Byklik | Banda Aceh—Pemerintah Aceh sedang menyiapkan regulasi khusus untuk pengelolaan tambang rakyat (pertambangan rakyat) yang selama ini belum memiliki payung hukum yang jelas. Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya menertibkan aktivitas tambang yang tersebar di sejumlah kabupaten/kota, sekaligus memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi masyarakat yang menggantungkan hidup dari sektor ini.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Aceh, Taufik, S.T., M.Si. dalam diskusi publik Mengurai Benang Kusut Tambang Ilegal, Uang Hitam, dan Solusinya. Diskusi ini diselenggarakan bersama oleh Aceh Bergerak, Forum Jurnalis Lingkungan, dan Forum Bangun Investasi Aceh di Hoco Coffee Lambhuk, Banda Aceh, Selasa, 7 Oktober 2025.
Taufik mengatakan, penyusunan regulasi ini telah melibatkan berbagai instansi terkait, termasuk Polda Aceh, Kejaksaan, Kodam, BIN, serta pemerintah kabupaten/kota.
“Alhamdulillah, semangat semua pihak sangat tinggi. Dalam rapat koordinasi yang dipimpin langsung oleh Bapak Gubernur di pendopo minggu lalu, seluruh unsur mendukung penuh penataan tambang rakyat ini,” ujarnya.
Ia menjelaskan, salah satu fokus utama pemerintah saat ini adalah penertiban tambang ilegal yang beroperasi tanpa izin resmi. Namun demikian, langkah ini akan dibarengi dengan penyediaan solusi alternatif agar masyarakat yang bergantung pada tambang tetap memiliki sumber penghidupan.
“Kita tidak ingin penertiban tambang justru menimbulkan keresahan. Karena itu, kami siapkan mekanisme tambang rakyat yang sesuai dengan ketentuan hukum,” jelasnya.
Pemerintah Aceh mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, khususnya Pasal 156 yang menegaskan bahwa kewenangan pengelolaan sumber daya alam berada pada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota. Ketentuan ini kemudian diperkuat dengan Qanun Aceh Tahun 2013 yang mengatur kewenangan daerah dalam penetapan wilayah pertambangan.
Lebih lanjut, sejak Maret 2025, Pemerintah Aceh telah meminta seluruh bupati dan wali kota untuk mengusulkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di daerah masing-masing. Beberapa daerah yang telah menyampaikan usulan antara lain Aceh Barat, Aceh Jaya, dan Aceh Tengah.
“Penetapan WPR menjadi langkah awal sebelum izin diberikan kepada koperasi atau kelompok masyarakat yang akan mengelola tambang rakyat secara legal,” kata pejabat tersebut.
Menurutnya, penyusunan pedoman dan dokumen teknis WPR kini sudah memasuki tahap akhir. “Insya Allah, dalam waktu dekat, regulasi tentang tambang rakyat ini akan selesai. Kita berharap bisa segera diterapkan agar masyarakat memiliki kepastian hukum dan ekonomi,” tambahnya.
Pemerintah Aceh juga menegaskan bahwa pendekatan yang diambil bukan semata soal penegakan hukum, tetapi juga soal pemberdayaan ekonomi rakyat.
“Tujuan utama kita adalah memberikan kenyamanan berusaha bagi masyarakat, agar tambang bisa dikelola dengan tertib, aman, dan memberikan manfaat bagi daerah,” katanya.
Selain dari Dinas ESDM, narasumber lain dalam diskusi ini ada anggota Komisi III DPR RI asal Aceh, Nasir Djamil, perwakilan dari Polda Aceh, dari PT PEMA. Panitia juga mengundang Pansus DPRA terkait tambang, tetapi tidak hadir.[]