Hiburan & Budaya

[Review Film]: Ekonomi di Luar Kapitalisme Dalam Dokumenter Taste of Hope

×

[Review Film]: Ekonomi di Luar Kapitalisme Dalam Dokumenter Taste of Hope

Sebarkan artikel ini

Oleh Akbar Rafsanjani*

Dalam alurnya, Taste of Hope (2019), dokumenter yang disutradarai oleh Laura Coppens bergerak dari titik nol. Keputusan Unilever menutup pabrik teh Fralib dan memindahkan produksi ke Polandia, yang kemudian memicu perlawanan pekerja. Kamera Coppens mengikuti fase demi fase perjuangan itu, dimulai dengan rapat-rapat penuh amarah dan negosiasi melelahkan, lalu lahirnya ide untuk mengambil alih pabrik sebagai koperasi. Dari situ, film memperlihatkan transformasi buruh menjadi pengelola, dengan segala keterbatasan.

Kita melihat pekerja mengatur strategi pemasaran, menguji produk di supermarket, meluncurkan kampanye crowdfunding, dan berdebat panjang soal arah produksi. Ketegangan naratif film terletak bukan pada “apakah mereka menang melawan Unilever?” (itu sudah diketahui) melainkan pada “apakah mereka bisa bertahan sebagai koperasi mandiri?”

Dengan ritme yang setia pada keseharian rapat, percakapan informal di ruang istirahat, hingga kegelisahan personal yang terekam dalam ekspresi wajah, Coppens membangun drama yang intim. Kisah tentang demokrasi ekonomi yang terus diuji di medan nyata.

Selama 1.336 hari (angka yang kelak menjadi simbol perlawanan mereka) para pekerja mengorganisasi aksi boikot terhadap Unilever. Tanpa penghasilan, mereka bertahan dengan solidaritas kolektif, dukungan serikat buruh, dan keyakinan bahwa mereka memiliki hak atas tempat kerja yang telah mereka bangun.

Kemenangan akhirnya datang. Pengadilan memenangkan para pekerja, dan mereka mengambil langkah radikal, membentuk koperasi mandiri bernama Scop-TI (Société Coopérative Ouvrière Provençale de Thés et Infusions). Nama merek baru yang mereka pilih, 1336, mengabadikan jumlah hari perlawanan melawan Unilever. Dari simbol perjuangan, angka itu menjelma menjadi identitas komersial. Setiap kotak teh “1336” adalah narasi perlawanan kelas yang dikemas dalam bentuk konsumsi sehari-hari.

Namun, film ini tidak berhenti di momen kemenangan. Justru tantangan baru muncul setelah koperasi berdiri. Tanpa manajer profesional, pekerja menghadapi kesulitan mengatur disiplin kerja, motivasi, serta strategi bisnis. Kamera dokumenter menyoroti rapat-rapat internal yang penuh perdebatan tentang pemasaran, distribusi, dan pengembangan produk. Dengan gaya observasional, film ini menghindari romantisasi. Manajemen mandiri ternyata penuh kerikil, dan demokrasi ekonomi membutuhkan kerja keras kolektif yang berkelanjutan.

Baca Juga  [Review Film]: There Will Be Blood sebagai Alegori Kapitalisme Awal Amerika Serikat

Meskipun demikian, para pekerja menunjukkan daya cipta yang luar biasa. Mereka memilih memproduksi teh herbal organik berbasis sumber daya lokal, mengadakan kampanye crowdfunding untuk menggalang modal sekaligus membangun dukungan publik, hingga turun langsung ke supermarket untuk menguji produk bersama konsumen. Strategi ini memperlihatkan bagaimana koperasi bisa tetap bertahan sekaligus berinovasi di pasar yang kompetitif.

Kisah Fralib dan Scop-TI tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang gerakan koperasi pekerja di Prancis. Sejak abad ke-19, buruh di Prancis telah mengembangkan bentuk-bentuk sociétés coopératives ouvrières de production (SCOP), koperasi produksi yang dimiliki dan dikelola langsung oleh pekerja. Prinsipnya sederhana, satu orang, satu suara. Keuntungan dibagi secara adil dan perusahaan dikelola secara demokratis. Hingga kini, Prancis memiliki ribuan SCOP aktif di berbagai sektor. Dari percetakan, bangunan, hingga teknologi.

Dalam tradisi itu, Scop-TI bukan sekadar kasus unik, tetapi bagian dari kesinambungan sejarah ketika pekerja mengambil alih sarana produksi. Namun, dokumenter ini juga menyoroti kontradiksi abadi koperasi, antara idealisme demokrasi internal dan kerasnya logika pasar. Tidak ada jaminan keberlangsungan, tetapi selalu ada kemungkinan untuk menciptakan model ekonomi yang berbeda dari kapitalisme arus utama.

Namun demikian, apa yang bisa dilihat lebih jauh dari proses demokrasi Fralib ini adalah bahwa tantangan utama bukan sekadar bagaimana menciptakan produk, tetapi bagaimana menata sistem bisnis yang berpijak pada kemampuan teknologi saat ini, sekaligus menumbuhkan keterlibatan kritis masyarakat. Sistem tersebut idealnya mampu mendistribusikan kembali kekayaan dan mempertanyakan sifat eksploitatif dari nilai surplus dalam kapitalisme. Sebab pada akhirnya, produktivitas dalam sistem kapitalis tidak bisa dilepaskan dari uang sebagai dasar pertukaran.

Baca Juga  Menonton Into the Movement sebagai Inspirasi untuk Gerakan Seni

Namun, di luar soal uang, model bisnis yang sehat juga dituntut untuk mampu melihat nilai dalam kerja reproduktif. Aktivitas yang biasanya tersembunyi dan tidak dianggap “produktif” seperti perawatan, pendidikan, atau bahkan rutinitas sederhana seperti menyeduh kopi sesungguhnya merupakan fondasi yang memungkinkan kerja produktif berlangsung. Dengan demikian, sebuah bisnis yang berorientasi pada keberlanjutan tidak hanya mengejar pertumbuhan finansial, tetapi juga mengakui dan mengintegrasikan kerja-kerja reproduktif ke dalam nilai yang ditawarkan.

Maka, perancangan model bisnis bukan hanya soal keberlanjutan ekonomi, tetapi juga refleksi etis tentang bagaimana kerja, reproduksi, dan produktivitas saling terkait. Bisnis yang mampu menyeimbangkan ketiga aspek ini berpotensi menciptakan ekosistem yang lebih adil, tetap berdaya secara finansial, tetapi juga peka pada kebutuhan manusia dan masyarakat yang menopangnya. Dengan cara ini, produktivitas tidak lagi semata-mata dihitung dari angka keuntungan, melainkan juga dari sejauh mana ia memberi ruang bagi kehidupan yang lebih bermakna.

Konteks ini membuat Taste of Hope lebih dari sekadar arsip lokal. Ia bisa dibaca sebagai studi kasus tentang masa depan gerakan buruh internasional, di tengah gelombang globalisasi yang terus menekan biaya tenaga kerja. Ketika perusahaan multinasional dengan mudah memindahkan produksi ke wilayah berupah rendah, kisah Scop-TI menjadi pengingat bahwa pekerja punya kapasitas untuk merebut kembali kontrol atas pekerjaan mereka.

Akhirnya, dokumenter ini berdiri sebagai catatan penting dalam sejarah perlawanan buruh kontemporer. Ia mengingatkan bahwa solidaritas kolektif bisa melawan korporasi raksasa, bahwa demokrasi ekonomi bukanlah utopia, melainkan proses penuh kontradiksi, dan bahwa setiap tegukan teh “1336” membawa jejak nyata perjuangan kelas.

Catatan: Film Taste of Hope bisa ditonton di Kanopy.com

Editor: Ihan Nurdin

*Akbar Rafsanjani adalah kurator film, sekarang bermukim di Wisconsin, Amerika Serikat. Baca tulisan film lainnya di akun Letterboxd pribadinya: https://letterboxd.com/akbarrafs/films/reviews/

Example 120x600