Berita UtamaHeadlineHumaniora

Perjalanan Ibnu Syahri Ramadhan Menghadirkan Makna Lewat Kata

×

Perjalanan Ibnu Syahri Ramadhan Menghadirkan Makna Lewat Kata

Sebarkan artikel ini
Ibnu Syahri Ramadhan

SAAT bel istirahat berbunyi pada pukul sepuluh, teman sekelas Ibnu segera berhamburan ke luar kelas. Mereka tak sabar bisa segera tiba di kantin. Namun, tidak dengan Ibnu. Ia justru memilih keluar belakangan. Saat ruang kelas sudah kosong, ia malah mengambil selembar kertas, lalu menuliskan catatan apa saja yang ringan-ringan.

Setelah selesai, kertas itu dibiarkan tergeletak di atas meja. Barulah Ibnu pergi ke kantin. Membeli satu dua camilan untuk mengganjal perut hingga jam pelajaran berakhir siang nanti. Sekembali dari kantin, betapa terkejutnya dia saat melihat teman-temannya mengerumuni mejanya. Ia pikir ada apa.

“Ternyata, teman-teman sedang membaca tulisan saya. Bahkan, ada seorang teman yang rela membeli tulisan saya seharga dua ribu rupiah,” cerita Ibnu, Selasa, 7 Oktober 2025.

Ibnu Syahri Ramadhan namanya, biasa dipanggil Ibnu. Ia putra Melayu yang berasal dari Tamiang. Masa kanak-kanaknya hingga remaja ia habiskan di kampung halaman di Kampung Durian, Kecamatan Kejuruan Muda. Ibnu sekolah di MIN Kampung Durian, lalu melanjutkan ke SMPN 3 Benua Raja, dan SMAN 1 Kejuruan Muda. Ibnu hijrah ke Banda Aceh setamat SMA pada 2006 untuk melanjutkan studi ke Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Unsyiah.

Meski bangku SMA telah lama Ibnu tinggalkan, tapi kesan tentang catatan ringan itu sampai sekarang terpendam di ingatannya.

“Saya memang mulai menyukai dunia literasi sejak SMA, dan itu menjadi pengalaman menarik kala itu,” katanya.

Kebiasaan itu terus berjalan mewarna hari-hari Ibnu semasa SMA. Membuatnya semakin menemukan ketertarikan dalam dunia menulis, meskipun pada saat itu ia lebih condong pada menulis nonfiksi. Pelan-pelan ia mulai tinggalkan menulis pada kertas secara manual, beralih ke blog yang berbasis internet. Hasilnya, beberapa kompetisi menulis di blog pernah ia menangi.

Ibnu juga aktif menulis artikel, dan di antaranya dimuat di media massa. Ia juga sudah memiliki buku cerita anak yang berjudul Rasidah, Si Cantik dan Manis Buatan Bedah. Buku lainnya Sanger: Racikan Kopi Khas Aceh dan Nilai-Nilai Kearifan yang diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional (Perpusnas). Buku nonfiksi ini sangat istimewa bagi Ibnu. Itu buku yang lahir dari kompetisi menulis cerita konten lokal yang diselenggarakan Perpusnas. Bersaing dengan ratusan karya peserta lainnya di seluruh Indonesia.

“Dan ini adalah kompetisi menulis pertama yang saya raih di level nasional,” katanya.

Menggenggam Prinsip untuk Menghadirkan Makna

Proses kreatif Ibnu menjadi penulis juga unik. Ia tak membatasi ide atau kecenderungan menulis pada satu tema saja. Baginya, semua cerita, peristiwa, atau momen punya makna tersendiri.

“Jadi, ketika menulis, saya fokus pada makna atau pesan apa sebenarnya yang ingin diangkat.”

Prinsip ini ia dapatkan saat aktif menjadi wartawan majalah Tarbawi di Jakarta, pada tahun 2014. Kala itu, redakturnya berpesan kepada mereka, “Kita tidak membicarakan peristiwa, tapi makna atau pesan apa yang ingin disampaikan.”

Prinsip itu ia genggam erat-erat sampai sekarang. Pesan itu ia maknai sebagai belajar menemukan kearifan di sekitar kita. Itulah sebab, bagi Ibnu, menulis bukan sekadar meracik kat.

Baca Juga  Tukang Bangunan di Cot Girek Ditemukan Tak Bernyawa, Diduga Akibat Tersengat Listrik

Dengan prinsip tersebut, penulis, khususnya ia sendiri, tidak harus membutuhkan peristiwa atau cerita besar untuk menulis. Ada kalanya, pada hal-hal sederhana, yang selama ini barangkali hanya dilihat sebagai rutinitas biasa, justru memiliki makna yang kuat bagi kita.

Suatu ketika, Ibnu pernah mengikuti pelatihan menulis di Provinsi Riau, tepatnya di Kota Teleju—kawasan prostitusi di sana.

Sebagai peserta yang berasal dari luar Riau, tentulah Ibnu tak tahu tempat apa itu, teman-teman luar Riau lainnya juga begitu. Panitia pun merahasiakan dari mereka. Barulah setiba di sana peserta diminta membuatkan tulisan tentang tempat itu.

“Spontan saya bingung. Karena tempat itu benar-benar asing bagi saya. Semua peserta sudah bergerak untuk menulis. Mereka mewawancarai para PSK, sedangkan saya masih duduk di warung, hampir satu jam lamanya,” kenangnya.

Saat itulah terbesit ide dalam pikiran Ibnu. Menuliskan tempat prostitusi tak melulu fokus pada aktivitas orang dewasa. Ia melebarkan pandangannya. Melihat ke sekeliling. Menajamkan intuisinya sebagai penulis. Hingga, diangkatlah cerita tentang tempat itu dari perspektif anak-anak yang ada di sana. Tulisan itu berhasil keluar sebagai karya terbaik kedua pilihan panitia. Ibnu bersyukur bisa menyuarakan isi hati anak-anak yang selama ini terkurung dalam lingkar kehidupan orang dewasa.

Lama setelah konsisten menulis cerita-cerita nonfiksi, memasuki tahun 2023 Ibnu mulai melirik cerita nonfiksi. Ini tantangan baru. Menulis cerita anak secara teknik sangatlah berbeda. Minim kata, tapi bagaimana bisa menghadirkan pesan-pesan yang kuat. Tantangan ini yang memacu kreativitasnya untuk lebih cermat dalam memilih diksi. Semata-mata agar pesannya bisa ditangkap oleh anak. Salah satu hasil buah pikirnya adalah Rasidah, Si Cantik dan Manis Buatan Bedah.

Baik nonfiksi maupun fiksi, sama-sama memiliki tantangan tersendiri. Menulis nonfiksi, berdasarkan pengalaman Ibnu, dituntut untuk menyajikan gagasan dengan menarik, tetapi disertai data dukung yang kuat. Di sinilah kreativitasnya sebagai penulis ditantang agar data yang “kaku” itu bisa dinikmati sebagai cerita yang renyah.

Namun, data yang dimaksud juga tak melulu soal apa yang tertulis di buku. Bisa rupa-rupa bentuknya, seperti pengalaman diri sendiri atau orang lain, termasuk perbincangan dengan orang-orang asing.

“Karena itulah, bagi saya setiap peristiwa atau kenangan akan saya simpan baik-baik. Karena bisa saja, semua itu akan menjadi amunisi berharga untuk menulis di kemudian hari,” katanya.

Sementara menulis fiksi, prinsipnya sama dengan menulis nonfiksi. Hanya saja, untuk fiksi menuntut kecermatan tinggi untuk mengombinasikan imajinasi dan kenyataan. Ide-ide yang berseliweran di benak harus mampu ia aktualisasikan dalam sebuah karya.

Dedikasi untuk Tanah Tamiang

Selama proses kreatif menulis itu berlangsung, ada satu hal yang disadari Ibnu dan dipercaya menjadi “resep” ampuh yaitu membaca. Ibnu mulai terpapar dengan bacaan sejak duduk di bangku SMP. Ia sering ke perpustakaan di sekolahnya. Buku-buku bertema sains sering menjadi pilihannya. Bacaan-bacaan yang menuntaskan rasa penasarannya tentang rahasia di balik sebuah peristiwa atau fenomena. Menarik karena semua dapat dijelaskan dan diterima dengan logika.

Sebagai penulis, Ibnu punya waktu-waktu tertentu. Biasanya ia kerap menulis di malam hari, ketika anak-anaknya mulai tidur. Tulisan-tulisan tertentu yang berkaitan dengan tenggat, ia sesuaikan dengan kebutuhan. Dalam tahun ini, dua buku cerita anak karya Ibnu siap meluncur ke pembaca. Keduanya berjudul Petualangan ke Negeri Pantun dan Berburu Ikan Jurong di Sungai Tamiang.

Sebelum mulai menulis, biasanya ia menentukan dulu tema atau pesan yang ingin disampaikan. Kalau mentok, dia melakukan brainstorming ide dengan caranya sendiri. Bisa dengan mengunjungi toko buku, membaca buku, termasuk nonton film. Kadang-kadang dengan membaca artikel-artikel di internet.

Baca Juga  Tokoh Masyarakat Apresiasi Kinerja Kapolres Lhokseumawe

Setelah menemukan ide barulah dia membuat draf awalnya. Biasanya ia tuliskan dulu apa yang terlintas di pikiran, baru setelah itu menyusun data pendukung yang dibutuhkan. Kemudian barulah menulis naskah secara tuntas. Yang juga tak boleh terlewatkan adalah proses swasunting dan review tulisan. Bisa pula tulisan tersebut didiamkan sejenak. Jika sudah dirasa matang, tulisan itu barulah dipublikasikan atau dikirimkan (jika untuk lomba). Ketekunan itulah yang mengantarkan karya-karya ibnu memenangi lomba, baik di tingkat lokal hingga nasional.

“Saat ini sedang dalam tahap ilustrasi naskah dan finalisasi. Selain itu, saya juga sedang menggarap buku nonfiksi dari sebuah perusahaan besar di Indonesia. Ini termasuk pengalaman baru bagi saya dalam menulis nonfiksi sebab gaya menulisnya tidak biasa. Insyaallah launching dalam tahun ini juga,” kata alumni UKM Pers Detak USK itu.

Sebagai penulis yang notabenenya adalah pegiat literasi, Ibnu berharap gerakan literasi di Aceh terus menyala. Ia selalu menyimpan harap agar masa depan dunia kepenulisan di Aceh akan terus bersinar. Harapan ini tak muluk-muluk mengingat Aceh adalah tanah yang memiliki sejarah, budaya, dan potensi alam yang luar biasa. Semua itu membutuhkan tangan-tangan terampil untuk menarasikannya.

“Agar Aceh semakin dikenal luas. Agar semuanya tidak lenyap begitu saja,” tegas Ibnu.

Ibnu berharap, siapa pun yang punya kuasa atau pemangku kepentingan bisa memberi perhatian serius terhadap dunia literasi di Aceh. Buatlah apa saja, sesederhana apa pun itu, untuk menumbuhkembangkan dunia literasi di Aceh.

Dibandingkan aktivitas lain, ada kepuasan tersendiri bagi Ibnu saat berhasil menuntaskan sebuah tulisan. Terlebih, jika tulisan itu untuk lomba dan berhasil disubmit. Namun, yang paling mendebarkan tentu saja ketika melihat namanya muncul di barisan nama peserta yang menang

“Sederhananya, menulis telah memberikan kebahagiaan tersendiri bagi saya. Manfaat lainnya, menulis telah memberi kesempatan bagi saya bertemu banyak orang. Mengunjungi tempat-tempat asing serta mendengar cerita-cerita yang selama ini tak didengar. Jadi, saya sengat bersyukur telah memilih untuk menekuni dunia menulis ini,” kata Ibnu yang saat ini bergiat di Forum Lingkar Pena Aceh.

Sebagai putra asli Tamiang, Ibnu juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengenalkan identitas atau khazanah budaya Aceh Tamiang melalui tulisan. Tanah Tamiang memiliki potensi yang besar. Sejarahnya menarik, potensi wisatanya besar. Budayanya juga unik. Untuk itulah, iaa berusaha menulis apa saja tentang Tamiang. Berusaha untuk mengenalkan tanah kelahirannya pada dunia.[]

Example 120x600