ACEH adalah tanah yang akrab dengan bencana. Kita telah menyaksikan gempa dahsyat, tsunami mematikan, banjir yang terus datang setiap musim penghujan, hingga longsor yang menutup akses pemukiman.
Trauma kolektif itu seharusnya menjadi guru paling berharga. Namun dua dekade pascatsunami, yang kita lihat justru ironi: mitigasi bencana masih berkutat pada rapat, presentasi, dan forum diskusi yang berulang—bukan pada kesiapsiagaan nyata di lapangan, seperti yang kita saksikan dalam bencana banjir yang sedang terjadi ini.
Forum Diskusi Kelompok (FGD) kini seperti ritual wajib tahunan. Undangan disebar, pemateri diundang, hotel dipenuhi spanduk mitigasi, dan sesi fotografi jadi penutup ditambah dengan postingan di media sosial. Namun pertanyaan yang terus menggantung adalah: Apa tindak lanjut setelah tepuk tangan terakhir berhenti?
Seorang pengamat kebencanaan pernah menyampaikan kritik tajam, “Mitigasi bencana di Aceh hanya kuat di judul FGD, lemah di implementasi.” Dan fakta di lapangan tampaknya mendukung pernyataan itu. Jalur evakuasi di sejumlah wilayah pesisir banyak yang hilang tanda atau tertutup bangunan baru. Sistem peringatan dini, yang seharusnya menjadi garis pertahanan pertama, kerap tidak berfungsi optimal atau tidak dipahami masyarakat. Bahkan simulasi evakuasi yang dulu pernah rutin, kini jarang terdengar kabarnya dan tidak berdampak.
Lebih mengkhawatirkan lagi, mitigasi masih dipandang sebagai proyek, bukan investasi masa depan. Ketika anggaran habis, kegiatan pun ikut berhenti. Tidak ada keberlanjutan, evaluasi kinerja, ataupun pengukuran dampak. Ini berarti Aceh terus menempatkan diri dalam posisi reaktif—baru bergerak setelah bencana sudah terjadi.
Padahal mitigasi adalah kerja panjang, sistematis, dan terencana. Ia membutuhkan kurikulum kebencanaan di sekolah, pelatihan rutin bagi masyarakat adat dan aparatur desa, perawatan infrastruktur evakuasi, hingga pembaruan teknologi peringatan dini. Semua ini harus dilakukan, bukan hanya dirancang.
Sudah saatnya pemerintah, BPBD, akademisi, dan semua pemangku kepentingan berhenti menjadikan mitigasi sebagai retorika. Aceh tidak membutuhkan lebih banyak forum tanpa arah. Aceh membutuhkan aksi nyata: desa yang siap, masyarakat yang terlatih, dan sistem yang bekerja bahkan ketika listrik padam dan panik melanda.
Bencana adalah takdir, tetapi kesiapsiagaan adalah pilihan. Dan pilihan itu menentukan apakah kita menjadi korban berulang, atau masyarakat yang belajar dari sejarah. Sudah cukup bicara—sekarang saatnya bekerja. []












