HeadlineHiburan & Budaya

[Review Film]: Di Luar Bingkai Kiarostami, The Apple di Bawah Pohon Zaitun

×

[Review Film]: Di Luar Bingkai Kiarostami, The Apple di Bawah Pohon Zaitun

Sebarkan artikel ini

Oleh: Akbar Rafsanjani*

Dalam diskursus film dokumenter dan etnografi visual, The Apple (1998) dapat diposisikan sebagai model etis yang langka. Sebuah film yang tidak mencuri cerita orang lain, tetapi mengizinkan subjeknya untuk hidup, berubah, dan bahkan ikut menulis ulang narasi mereka sendiri. Dengan menempatkan semua orang asli sebagai pemeran, ayah, ibu, pekerja sosial, tetangga, Samira Makhmalbaf sebagai sutradara menolak struktur produksi film yang hirarkis dan menyusun ulang bentuk kolaboratif antara pembuat film dan dunia yang direpresentasikannya.

Sikap ini relevan dalam konteks sinema Iran, di mana posisi perempuan sebagai subjek kreatif kerap terpinggirkan, baik oleh sistem sensor negara maupun oleh struktur patriarkal sinema global. Dalam usia yang sangat muda (18 tahun saat produksi), Samira berhasil menciptakan ruang alternatif. Bukan sinema perempuan dalam arti representasi perempuan sebagai tokoh, tetapi sinema yang “dilihat dan dibuat” dari tubuh perempuan, dengan perhatian terhadap relasi, afeksi, dan beban sejarah yang melekat padanya.

Namun, dalam banyak pembahasan akademik maupun popular mengenai sinema Iran (baik dalam konteks New Iranian Cinema, sinema pascarevolusi, maupun wacana festival global) nama Samira Makhmalbaf, dan bahkan ayahnya, Mohsen Makhmalbaf, cenderung dikesampingkan dan terlupakan. Ini sebuah ironi, mengingat trayektori sinematik keduanya bukan hanya membentuk jalur estetika tersendiri yang berbeda dari tokoh-tokoh seperti Abbas Kiarostami atau Jafar Panahi, tetapi juga mengangkat persoalan representasi perempuan, bahasa anak, dan hubungan kekuasaan dalam masyarakat Iran dengan kedalaman yang jarang ditemukan.

Samira, khususnya dengan debutnya yang gemilang lewat The Apple, menunjukkan bahwa sinema bisa menjadi alat introspeksi intergenerasional, bahkan ketika ia sendiri berasal dari silsilah sinema yang kuat. Bahwa nama-nama ini kerap hilang dari peta sinema global mengindikasikan adanya bias dalam konstruksi historiografi sinema dunia, yang sering kali tidak cukup memberi tempat bagi praktik sinematik yang lahir dari posisi yang ambigu, di antara dokumenter dan fiksi, lokal dan internasional, individu dan kolektif.

Mohsen Makhmalbaf, dengan film seperti Gabbeh (1996) atau Kandahar (2001), membangun sinema yang menggabungkan sensibilitas puisi rakyat dengan ketegangan politik kontemporer, menciptakan bentuk yang teatrikal, spiritual, namun sangat terlibat secara sosial. Sementara itu, Samira melanjutkan warisan ini dengan cara yang lebih radikal dan reflektif. Film-film seperti Blackboards (2000) dan At Five in the Afternoon (2003) secara langsung membicarakan tema pendidikan, perang, dan kondisi perempuan pasca-Taliban. Sesuatu yang jarang disentuh dalam karya-karya Kiarostami yang lebih cenderung pada universalitas dan kesederhanaan naratif.

Baca Juga  Presiden Prabowo Janji Segera Selesaikan Polemik Empat Pulau Aceh masuk Sumut

Dengan demikian, estetika Makhmalbaf sering kali lebih penuh konflik, lebih frontal dalam membicarakan ketimpangan sosial, dan lebih berani dalam penggunaan simbol-simbol politis. Namun, karena pendekatan ini kurang sesuai dengan selera “festival aesthetics” yang mendewakan kontemplasi minimalis dan ambiguitas moral, film-film mereka kerap diposisikan di pinggir. Padahal, jika kita memperluas pemahaman kita tentang sinema Iran sebagai lanskap yang majemuk (tidak tunggal dan tidak netral) maka kontribusi keluarga Makhmalbaf justru krusial. Mereka menghadirkan sinema yang tidak hanya melihat, tetapi juga berteriak, dan dalam kasus Samira, mendengarkan mereka yang belum bisa bicara.

The Apple adalah film debut Samira Makhmalbaf. Ia adalah salah satu karya paling menakjubkan dari gelombang baru sinema Iran pada akhir 1990-an. Film ini nyaris tak dapat diklasifikasikan dalam genre konvensional. Ia bukan dokumenter dalam arti jurnalistik, tapi juga bukan fiksi yang sepenuhnya terancang. Dalam film ini, yang didasarkan pada kasus nyata di Teheran tentang dua gadis kembar berusia 12 tahun yang dikurung oleh ayah mereka selama bertahun-tahun, Samira menyusun sebuah bentuk sinema yang radikal dalam kesederhanaannya. Sebuah paduan dokumentasi dan dramatisasi yang tidak mengeksploitasi, tapi justru memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan etis dalam penggambaran trauma dan kebebasan.

Secara formal, The Apple bergerak antara dokumenter dan fiksi dengan keluwesan luar biasa. Film ini dimulai dengan rekaman video dari program televisi yang melaporkan kasus keluarga tersebut, lalu bergeser ke 35 mm, menandai transisi dari ranah jurnalistik menuju ranah sinematik yang lebih reflektif dan puitis. Namun, transisi ini bukan hanya soal format, ia juga menyiratkan perubahan cara pandang dari mata kamera sebagai alat pelapor menuju mata kamera sebagai penafsir.

Samira memutuskan untuk tidak menulis skrip sebelumnya, memilih untuk “hidup” bersama subjeknya dan menyusun narasi seiring berjalannya proses syuting. Pilihan ini menempatkan The Apple dalam tradisi cinéma vérité yang berakar kuat pada kehadiran tubuh, spontanitas, dan keterbukaan terhadap realitas yang berlangsung. Dalam praktiknya, pendekatan ini menciptakan momen-momen sinematik yang tidak bisa dirancang. Seperti ekspresi keheranan, ketegangan kecil, dan kesenyapan yang penuh makna.

Namun yang lebih penting, The Apple menolak model representasi biner antara korban dan pelaku, hitam dan putih. Alih-alih menggambarkan sang ayah sebagai sosok antagonis, Samira mendekatinya dengan empati dan keingintahuan.

Baca Juga  Cerita Programer Asal Aceh Menjadi Relawan Wisconsin Film Festival

“Saya tidak bertanya padanya apa pun. Saya hanya mendengarkan,” kata Samira pada sebuah wawancara.

Dari sana, lahirlah potret kompleks tentang seorang pria yang mencintai anak-anaknya, tetapi juga terperangkap dalam keyakinan budaya yang membatasi perempuan atas nama perlindungan.

Secara tematik, The Apple adalah film tentang perempuan dan bahasa. Bahasa yang bukan hanya dalam pengertian literal (si kembar nyaris tak dapat berbicara pada awalnya), tetapi juga dalam pengertian politik, siapa yang memiliki akses untuk menamai, menyuarakan, dan menentukan kehidupan mereka sendiri. Dalam banyak adegan, Zahra dan Massoumeh nyaris diam, atau hanya bersuara lewat isyarat dan pandangan. Mereka tidak diberi bahasa, dan film ini justru memusatkan perhatian pada ketidakhadiran itu. Menyiratkan bahwa kebebasan bukanlah hanya persoalan fisik, tetapi juga artikulasi diri.

Salah satu adegan paling simbolis adalah ketika pekerja sosial memberikan mereka masing-masing sebuah cermin dan sisir untuk dibagi. Cermin di sini bekerja sebagai metafora refleksi dan pengenalan diri. Sebuah momen penting dalam pembentukan subjektivitas perempuan dalam ruang yang sebelumnya meniadakan kehadiran mereka sebagai individu.

Kekuatan film ini bukan pada konflik dramatis, tetapi pada detail kecil. Tangan anak-anak menyentuh air dari selang, percakapan kikuk dengan penjual es krim, atau ekspresi bingung saat bermain dengan anak-anak lain. Semua ini memperlihatkan bagaimana tubuh yang lama dikurung akhirnya harus belajar menjadi bagian dari dunia tanpa bimbingan, tanpa kosa kata, hanya dengan rasa ingin tahu dan kecanggungan yang tulus.

The Apple bukan hanya film penting dalam sejarah sinema Iran, tetapi juga karya yang membuka jalan bagi bentuk sinema personal, intersubjektif, dan reflektif dalam ranah dokumenter-fiksi hibrida. Dua puluh lima tahun sejak dirilis, film ini tetap berdiri sebagai bukti bahwa sinema bisa menjadi tindakan etis lewat mendengar yang tak terdengar, melihat yang tak terlihat, dan memberi ruang bagi proses penyembuhan yang tak harus spektakuler.

Dan ketika kita bertanya, “Apakah Massoumeh dan Zahra benar-benar telah dibebaskan?” jawaban film ini tidak datang sebagai kepastian naratif, tetapi sebagai pertanyaan terbuka, sebagai cermin, sejauh mana kita memberi ruang pada yang lain untuk hadir dan tumbuh?[]

Editor: Ihan Nurdin

*Akbar Rafsanjani adalah kurator film, sekarang bermukim di Wisconsin, Amerika Serikat. Baca tulisan film lainnya di akun Letterboxd pribadinya: https://letterboxd.com/akbarrafs/films/reviews/

Example 120x600