SENGKETA perampasan empat pulau di Aceh sudah berakhir, tetapi meninggalkan pekerjaan rumah yang banyak bagi pemerintahan dan rakyat Aceh. Setiap jengkal tanoh endatu, sangat rentan dirampas baik oleh provinsi lain maupun dipersengketakan negara tetangga dengan berbagai dalil dan cara.
Keberhasilan Pemerintah Aceh (baca: Mualem) dalam mengembalikan kepemilikan keempat pulau tersebut dalam wilayah Aceh, masih menjadi perbincangan sampai ke tingkat nasional hingga saat ini. Muzakir Manaf alias Mualem mendapat apresiasi secara nasional termasuk oleh warga Aceh yang berada di luar negeri.
Kalau kita mengikuti perjalanan sengketa pulau tersebut, sejak awal terlihat dukungan terhadap masyarakat Aceh datang dari berbagai tokoh nasional dan masyarakat Indonesia. Bahkan sejumlah tokoh dan masyarakat Sumatra Utara pun, terlihat mendukung Aceh dalam sengketa itu.
Mengapa dukungan datang kepada masyarakat Aceh, tentunya dengan berbagai sebab, mulai dari alasan politis, data empiris, sejarah panjang konflik bersenjata, sampai sikap kritis (untuk tidak menyebutnya kebencian) terhadap keputusan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Banyak yang mencurigai bahwa keputusan itu sudah diskenariokan sejak awal.
Pernyataan Tito untuk membawa keputusannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara, juga bagian dari skenario tersebut. Publik menilai pola kelompok tersebut memang membawa ke ranah hukum untuk kemudian menggunakan kekuasaan untuk memutilasi hukum.
Untunglah Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah cepat dan bijak dalam memutuskan sengketa Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang tersebut. Jika tidak, tentunya menimbulkan dampak politik, sosial, dan keamanan.
Kejadian ini meninggalkan pesan bagi pemerintah dan masyarakat Aceh, baik dari sisi politik, hukum, administrasi pemerintah, maupun tata kelola wilayah. Kekuatan hukum dan administratif terkadang begitu mudah dipatahkan oleh kepentingan kekuasaan.
Untuk itulah, pemerintah Aceh harus memiliki dokumentasi wilayah yang akurat dan lengkap, terutama di daerah perbatasan dengan provinsi tetangga, lebih-lebih dengan negara lain. Tanpa data geografis yang lengkap dan akurat, sebuah wilayah bisa lepas meski secara historis sudah dikenal masuk wilayah Aceh.
Kejadian ini juga menunjukkan lemahnya koordinasi antarlembaga pemerintahan. Alasan sejumlah menteri dan pejabat, termasuk putra Aceh sendiri, menunjukkan mereka tidak memiliki data yang lengkap dan akurat, atau memang sengaja mengeluarkan narasi sesat untuk mendukung pencaplokan keempat pulau tersebut.
Ke depan, pendataan batas wilayah serta potensi kekayaan alam yang ada di dalamnya, harus dibenahi Pemerintahan Aceh. Bila mendukung, pulau-pulau yang ada bisa digarap menjadi salah satu destinasi wisata.
Penguatan batas wilayah sekarang harusnya lebih mudah dengan kecanggihan teknologi. Kejadian ini menjadi momentum bagi Pemerintah Aceh untuk menetapkan dan meninjau ulang batas-batas wilayah dengan melibatkan masyarakat sekitar. Dalam hal ini, kerja sama dengan provinsi tetangga serta pemerintah pusat tidak boleh ditinggalkan.[]