Byklik | Banda Aceh–Konflik Aceh yang berlangsung hampir tiga dekade lamanya telah meninggalkan luka mendalam bagi rakyat Aceh. Namun, setelah perdamaian dan kini usianya genap 20 tahun, Aceh telah bertransformasi menjadi tanah yang damai bagi penduduknya yang berjumlah sekitar 5,5 juta jiwa. Meski demikian, suara-suara yang kerap terpinggirkan, khususnya suara perempuan, tidak boleh diabaikan dalam merawat perdamaian.
Hal tersebut disampaikan oleh Gubernur Aceh yang diwakili oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh, Meutia Juliana, saat memberikan sambutannya dalam webinar bertajuk “Suara Perempuan yang Terpinggirkan: Memaknai dan Merawat 20 Tahun Perdamaian Aceh”. Webinar ini diselenggarakan oleh Balai Syura Ureung Inong Aceh bekerja sama dengan Komnas Perempuan untuk memperingati 20 tahun damai Aceh sekaligus 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, Selasa, 19 Agustus 2025.
Baca juga: Suara Perempuan Aceh di Dua Dekade Usia Perdamaian
“Perempuan Aceh tercatat memegang peran sentral dalam pembangunan ekonomi daerah. Data menunjukkan, sebesar 64,5 persen pelaku ekonomi di Aceh adalah perempuan. Mereka hadir sebagai pengusaha di berbagai sektor, menciptakan lapangan kerja, memberdayakan komunitas sekitar, serta melahirkan produk inovatif yang mampu bersaing di pasar lokal maupun nasional,” kata Meutia.
Sektor ekonomi kreatif menjadi arena unggulan yang banyak digeluti perempuan Aceh, mulai dari fesyen, kuliner, hingga digital marketing. Perempuan Aceh disebut sebagai pilar utama ekonomi kreatif dan digital.
Namun, di balik kontribusi tersebut, perempuan masih menghadapi tantangan serius. Sepanjang 2024, tercatat lebih dari seribu kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di Aceh. Dari jumlah itu, 500 di antaranya merupakan kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka ini terus meningkat setiap tahun. Bahkan, anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan. Situasi ini menimbulkan pertanyaan apakah masih banyak kasus serupa yang tidak terlaporkan di lapangan.
Selain persoalan kekerasan, kesenjangan politik juga menjadi sorotan. Keterwakilan perempuan di parlemen Aceh saat ini hanya 8 dari 81 kursi atau sekitar 10–11 persen, turun dibanding periode sebelumnya yang mencapai 12,28 persen.
“Angka ini masih jauh dari target 30 persen keterwakilan perempuan dalam politik,” katanya.
Padahal, perempuan Aceh memiliki sejarah panjang dalam perjuangan. Dari kalangan eks kombatan, korban konflik, penyandang disabilitas hingga kelompok minoritas, mereka pernah berdiri di garda terdepan sebagai pejuang dan penjaga nilai budaya. Sayangnya, suara mereka masih belum mendapat ruang yang proporsional dalam pengambilan kebijakan publik.
Kondisi ini menunjukkan, meski perdamaian telah berjalan selama dua dekade, perempuan Aceh masih membutuhkan dukungan optimal agar perannya dalam ekonomi, politik, dan pembangunan benar-benar diakui serta diberi ruang setara. []