HeadlineHiburan & Budaya

Menonton Into the Movement sebagai Inspirasi untuk Gerakan Seni

Avatar
×

Menonton Into the Movement sebagai Inspirasi untuk Gerakan Seni

Sebarkan artikel ini

Oleh Akbar Rafsanjani*

Into the Movement (2019) karya Lorenzo Melegari adalah dokumenter yang merekam lebih dari tujuh tahun perjalanan Art Lab, pusat sosial otonom di Parma, Italia, yang lahir pada 2011 dari aksi okupasi mahasiswa terhadap sebuah bangunan universitas yang telah terbengkalai selama dua dekade. Narasinya sederhana tapi penuh resonansi, ruang yang mati dihidupkan kembali oleh kolektivitas, dikelola tanpa izin formal tapi penuh legitimasi sosial. Film ini mengikuti perjalanan itu, dari hari-hari awal pengambilalihan ruang, pembentukan kegiatan, hingga dinamika politik dan konflik yang mengiringinya.

Sekilas Pandang Art Lab

Di kota Parma, Italia, sebuah bangunan universitas yang telah terbengkalai selama dua dekade berubah nasib pada 2011 ketika sekelompok mahasiswa dan aktivis memutuskan untuk mengambil alihnya. Mereka menamainya Art Lab, singkatan dari Art Lab Bene Comune. Sebuah pusat sosial otonom yang sejak awal didirikan bukan untuk mencari keuntungan, melainkan untuk menghidupkan kembali ruang mati menjadi milik bersama (bene comune). Prinsip yang mereka pegang sederhana namun radikal. Kelola sendiri, klaim ruang, dan ubah fungsinya sesuai kebutuhan komunitas.

Sejak saat itu, Art Lab tumbuh menjadi laboratorium sosial yang mempertemukan berbagai lapisan masyarakat, mulai dari mahasiswa, pekerja muda, imigran, keluarga, hingga seniman independen. Ruang ini menjadi rumah bagi berbagai kegiatan. Aktivitas seperti kelas bahasa Italia gratis yang diikuti ratusan siswa imigran, bengkel sepeda tanpa biaya (ciclocofficine), laboratorium furniture, kursus teater dan tari tango, bahkan Brazilian Jiu-Jitsu. Aktivitas seni dan pendidikan ini berpadu dengan program solidaritas yang lebih luas, seperti tim sepak bola anti-rasis La Paz dan Grup Pembelian Solidaritas (GAS) yang menghubungkan petani lokal dengan konsumen kota.

Pada 2015, Art Lab memperluas wilayahnya dengan menduduki bangunan tambahan yang kemudian dikenal sebagai NOMAS HOTEL, tempat tinggal kolektif bagi puluhan keluarga dari berbagai negara. Meski lahir dari aksi okupasi, proyek ini akhirnya diakui secara formal oleh pemerintah kota dan universitas, sebuah kemenangan politik yang langka dalam sejarah gerakan otonom di Italia. Semua itu dikelola tanpa struktur hierarki kaku, tanpa intervensi pasar, dan selalu dengan orientasi pada partisipasi warga.

Art Lab Dalam Dokumenter Into The Movement

Melegari memotret Art Lab sebagai sebuah organisme hidup, ruang yang terus beradaptasi terhadap tekanan eksternal, seperti ancaman penggusuran atau represi aparat, dan tantangan internal, seperti mempertahankan energi kolektif. Aktivitas yang mereka kelola seperti kelas bahasa gratis bagi imigran, bengkel sepeda tanpa biaya, tim sepak bola antirasis, festival musik, dan teater jalanan tidak pernah dihadirkan sekadar sebagai kegiatan sosial biasa, melainkan sebagai bagian dari strategi mempertahankan hak untuk ada di kota. Kamera Melegari menempatkan penonton di tengah denyut itu, seperti dalam rapat strategis yang panas, di keramaian acara, hingga di lorong-lorong penuh poster yang berteriak tentang perlawanan.

Baca Juga  [Review Film]: There Will Be Blood sebagai Alegori Kapitalisme Awal Amerika Serikat

Untuk memahami kekuatan politis Art Lab, teori hak atas kota dari Henri Lefebvre menjadi kunci. Dalam esainya yang terkenal tahun 1968, Lefebvre mendefinisikan right to the city bukan hanya sebagai hak untuk mengakses ruang kota, tetapi sebagai hak kolektif untuk memproduksi, membentuk, dan mengubahnya sesuai kebutuhan sosial. Kota, bagi Lefebvre, adalah “karya bersama” (oeuvre), bukan sekadar “produk” yang diatur oleh logika pasar. Ia mengkritik bagaimana kapitalisme perkotaan mereduksi ruang menjadi komoditas (dijual, disewakan, dikendalikan) sehingga warga menjadi sekadar konsumen, bukan pencipta.

Dalam konteks ini, okupasi Art Lab dapat dibaca sebagai bentuk paling jelas dari klaim atas hak untuk memproduksi kota. Mereka tidak menunggu izin atau program resmi. Mereka langsung menciptakan infrastruktur sosial dan kultural yang hilang. Dari sudut pandang Lefebvre, inilah esensi dari right to the city, bukan sekadar menuntut hak yang diberikan negara, melainkan merebut dan mempraktekkannya secara langsung.

Konsep ini relevan sekali dengan situasi di Indonesia. Di banyak kota, kita melihat tekanan gentrifikasi, komersialisasi ruang publik, dan pembatasan politik terhadap aktivitas seni. Ruang komunitas (rumah budaya, taman kota, sampai gedung tua) sering kali hilang karena proyek pembangunan atau perubahan regulasi yang memprioritaskan investasi swasta. Gerakan seperti Art Lab di Italia punya kesamaan nasib dengan berbagai inisiatif di Indonesia, misalnya Ruangrupa di Jakarta yang pernah beroperasi dalam ruang-ruang semi-otonom.

Jika dilihat melalui kacamata Lefebvre, semua contoh ini menunjukkan bahwa “hak atas kota” di Indonesia juga bukan sekadar urusan legalitas, tetapi soal siapa yang punya kekuatan menentukan fungsi ruang. Ketika komunitas seni membangun program untuk warga, menyediakan akses gratis, atau menciptakan ruang diskusi yang kritis, mereka sedang menjalankan right to the city. Namun, seperti Art Lab, mereka sering beroperasi di wilayah abu-abu, yaitu legalitas yang rapuh, sumber daya terbatas, dan risiko represi.

Into the Movement juga menawarkan perspektif lain yang relevan bagi gerakan seni di Indonesia. Bagaimana pentingnya membangun counterpublics, seperti yang dibahas oleh Nancy Fraser. Art Lab bukan sekadar ruang fisik, ia adalah arena diskursif alternatif, tempat kelompok terpinggirkan (imigran, pekerja muda, seniman independen) dapat berbicara dan berkreasi di luar logika ruang publik dominan yang sering kali dikontrol oleh institusi besar dan pasar. Di Indonesia, konsep ini tercermin pada ruang-ruang yang berfungsi sebagai “markas” komunitas untuk mengembangkan narasi sendiri, tanpa intervensi berlebihan dari kekuatan politik atau sponsor korporasi.

Baca Juga  Sunyi di Ruang Gelap, tentang Negara yang Absen dari Layar Publik

Dari segi estetika, Melegari membangun filmnya seperti arsip perlawanan. Ia memadukan gaya observasional dengan ritme musik hip-hop politis dari Assalti Frontali dan 99 Posse, menghubungkan sejarah perlawanan jalanan di Italia dengan narasi Art Lab. Estetika ini bukan sekadar pilihan artistik, tapi ia mengafirmasi posisi film sebagai bagian dari gerakan, bukan pengamat luar. Penonton tidak hanya melihat perlawanan, tetapi ikut merasakannya melalui montase energi kolektif, teriakan di jalanan, dan warna-warna mural yang penuh tuntutan.

Bagi penonton Indonesia, Into the Movement layak dilihat bukan hanya sebagai catatan sejarah gerakan sosial di Parma, tetapi sebagai model strategi pergerakan komunitas seni. Ia memperlihatkan bahwa mempertahankan ruang bukan sekadar soal melawan penggusuran, tetapi juga membangun basis sosial, menganyam jaringan solidaritas, dan memproduksi budaya yang relevan dengan kebutuhan warga. Film ini mengajak kita membayangkan kota bukan sebagai milik investor atau negara saja, tetapi sebagai milik bersama yang harus terus dinegosiasikan dan dibentuk.

Di akhir film, Art Lab masih berdiri, meski ancaman tidak pernah hilang. Pesan yang tertinggal jelas, ruang publik yang hidup adalah ruang yang diperjuangkan, bukan yang diberikan. Dalam dunia yang makin dikomodifikasi, Into the Movement adalah pengingat bahwa kota yang adil hanya bisa lahir dari keberanian warganya untuk merebut, merawat, dan mempertahankannya, persis seperti yang juga harus kita lakukan di sini, di Indonesia.

Catatan: Saya memiliki right untuk memutar film Into The Movement. Film berbahasa Italia dengan takarir Bahasa Inggris. Untuk takarir Bahasa Indonesia, sedang dalam pengerjaan, perkiraan akan selesai pada akhir tahun 2025. Jika teman-teman berminat untuk memutarnya di kolektif masing-masing, bisa menghubungi saya di email bbrjani@gmail.com.[]

Editor: Ihan Nurdin

*Akbar Rafsanjani adalah kurator film, sekarang bermukim di Wisconsin, Amerika Serikat. Baca tulisan film lainnya di akun Letterboxd pribadinya: https://letterboxd.com/akbarrafs/films/reviews/

Example 120x600