

Kata-kata terakhir Daniel Plainview dalam film adalah “I’m finished.” Ia baru saja membunuh musuh terakhirnya, dan duduk di tengah kekayaan dan kehancuran. Kalimat ini bisa dibaca dalam dua arah, sebagai pernyataan kemenangan, atau sebagai pengakuan kehampaan.

Melalui There Will Be Blood, Paul Thomas Anderson tidak menawarkan resolusi moral, melainkan menyodorkan cermin retak dari asal-usul kapitalisme Amerika. Bukan kebetulan jika film ini dirilis di tahun-tahun menjelang krisis finansial 2008, saat dunia mulai mempertanyakan harga dari pertumbuhan ekonomi yang tanpa batas. Film ini adalah peringatan, sekaligus pengakuan bahwa di balik setiap sumur minyak, selalu ada darah.[]

Editor: Ihan Nurdin

 

*Akbar Rafsanjani adalah kurator film, sekarang bermukim di Wisconsin, Amerika Serikat

Example 120x600