Byklik | Banda Aceh—Anggota Komisi III DPR RI asal Aceh, Nasir Djamil, menilai maraknya tambang ilegal di Aceh menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam di daerah. Kondisi ini telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan ketimpangan ekonomi yang jauh dari amanat konstitusi.
“Tidak ada kewajiban reklamasi terhadap lingkungan yang rusak akibat tambang ilegal itu. Akibatnya, kerusakannya seperti ban bocor halus—mungkin kecil-kecil, tapi menyebar di mana-mana. Ini membuat kita lelah melihatnya,” ujar Nasir dalam diskusi publik bertajuk “Mengurai Benang Kusut Tambang Ilegal, Uang Hitam, dan Solusinya” yang diselenggarakan oleh Aceh Bergerak, Forum Jurnalis Lingkungan (FJL), dan Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina) di Hoco Coffee, Lambhuk, Banda Aceh, Selasa, 7 Oktober 2025.
Nasir menyebutkan, kondisi ini semakin ironis karena di antara delapan kabupaten termiskin di Aceh justru banyak memiliki sumber daya tambang yang kaya, namun dikelola tanpa izin dan hanya dinikmati segelintir orang. “Kita miris. Ada kabupaten kaya tambang tapi tetap miskin karena hasilnya tidak dinikmati rakyat,” katanya.
Ia juga menyinggung deklarasi “Pemolisian Hijau” atau green policing yang belum lama ini diluncurkan oleh Kapolda Aceh sebagai langkah respons terhadap isu lingkungan dan pertambangan ilegal. Namun, Nasir mengingatkan agar program tersebut tidak berhenti pada simbol semata.
“Bagus ada pemolisian hijau, tapi jangan hanya jadi jargon. Jangan sampai di lapangan aktivitas ilegal tetap berjalan, sementara uang hasil tambang ilegal mengalir ke mana-mana,” tegasnya.
Nasir menilai, pengawasan publik dan aktivisme masyarakat merupakan bagian penting dari demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.
“Pasal itu jelas menyebut, bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tapi selama ini, demokrasi ekonomi jarang dibicarakan. Kita sibuk dengan demokrasi politik,” ujarnya.
Menurutnya, demokrasi ekonomi yang diinginkan para pendiri bangsa adalah sistem yang berasaskan keadilan, efisiensi, kebersamaan, dan wawasan lingkungan. Karena itu, ia mendorong agar kebijakan pengelolaan tambang di Aceh sejalan dengan prinsip tersebut.
“Green policing harus benar-benar diwujudkan dalam perilaku dan tindakan. Ini bukan hanya tugas polisi, tapi juga akademisi, seniman, aktivis lingkungan, dan seluruh masyarakat,” tutur Nasir.
Ia menambahkan, pelibatan masyarakat dalam gerakan pelestarian lingkungan harus menjadi prioritas. “Kita ingin Aceh punya cetak biru penyelamatan sumber daya alam yang jelas, yang bisa dijadikan rujukan bagi siapa pun yang menjabat ke depan. Sumber daya alam harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat konstitusi,” pungkasnya.[]