HeadlineHiburan & Budaya

[Review Film]: Bahasa yang Gagal Menyelamatkan dalam Pembantaian Srebrenica

×

[Review Film]: Bahasa yang Gagal Menyelamatkan dalam Pembantaian Srebrenica

Sebarkan artikel ini

Oleh Akbar Rafsanjani*

DELAPAN ribu pria dan anak laki-laki muslim Bosnia dibunuh oleh pasukan Serbia 30 tahun lalu  (11 Juli 1995), dalam apa yang disebut sebagai “zona aman” di bawah perlindungan PBB. Dalam bayang-bayang peringatan ini, film Quo Vadis, Aida? (2020) karya Jasmila Žbanić tampil bukan sekadar sebagai representasi sinematik, melainkan sebagai intervensi kultural dan historiografis yang mendesak. Sebuah upaya untuk menampilkan kembali luka yang tak sempat sembuh, sekaligus menuntut pertanggungjawaban atas kegagalan kolektif internasional. Melalui perspektif seorang perempuan dan ibu, film ini mengingatkan bahwa genosida bukan hanya soal angka, melainkan tentang tubuh, bahasa, dan kehilangan yang terus berulang.

Disusun berdasarkan peristiwa nyata pembantaian Srebrenica 1995, film ini tidak menyajikan sejarah sebagai rekonstruksi sinema, tetapi sebagai pengalaman afektif dan struktural dari trauma kolektif melalui tubuh individu. Aida Selmanagić, perempuan penerjemah yang bekerja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Melalui pendekatan sinematik yang membaurkan realisme sosial dan intensitas naratif, Žbanić menawarkan lebih dari sekadar cerita korban. Ia mengurai relasi kuasa antarbahasa, institusi internasional, dan tubuh yang terjebak dalam kekosongan hukum, menjadikan film ini sebagai studi visual tentang kegagalan sistemik global dan artikulasi sejarah dari bawah.

Berbeda dari sinema genosida yang eksplisit dalam menampilkan kekerasan tubuh (misalnya Schindler’s List atau Hotel Rwanda), Quo Vadis, Aida? justru menolak untuk menjadikan trauma sebagai objek voyeuristik, sesuatu yang dijadikan tontonan pasif untuk kesenangan atau kepuasan penonton, tanpa hak untuk berbicara, membalas, atau mengontrol narasinya sendiri. Film ini lebih mendekati “gambaran yang terlambat” (images in spite of all), yaitu gambar yang tidak menampilkan kematian secara langsung, tetapi menandainya melalui jejak, ruang kosong, dan gestur yang tertahan.

Žbanić memilih pendekatan minimalis yang menegangkan, kamera genggam mengikuti Aida, tetapi tidak pernah memberinya dominasi layar. Film ini mempertahankan titik pandang subjektif tanpa menjadi narasi orang pertama, menciptakan kesadaran bahwa Aida hanyalah satu dari ribuan yang disisihkan oleh sistem.

Baca Juga  Mahasiswa Hukum Unimal Sabet Medali Perak Kejuaraan Karate Internasional

Penghapusan adegan eksekusi massal dari layar bukanlah bentuk penghindaran, melainkan pernyataan politik. Apa yang tidak ditampilkan menjadi medan afeksi dan etika. Kekerasan tak lagi menjadi tontonan, tapi resonansi. Kita mengalami pembantaian sebagai ketiadaan yang menghantui, bukan sebagai horor visual.

Aida adalah penerjemah, dan justru dari posisi itu konflik etis film ini mengemuka. Institusi menghasilkan “rezim kebenaran” melalui bahasa dan prosedur. Aida bekerja di antara dua rezim, bahasa militer-diplomatik dan bahasa komunitas lokal. Tapi di titik genting, kedua bahasa itu gagal. Satu terlalu steril, satu tak didengar.

Penerjemah dalam film ini bukan penghubung makna, tetapi saksi akan keruntuhan representasi. Ketika kata-kata tak lagi bisa menjamin keselamatan, Aida menjadi figur tragik-modern. Ia memahami kekacauan lebih awal dari yang lain, tapi tidak bisa mengubah arah kehancuran. Di sinilah Quo Vadis, Aida? menyorot batas bahasa sebagai alat politik.

Citra sinematik berfungsi tidak hanya sebagai representasi realitas, tetapi juga sebagai distribusi sensibilitas. Pengaturan siapa yang bisa terlihat dan terdengar dalam ranah publik. Dalam konteks ini, Quo Vadis, Aida? berfungsi sebagai arsip visual dari pengalaman perempuan yang selama ini dieliminasi dari narasi besar sejarah perang.

Dengan menjadikan seorang ibu sebagai pusat narasi, Žbanić membongkar struktur maskulin dalam sinema perang. Aida tidak pernah memegang senjata, tapi ia melakukan negosiasi, kalkulasi, dan perlawanan simbolik. Tubuhnya sendiri (yang berlarian, berdesakan, merunduk) menjadi medan tafsir trauma. Di akhir film, kamera mendekat pada wajah Aida yang diam. Tubuh yang selamat, tapi mengingat. Ini adalah bentuk postmemory, ingatan yang diwariskan melalui intensitas afektif, bukan dokumentasi literal.

Salah satu kekuatan konseptual film ini terletak pada pembongkaran mitos netralitas institusi internasional, terutama PBB. Ruang-ruang PBB digambarkan steril, teratur, namun secara politik, kosong. Keputusan tidak dibuat untuk menyelamatkan, melainkan untuk mematuhi protokol. Di sini, Quo Vadis, Aida? menjadi kritik tajam terhadap birokrasi liberal internasional yang menyamarkan ketidakmampuan sebagai netralitas prosedural.

Baca Juga  CEO Silicon Valley Bridge Bank Meminta Pelanggan untuk menyetor ulang dana Mereka

Situasi Aida dan komunitasnya bisa dibaca dalam kerangka state of exception, ketika hukum digantung dan manusia dikosongkan dari hak-haknya. Mereka yang tak diberi tempat di kamp PBB menjadi homo sacer. Mereka dapat dibunuh, tapi tidak dikorbankan. Mereka adalah yang tidak punya tempat di dalam tatanan hukum modern, dan film ini menggambarkannya dengan kesunyian yang menghukum.

Sebagai film yang disutradarai, ditulis, dan diperankan oleh perempuan, Quo Vadis, Aida? membawa perspektif yang secara politis signifikan dalam sinema sejarah. Sinema klasik membentuk perempuan sebagai objek pandang laki-laki. Film ini menolak itu secara struktural. Tidak ada erotisasi, tidak ada romantisasi, bahkan hampir tidak ada karakter laki-laki yang diberikan kedalaman.

Aida bukan tokoh yang heroik dalam cara konvensional, tapi justru karena itu ia lebih politis. Keputusasaan, kesadaran, dan keterbatasannya adalah medan perlawanan yang realistis dan etis. Ia menolak menjadi korban pasif, tapi juga tidak punya kekuasaan untuk menjadi penyelamat. Yang ia lakukan hanyalah terus bergerak, terus bicara, terus mencoba.

Quo Vadis, Aida? adalah bentuk sinema yang tidak mencari katarsis, tapi konfrontasi. Ia tidak memberikan resolusi, hanya menghadirkan situasi afektif di mana kita sebagai penonton dituntut untuk tidak melupakan. Film ini menolak melayani hasrat dokumenter atau melodrama. Sebaliknya, ia menyusun pengalaman sinematik yang menempatkan kita di antara bahasa yang gagal, institusi yang hampa, dan trauma yang tak selesai.

Di tengah sinema global yang sering kali hanya mengarsipkan sejarah sebagai pameran eksotika kekerasan, film ini menawarkan ingatan sebagai gestur etis. Ia tidak berbicara untuk para korban, tapi membuat ruang di mana mereka bisa ditampilkan tanpa dirampas. Dan dari ruang itulah, sinema sekali lagi membuktikan bahwa ia bukan hanya medium hiburan, tetapi ruang produksi pengetahuan, ingatan, dan keadilan afektif.[]

Editor: Ihan Nurdin

 

*Akbar Rafsanjani adalah kurator film, sekarang bermukim di Wisconsin, Amerika Serikat. Baca tulisan film lainnya di akun Letterboxd pribadinya: https://letterboxd.com/akbarrafs/films/reviews/

Example 120x600