Byklik | Lhokseumawe–Upaya pemberdayaan petani atsiri lokal kembali digalakkan melalui kegiatan Transformasi Double Function Parfum Aceh Anti-Dermatitis: Usaha Pemberdayaan Petani Atsiri Lokal Menuju Ekonomi Kreatif. Program Pengabdian kepada Masyarakat Politeknik Negeri Lhokseumawe ini berlangsung di Desa Blang Poroh, Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe, dengan mitra kelompok Aceh Aromatik.
Kelompok Aceh Aromatik sebelumnya telah meluncurkan parfum antidermatitis bermerek Mi Amore sejak tahun 2022 dengan tiga varian aroma. Namun, produk tersebut masih menghadapi tantangan berupa kualitas aroma yang cepat hilang, biaya produksi tinggi, serta jangkauan pasar terbatas hanya di tingkat lokal.
Penyebab utamanya adalah proses penyulingan minyak atsiri yang masih sederhana, sehingga rendemen rendah dan kandungan senyawa aktif seperti geraniol pada serai tidak memenuhi standar industri. Selain itu, keterbatasan manajemen dan keterampilan kewirausahaan membuat kelompok ini sulit bersaing di pasar.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, tim pengabdian dari Politeknik Negeri Lhokseumawe menghadirkan serangkaian pelatihan berbasis teknologi tepat guna yang diikuti 20 peserta dari kelompok Aceh Aromatik, mahasiswa, dosen, serta masyarakat umum.
Ketua tim pengabdian, Ir. M. Yunus, M.T., mengatakan pelatihan dilaksanakan dalam lima tahap dengan jeda waktu evaluasi di antaranya penyulingan dengan alat tepat guna, formulasi parfum antidermatitis, labeling dan pengemasan produk, strategi promosi dan konten kreatif, serta evaluasi dan keberlanjutan program.
Padatahap pertama, peserta diperkenalkan cara penyulingan berbasis standar industri untuk menghasilkan minyak atsiri berkualitas.
“Baru pada tahap kedua peserta belajar teknik pembuatan parfum. Hasilnya, lahir tiga varian baru, yaitu Fresh Citrus, Woody Cam, dan Herbal Relax. Masing-masing diproduksi sebanyak 50 botol 10 mili untuk uji coba,” kata M. Yunus, Rabu, 24 September 2025.
Selanjutnya, pada tahap labeling dan pengemasan produk, seluruh parfum diberi kemasan elegan dan ramah lingkungan. Label Mi Amore didesain dengan warna berbeda pada tiap varian agar mudah dikenali konsumen. Peserta juga dibekali dengan pelatihan promosi digital melalui media sosial. Akun Instagram @miamoreparfume dibuat dengan tujuh unggahan awal berisi produk, manfaat, hingga testimoni. Promosi offline juga diperkuat melalui brosur sederhana dan rencana partisipasi pada pameran UMKM.
“Terakhir, evaluasi dan keberlanjutan program. Ini penting agar program tidak berhenti pada tahap produksi. Tim dosen tetap memberikan pendampingan jarak jauh agar kelompok mampu menjaga keberlanjutan usaha. Ke depan, direncanakan kerja sama dengan distributor lokal serta partisipasi dalam pameran UMKM tingkat kota,” katanya.
M Yunus berharap, petani tidak hanya menjadi pemasok bahan baku, tetapi bisa naik kelas dengan menghadirkan produk kreatif bernilai tambah tinggi. Dengan inovasi parfum antidermatitis ini, Aceh dapat menjadi pusat ekonomi kreatif berbasis atsiri.
Dengan inovasi ini, parfum Mi Amore diharapkan dapat menembus pasar nasional bahkan internasional, sekaligus memperkuat branding Aceh sebagai salah satu penghasil minyak atsiri berkualitas dunia.[]