Oleh Afifah Nuraini*
Malam turun perlahan di Desa Lampaya, di ujung Aceh Besar, ditemani cahaya yang mengendap dari sela-sela pohon. Suara rapa’i mulai dipukul perlahan , mengalun seperti iringan lagu yang merdu. Di pelataran meunasah, orang-orang mulai berkumpul dan ada pula yang meninggalkan meunasah secara perlahan karena takut untuk menyaksikan pentas itu. Mereka tahu, malam ini akan tampil sosok yang jarang muncul yaitu Pak Amin, lelaki yang namanya melegenda dalam dunia rapa’i daboh. Bukan sekadar pemain, dia adalah simbol, penjaga, dan saksi hidup dari tradisi pedang yang nyaris punah.
Pak Amin meyakini bahwa rapa’i daboh merupakan seni antimainstream yang terkenal di Aceh, karena itu adalah seni yang berkolaborasi antara alat musik rapa’i dengan atraksi para pedebus yang menikam, memukul kepala dan badannya dengan benda tajam. Meski adegan ini ekstrem, tetapi tidak meninggalkan bekas pada tubuh si pedebus seakan-akan semua benda tajam menjadi lunak di badan mereka.
“Saya mulai belajar ilmu top daboh semenjak kelas 4 SD, dan sudah mulai tampil pada saat Benyamin S mengunjungi Universitas Abulyatama,” ucap Pak Amin pelan, seraya mengingat nostalgianya yang cukup menyenangkan bagi dirinya, pada Mei 2025 lalu.
Tangannya masih sigap meski usia telah menua. Kerutan di wajahnya seperti ukiran waktu yang mencatat ratusan pertunjukan yang pernah ia lalui tanpa luka, namun penuh makna.
Pada setiap pertunjukkan, ia mulai menaiki panggung sembari berzikir dan berselawat. Tangannya mengayunkan sebuah pedang yang sangat tajam layaknya pisau yang diasah sebelum memotong ikan, tubuhnya meliuk mengikuti irama rapa’i yang dimainkan oleh 10-15 orang. Gerakan atraksi rapa’i daboh ini mirip silat, tapi setiap langkahnya diiringi sapuan tajamnya pedang. Sesekali tajamnya pedang menyentuh kulitnya, tetapi tak satu pun goresan tercipta di tubuhnya.
Kondisi tersebut terjadi karena diiringi tarikat, yaitu Tarikat Naqsabandiyah dan Qadariyah, yang dimaksud untuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun, sesekali ia merasa khawatir pada saat atraksi sedang berlangsung. Ia takut jika ada di antara penonton yang menyalahgunakan atraksi tersebut dan dapat membahayakan dirinya.
“Setiap gerakan punya makna tertentu, bukan cuma sekadar gaya. Ada gerakan melindungi diri, ada gerak menyambut musuh, bahkan ada gerakan untuk mengusir setan,” katanya dengan nada penuh semangat.
Seketika suara yang tadinya ramai hening seketika, semua terdiam menyaksikan aksi yang sangat profesional itu. Anak-anak menatapnya dengan mata berbinar, beberapa ada yang bertepuk tangan kecil, pemuda menelan ludah, dan para tetua yang menunduk khusyuk. Sungguh suasana yang sangat sederhana, namun sarat makna.
Tidak semua orang setuju dengan apa yang dilakukan Pak Amin, beberapa orang menganggap pertunjukan itu berbahaya. Ada pula yang mengaitkannya dengan mistik dan hal-hal gaib. Namun, Pak amin tidak mempermasalahkan hal tersebut dan tidak ingin ambil pusing.
“Orang-orang boleh bicara apa saja tentang saya, tapi selama niat kita tulus karena Allah, tidak akan sia-sia. Saya tidak mencari uang karena ini, bukan juga ingin mendapat pujian dari orang-orang, tapi saya cuma ingin anak-anak tahu kita punya warisan yang tak kalah keren dan hebat,” ujarnya tegas.
Ia menyayangkan para pemuda yang belajar rapa’i daboh dengannya belum ada yang benar-benar serius. Beberapa anak muda sempat datang, ikut latihan satu sampai dua kali, kemudian berhenti. Sebagian karena takut dan sebagiannya merasa tidak ada manfaatnya. Bahkan anak kandungnya sendiri memilih bekerja di kota dan tidak tertarik sama sekali dengan dunia rapa’i daboh.
“Anak saya bilang, apa yang didapat dari bermain pedang? Saya diam dan berpikir, mungkin mereka benar. Tetapi saya juga tidak bisa menyerah begitu saja,” ucapnya dengan mata sedikit berlinang.
Namun sekarang, karena kegigihannya, ia berhasil menurunkan ilmunya kepada anaknya bahkan sekarang mereka berdua sering menampilkan atraksi tersebut bersama-sama. Itu adalah suatu kebahagiaan bagi Pak Amin sendiri, karena akhirnya ada yang tertarik dan bisa melanjutkan perjuangannnya mempertahankan seni pedang tersebut.
“Pedang itu bisa tidak menyakiti kita jika kita tunduk pada Allah. Kalau sombong sedikit saja, pedang itu bisa melukai kita seketika. Saya pernah saksikan sendiri, teman saya terbakar karena niatnya yang tidak benar,” ungkapnya lirih.
Itulah alasan mengapa ia selalu membaca ayat pelindung, mencium pedangnya tiga kali. Itu bukan ritual syirik, tapi bentuk penghormatan pada ilmu yang beliau anggap hanya titipan.
“Sekarang anak-anak sudah tidak peduli lagi akan warisan budaya nenek moyang kita, mereka malah sibuk dengan handphone-nya yang kadang tidak digunakan dengan benar,” katanya dengan nada sedih dan kecewa.
Di era yang serbacanggih, ia tetap gigih mempertahankan budaya yang sangat berarti dihidupnya, bahkan ia sampai mengajarkan anak-anaknya arti top daboh yang sangat berarti dan bermakna. Bagi dirinya rapa’i daboh memiliki makna yang sangat mendalam, dan tak sembarang orang bisa melakukannya.
“Hanya yang yakin yang bisa melakukan atraksi itu,” ujarnya sambil memegang pedang yang telah menemaninya selama ini.
Ia tetap mengenang paman dan teman-temannya yang menemani perjalanannnya dalam seni top daboh. Namun, terkadang kenangan itu terasa menyedihkan ketika mengingat pemuda sekarang yang hidup acuh tak acuh terhadap adat budaya yang harusnya tetap dijaga dan dilestarikan hingga kini.
Asal usul rapa’i daboh memanglah tak terdokumentasi secara rinci. Masyarakat Lampaya di Kecamatan Lhoknga percaya bahwa pertunjukkan ini telah ada sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu.
“Dahulu, saya dan teman-teman saya sangat sering tampil di setiap acara, namun sekarang sudah jarang karena orang-orang tidak lagi mengenal apa itu rapa’i daboh,” ujar seseorang yang sangat menginginkan budaya itu kembali cemerlang seperti sediakala.
Namun, apalah daya di era sekarang orang-orang lebih senang dengan budaya asing dan mengenyampingkan budaya lokal yang seharusnya patut kita jaga.
Bagi anak-anak pada masa itu, rapa’i daboh adalah hiburan yang tak terlupakan dan sebuah atraksi yang sangat keren. Bagi orang tua, ini adalah pertunjukan yang sangat ditunggu-tunggu pada setiap acara, dan bagi para turis yang berkunjung pada masa itu, ini pengalaman budaya yang eksotis dan langka.
“Dulu waktu kecil saya sering nonton rapa’i daboh di meunasah setiap ada maulid, rasanya sangat seru karena semua warga berkumpul dan menonton bersama,” ucap seorang nenek bernama Mardhiah Hasan.
Ia adalah seorang warga asli gampong Lampaya. Ia sangat berharap budaya seperti ini akan terus ada supaya anak cucunya bisa melihat, dan mengetahui bahwa Aceh memiliki budaya yang sangat bermakna.
“Alasan anak muda tidak mau memainkan rapa’i daboh karena merasa takut akan terluka, dan menganggapnya tidak relevan di era modern,” kata Pak Amin.
Ia berharap pemerintah memberi dukungan terhadap pelestarian budaya lokal yang nyaris punah. Karena menurutnya pemerintah memiliki kewajiban untuk memfasilitasi generasi muda, juga menyiapkan wadah agar mereka bisa tetap melestarikan budaya-budaya yang terancam punah.
Pak Amin tahu, tubuhnya tak selamanya kuat. Tapi ia berharap, meski rapa’i daboh mungkin tak lagi menari di pelantaran desa seperti dulu, nyalanya tetap hidup di dada siapa pun yang mau percaya bahwa warisan bukan sekadar untuk disimpan, tapi dihidupkan. Padahal Aceh masih sangat memerlukan pedebus dan penabuh rapa’i untuk dapat melestarikan pertunjukan unik itu.
Hal ini sangat disayangkan, mengingat rapa’i daboh bukanlah seni yang bisa dilakukan oleh sembarang orang, yang seharusnya bisa untuk terus dipertahankan kelestariannya untuk anak cucu kita. Dan ketika semuanya usai, hanya satu yang ia pinta, bukan pujian, bukan penghormatan. Hanya saja, agar suatu hari, di generasi yang entah kapan, ada satu anak muda yang bertanya apa itu top daboh dan ada yang bisa menjawabnya.
Dalam dunia yang bergerak sangat cepat, terkadang kita lupa dari mana kita berasal. Tradisi seperti rapa’i daboh bukan sekadar atraksi, tetapi cerminan dari jiwa kita yang pernah berani, kuat, dan penuh keyakinan. Dari orang seperti Pak Amin kita belajar bahwa menjaga warisan bukan cuma tentang mempertahankan gerakan, tetapi juga menjaga nilai, doa, dan cinta yang ada di dalamnya.
Melalui sosoknya, menjadi pengingat bagi kita bahwa warisan budaya tidak akan bertahan karena tua atau mudanya usia, tetapi karena kesediaan kita untuk terus merawatnya. Kita mungkin tidak lagi bermain pedang di zaman sekarang, tetapi semangatnya bisa kita jaga di hati, dalam bentuk kepedulian, rasa hormat, dan keberanian untuk meneruskannnya.
Karena pada akhirnya, setiap generasi harus memilih ingin menjadi abu yang diam atau api yang menyalakan.[]
Penulis adalah siswa kelas XI IBS 1 SMAN 7 Banda Aceh