Humaniora

Menjahit Nusantara, Menyulam Kenangan: Sebuah Kisah dari Ujung Barat Indonesia

×

Menjahit Nusantara, Menyulam Kenangan: Sebuah Kisah dari Ujung Barat Indonesia

Sebarkan artikel ini

Oleh Rahmat Aulia*

Ombak sore itu berkejaran memecah tepian dermaga Ulee Lheue. Angin laut membawa aroma asin yang menusuk hidung, bercampur dengan bau solar dan jagung bakar dari warung kecil di tepi pelabuhan. Di kejauhan, sebuah kapal ferry berwarna putih dan biru bersiap melaju, tubuhnya berderak pelan diempas gelombang. Orang-orang sibuk memanggul barang, sebagian menggandeng anak, sebagian lain hanya berdiri mematung menatap laut, seolah menyimpan cerita yang tak terucap.

Di sinilah, di ujung barat Nusantara, perjalanan laut bukan sekadar soal menyeberang dari Banda Aceh ke Sabang. Setiap kapal yang merapat membawa kisah-kisah kecil yang merajut Indonesia. Tentang keluarga yang pulang, tentang harapan yang menyeberang, tentang cinta dan kerja keras yang dibawa ombak ke seberang. Laut, yang tampak memisahkan, sejatinya justru menyatukan.

***

Aku ingat satu sore dua puluh lima tahun silam, ketika tangan kecilku menggenggam erat tangan Ayah di dermaga lama Krueng Raya. Kami hendak menyeberang ke Sabang menjenguk kakak yang sekolah di sana. Mataku terpaku pada kapal ferry ASDP yang tampak gagah, seolah memanggilku untuk mengenal dunia lain di seberang laut. Untuk bocah sekecil itu, pelayaran pertama adalah petualangan tanpa akhir. Sabang menyambutku dengan pantai berpasir putih, aroma ikan bakar, dan kehangatan orang-orangnya. Di rumah seorang kerabat keturunan Tionghoa, aku mencicipi bakpia untuk pertama kali, merasakan keberagaman budaya yang hidup berdampingan tanpa sekat.

Tahun 2004, tsunami meluluhlantakkan Aceh, menenggelamkan Krueng Raya bersama jejak kenangan. Jalur penyeberangan dipindahkan ke Ulee Lheue. Tapi kapal-kapal ASDP tetap setia, tak henti menghubungkan Banda Aceh dan Sabang, seolah menjadi saksi kesedihan sekaligus kebangkitan.

Waktu berjalan, laut tetap sama, tapi aku kembali sebagai orang yang berbeda. Tahun 2015, aku kembali menyeberang, kali ini bukan untuk sekadar bernostalgia, melainkan untuk mengabdi. Bersama beberapa teman, kami datang membawa semangat berbagi dan keinginan untuk memberikan sesuatu bagi tanah yang pernah menyimpan kenangan masa kecilku.

Hari-hariku di Sabang diwarnai tawa anak-anak SMP yang penuh rasa ingin tahu. Aku mengajar mereka membuat blog dan menulis. Setiap kali satu tulisan berhasil terunggah, wajah-wajah mungil itu berbinar bahagia, seolah dunia mereka baru saja terbuka lebih lebar. Dalam hati, aku berharap blog-blog kecil itu bisa menjadi jendela mimpi. Membuat mereka lebih giat belajar menulis, lebih leluasa menyampaikan gagasan, dan percaya bahwa suara mereka, walaupun berasal dari sebuah pulau kecil jauh dari ibu kota negara, tetap bisa menggema dan layak didengar.

Tiga puluh hari lebih kami mengabdi. Di luar kelas blog, kami juga membersamai anak-anak berkebutuhan khusus di sebuah sekolah sederhana. Di sinilah aku belajar tentang arti kesabaran, tentang bagaimana setiap anak memiliki dunianya sendiri. Mengajar mereka bukan perkara mudah. Ada kalanya, saat kami sedang menjelaskan pelajaran, ada siswa yang tiba-tiba berlari keluar kelas, ada yang berteriak histeris tanpa alasan jelas, dan ada pula yang hanya duduk diam memandangi jendela.

Baca Juga  Nasyiatul Aisyiyah Banda Aceh Luncurkan Program Ralina dan Pashmina

Setiap hari adalah perjalanan baru. Setiap pertemuan adalah pelajaran. Aku benar-benar mengangkat topi untuk para guru di sekolah anak berkebutuhan khusus ini. Kesabaran mereka tanpa tepi. Mereka bukan hanya mengajar, tapi juga memahami, memeluk, dan menemani setiap anak dengan penuh cinta.

Dan di antara semua pengalaman itu, ada momen-momen kecil yang terus membekas hingga kini: tawa yang pecah ketika satu anak berhasil menulis namanya sendiri, senyum malu-malu ketika mereka berhasil mengenal huruf baru, dan genggaman tangan kecil yang tiba-tiba menyusup ke telapak tanganku. Ada rasa hangat yang tak bisa dijelaskan.

Pengabdian ini membuatku sadar, kadang bukan kita yang mengajari mereka tentang kehidupan. Merekalah yang justru mengajarkan kita arti kesungguhan, kesabaran, dan cinta tanpa syarat.

Dua tahun berselang, tepatnya pada 2017, aku kembali menyeberang untuk misi berbeda. Kali ini, bersama tim dokter, aku ikut serta dalam operasi bibir sumbing di Rumah Sakit Umum Daerah Sabang. Aku masih ingat mata seorang ibu yang berbinar melihat senyum anaknya kembali merekah pascaoperasi. Di wajahnya, aku membaca rasa syukur yang tak terucap. Setiap keberangkatan kapal, rupanya, juga membawa harapan baru. Akses pada kesehatan, pendidikan, dan masa depan yang lebih baik. ASDP bukan sekadar penghubung dua pelabuhan, ia adalah penjaga asa, penggerak ekonomi, sekaligus pembawa kesempatan.

Sepulang dari Sabang, aku menyempatkan diri mampir ke sebuah warung kopi di pinggir jalan. Aroma kopi arabika yang baru diseduh menyeruak begitu aku melangkahkah kaki ke dalamnya. Yusran, teman satu kampusku yang berasal dari Sabang, sudah lebih dulu duduk di sini, menunggu dengan secangkir kopi hitam panas yang mengepulkan asap tipis.

Kami berbincang panjang, larut dalam obrolan yang seolah tiada akhirnya. Dengan nada tenang, Yusran bercerita tentang hidupnya yang tak pernah jauh dari laut, tentang berapa banyak perjalanan yang sudah ia tempuh menyeberangi Sabang dan Banda Aceh. Jumlahnya sudah tak lagi bisa dihitung katanya.

Sejak kecil, kapal ferry ASDP adalah bagian dari kesehariannya. Dari bangku sekolah dasar hingga meraih gelar magister, kapal itu setia mengantarnya pulang dan pergi, membawa mimpi-mimpi dari pulau kecil di ujung barat Nusantara menuju kota yang lebih besar.

“Kalau kapal ASDP itu manusia, aku ingin mengucapkan ribuan terima kasih.” katanya diselingi senyum tipis.

Matanya berbinar, seolah sedang mengenang seluruh perjalanan hidupnya. Baginya, ferry bukan sekadar alat transportasi. Ia adalah jembatan masa depan. Penghubung antara harapan dan kenyataan.

Baca Juga  Wali Kota Sabang Kukuhkan 30 Paskibraka, Siap Kibarkan Merah Putih

Tak lama kemudian, Ikbal datang menyusul. Ia teman satu SMA sekaligus satu kampus denganku,. Kursi kayu yang kosong di samping kami segera terisi. Dengan tawa khasnya, Ikbal ikut menyeruput kopi dan larut dalam obrolan sore itu.

Kisahnya berbeda dengan Yusran, tetapi laut juga memegang peran penting di dalamnya. Hidupnya berubah sejak jatuh cinta pada seorang gadis Sabang. Sejak menikah setahun lalu, laut menjadi penghubung hatinya dengan sang istri.

“Kadang aku yang ke Sabang, kadang istri yang ke Banda Aceh,” ujarnya sambil terkekeh kecil, menatap jauh seolah melihat riak ombak di pelupuk mata. Bagi Ikbal, laut bukan lagi jarak yang memisahkan, melainkan ruang rindu yang selalu mempertemukan.

Di meja kopi sederhana itu, kami bertiga duduk dalam satu lingkaran cerita. Ada tawa, ada nostalgia, ada rasa syukur yang diam-diam menyeruak. Laut, kapal, dan perjalanan ternyata bukan sekadar perpindahan tempat. Mereka adalah penghubung takdir dan saksi bisu tentang bagaimana satu dermaga bisa menyatukan begitu banyak kehidupan.

Menjelang berpisah, aku berpikir berapa banyak kisah seperti ini yang tak pernah tercatat? Berapa banyak kehidupan yang diam-diam berubah karena ada satu kapal yang setia melintas bolak-balik? Setiap penyeberangan, di setiap dek kapal yang basah, ada cerita tentang persatuan.

Kini, dua puluh lima tahun setelah perjalanan pertama bersama Ayah, aku menatap Sabang dengan perasaan berbeda. Tahun ini, aku dan istri merencanakan liburan ke Sabang. Dulu, aku menyeberang sebagai bocah yang menggenggam tangan Ayah. Kini, aku akan kembali menggenggam tangan seseorang yang kucintai, mengajaknya menyelami laut, ombak dan langit biru yang sama namun dengan kisah berbeda.

Di ujung barat Indonesia, di perairan antara Banda Aceh dan Sabang, aku menemukan makna Indonesia seutuhnya. Sebuah negeri yang hidup dari keberagaman, bergerak bersama lewat konektivitas, dan merayakan perjumpaan. Kapal ferry ASDP bukan sekadar besi dan mesin. Ia adalah penjaga kisah, pemersatu ruang, dan pengantar harapan.

Setiap ombak yang dilintasi, setiap dermaga yang disinggahi, adalah benang-benang halus yang menjahit kepingan Nusantara menjadi satu kain utuh. Bangga Menyatukan Nusantara bukan sekadar slogan; ia hidup dalam setiap perjalanan yang mempertemukan keluarga, menghubungkan mimpi, dan membuka kesempatan bagi siapa saja yang melintasi laut ini.

Dari Sabang hingga Merauke, dari ujung barat ke ujung timur, kontribusi ASDP untuk rakyat nyata terasa. Ia menghadirkan akses, menyatukan jarak, dan menjaga denyut kehidupan di setiap pulau yang terhubung olehnya. Laut, pada akhirnya, bukanlah batas, melainkan jembatan.

Dan di antara riak laut yang tak pernah tidur, aku percaya, kita semua sedang menulis cerita yang sama. Cerita kita, cerita Indonesia.[]

Penulis adalah Ketua Forum Lingkar Pena Aceh

Editor: Ihan Nurdin

Example 120x600