Hiburan & Budaya

Monolog “Tubuh yang Tak Pernah Takluk” akan Dipentaskan di Rumah Cut Nyak Dhien

×

Monolog “Tubuh yang Tak Pernah Takluk” akan Dipentaskan di Rumah Cut Nyak Dhien

Sebarkan artikel ini

Byklik | Banda Aceh–Seniman teater asal Banda Aceh, Zikrayanti, akan mementaskan monolog tubuh berjudul “Cut Nyak” di Museum Rumoeh Cut Nyak Dhien, Lampisang, Aceh Besar, pada Sabtu malam, 6 September 2025.

Pertunjukan ini mengangkat tema “Tubuh yang Tak Pernah Takluk” sebagai simbol semangat juang pahlawan nasional Cut Nyak Dhien yang hingga kini dikenang sebagai ikon perlawanan perempuan Aceh.

Zikrayanti menyebut, pementasan ini sengaja dikemas dengan bentuk monolog tubuh, yakni pertunjukan yang minim kata namun sarat ekspresi gerak.

“Monolog tubuh dengan minim kata namun kaya ekspresi gerak akan menyampaikan perjuangan, penderitaan, dan kekuatan batin seorang perempuan yang menjadi ikon perlawanan nasional,” ujarnya, Kamis, 28 Agustus 2025.

Cut Nyak Dhien adalah salah satu tokoh perempuan paling berpengaruh dalam sejarah perjuangan bangsa. Ia tidak hanya dikenal karena keberanian memimpin perlawanan rakyat Aceh melawan Belanda tetapi juga karena keteguhan hati dan kecerdasannya dalam strategi perang gerilya. Hingga akhir hayatnya dalam pengasingan, Cut Nyak Dhien tetap menolak menyerah.

Bagi Zikrayanti, mengenang sosok tersebut tidak cukup hanya lewat buku pelajaran atau dokumen sejarah. Ia menilai seni pertunjukan adalah medium yang lebih emosional dan reflektif.

Baca Juga  Ayo, Rayakan Sinema di Aceh Film Festival!

“Pementasan monolog tubuh ini bertujuan menghadirkan kembali semangat perjuangan Cut Nyak Dhien melalui pendekatan pertunjukan yang lebih simbolik dan emosional,” katanya.

Pertunjukan berdurasi sekitar 30-45 menit ini disutradarai oleh Nazar Shah Alam dan akan dibagi ke dalam lima bagian dramatik. Elemen artistik dirancang oleh Arifa Safura, seorang seniman rupa dari Aceh yang telah sering memamerkan karyanya baik di dalam maupun di luar negeri. Kemudian, musik akan  digarap oleh Dana Maulana yang dikenal sebagai salah satu komposer ternama di Aceh. Kolaborasi ini diharapkan menjadi ruang kreatif lintas disiplin seni.

“Pementasan ini juga menjadi bentuk pemberdayaan narasi perempuan dalam sejarah, di mana kisah Cut Nyak Dhien sebagai tokoh sentral akan disuarakan dari perspektif tubuh yang menyimpan trauma, keteguhan, keimanan dan ketegangan dalam diam,” ungkap Zikrayanti.

Zikrayanti berharap pementasan ini tidak hanya menjadi tontonan, melainkan juga ruang refleksi. “Lewat tubuh Cut Nyak Dhien, kita belajar bahwa perjuangan tidak selalu bersenjata; kadang, keberanian dan keteguhan adalah bentuk perlawanan yang paling dalam,” ujarnya.

Baca Juga  Libur Lebaran di Aceh, Museum Tsunami Ramai Pelabuhan Ulee Lheue Padat

Pementasan ini dipandang penting dalam memperkaya khazanah seni pertunjukan Aceh sekaligus menghadirkan cara baru dalam mengajarkan sejarah kepada generasi muda. Dengan pendekatan tubuh sebagai medium ekspresi, tema besar yang diusung menegaskan posisi perempuan dalam sejarah bangsa. Tubuh perempuan justru ditampilkan sebagai sumber kekuatan. Pesan ini selaras dengan semangat pemberdayaan perempuan dalam kehidupan kontemporer Aceh maupun Indonesia.

Pementasan “Cut Nyak” di Rumoeh Cut Nyak Dhien juga memiliki makna simbolis. Rumah peninggalan pahlawan perempuan itu menjadi saksi bisu perjuangan masa lalu, sekaligus panggung untuk menghidupkan kembali semangat juang lewat seni. Dengan menggabungkan kekuatan sejarah, seni pertunjukan, dan narasi perempuan, monolog tubuh Cut Nyak menjadi upaya kreatif untuk menjaga ingatan kolektif bangsa.

Pertunjukan ini tidak hanya memberi pengalaman teater yang reflektif, tetapi juga mengingatkan publik bahwa semangat perjuangan perempuan Aceh tetap relevan di masa kini.

“Perjuangan Cut Nyak Dhien tidak hanya layak dikenang, tapi juga perlu terus dihidupkan dalam semangat seni yang membebaskan,” tutup Zikrayanti.[]

Example 120x600