Oleh Dewi Sofiana, S.P.
Kawan, pernahkan engkau temui pemandangan yang membuat hatimu miris? Bisa jadi kita memiliki perasaan yang sama. Suara hati yang membuat kita tertaut dalam derap langkah serupa. Pemandangan miris yang saya maksudkan itu adalah fenomena kecanduan ponsel pada generasi kita saat ini. Candu yang telah sedemikian rupa menggeser tatanan ideal kehidupan dan perubahan karakter. Seiring normalisasi perlakuan, kondisi demikian bukan lagi dipandang sebagai hal berlebihan apalagi diresahi karena keberadaan ponsel dianggap sudah jadi teman hidup bagi anak sekarang.
Sebut satu contoh kecil, pengalaman saya ketika datang ke sebuah undangan hajatan perkawinan baru-baru ini. Pada saat itu, keluarga besar di rumah tersebut sedang berkumpul. Sekumpulan anak hingga remaja tampak berkumpul di ruang keluarga. Mereka adalah keluarga si empunya rumah. Mereka duduk bersama di ruangan yang sama, tanpa bertegur sapa satu sama lain. Dari bahasa tubuh, tak terlihat adanya interaksi dengan sekeliling. Tatapan mereka hanya fokus pada layar di tangan. Tampak asyik sekali dengan gawai masing-masing. Mungkin, daya tarik ponsel justru lebih memikat ketimbang bertegur sapa untuk mengenal satu sama lain atau sekadar mengobrol untuk menambah keakraban dalam sebuah keluarga besar. Momen temu keluarga akhirnya berlalu begitu saja.
Tak bisa dimungkiri, betapa sudah sangat lekatnya anak-anak sekarang dengan gadget. Generasi saat ini lebih suka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bermain game ataupun berselancar di media sosial. Mereka semakin jauh dari buku. Kegiatan membaca menjadi sesuatu yang kurang dilirik, nyaris dianggap kuno. Akibatnya, bukan lagi hal baru jika mendapati wajah-wajah yang tenggelam dalam layar gawai. Anak-anak muda lebih sibuk menunduk menatap layar ponsel ketimbang membuka lembaran buku. Lebih suka “bermain” TikTok dan menonton video hiburan. Tak heran jika kebanyakan anak sekarang akan cepat hafal nama selebgram dan berbagai tren di TikTok, tetapi gelagapan saat diminta menyebutkan tokoh nasional ataupun isi pelajaran sekolah. Minat baca jadi semakin merosot, sementara budaya visual dan instan semakin mengakar.
Menumbuhkan minat dan mempertahankan budaya membaca buku di tengah gempuran informasi dan hiburan media sosial saat ini menjadi sesuatu yang tak gampang. Daya pikat layar gawai telah menyihir mata dan pikiran. Padahal merujuk pada pandangan Karlina Supelli, seorang filsuf dan astronom, “Baca buku itu tidak bisa digantikan dengan TikTok dan menonton film. Karena kerja otak hanya bisa dilatih menjadi tajam kalau otak itu berdialog (yaitu dengan membaca buku)”.
Sedihnya lagi, sampai saat ini Indonesia masih tergolong negara dengan budaya literasi amat rendah dibandingkan dengan negara lainnya di dunia. Beberapa survei dari lembaga terpercaya dunia menyuguhkan hasil yang menyedihkan. Data United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) tahun 2016, menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, yaitu hanya 0,001%. Artinya, dari seribu orang Indonesia, hanya satu orang yang rajin membaca. UNESCO merupakan Badan PBB yang bertugas mengurus bidang pendidikan, ilmu, dan kebudayaan.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Program for International Student Assesment (PISA) menunjukkan data yang tidak jauh berbeda, yakni tingkat literasi Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Responden pada survei ini adalah anak sekolah usia 15 tahun ke atas (kelas menengah). Survei PISA 2015 menyebutkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 64 dari 70 negara, sedangkan hasil survei tahun 2018 menunjukkan posisi Indonesia berada pada peringkat 74 dari 79 negara. Suka atau tidak, kita tak bisa menolak hasil survei tersebut. Inilah kenyataan yang sesungguhnya. Kenyataan yang menyuguhi kita tentang kondisi budaya literasi masyarakat Indonesia dewasa ini.
Baca juga: Dari Bireuen, Dewi Sofiana Menebar Semangat Baca-Tulis sebagai Relima Indonesia
Di tengah ancaman krisis literasi yang mengancam generasi, kehadiran perpustakaan yang menembus hingga ke seluruh pelosok nusantara, bagaikan oase yang menyejukkan di tengah gurun tandus. Buku-buku bermutu yang digelontorkan dengan dana tak kecil itu telah menawarkan solusi yang menjanjikan harapan. Meskipun tak semudah membalik telapak tangan, namun keberadaan buku-buku yang terus disebar ke seluruh penjuru Indonesia oleh Perpustakaan Nasional RI diharapkan jadi obat mujarab untuk “menyembuhkan” kondisi kritis literasi bangsa. Bagaimana nantinya, lembaran-lembaran itu mampu memercik cahaya peradaban, menyingkap cakrawala dan jendela pengetahuan.
Sebagai pegiat literasi, ini merupakan panggilan mulia bagi Relawan Literasi Masyarakat atau Relima–saya salah satunya. Sosok yang di pundaknya tersemat tanggung jawab besar untuk berbuat dan melakukan perubahan nyata. Meskipun kerap harus melangkah di jalan sunyi, tetapi setiap langkah, sekecil apa pun itu, adalah api untuk membuat obor literasi akan terus menyala terang dan semakin berpijar di bumi pertiwi.
Dimulai sejak pelantikan saya sebagai Relima Perpusnas RI di Lokus Kabupaten Bireuen pada Juli 2025, tanpa terasa sudah tiga bulan perjalanan saya bersama Perpustakaan Nasional dalam aksi mulia membangun literasi. Betapa banyak pengalaman berharga dan inspirasi yang diperoleh sepanjang jejak perjalanan. Berada dalam atmosfer cinta literasi bersama sosok-sososk hebat Relima dari seluruh penjuru Indonesia, menuntun langkah lemah ini menjadi kuat dan tak boleh bersurut langkah.
Masa tiga bulan, rasanya bagai sepekan. Bagaimana tidak, sambutan baik yang di dapat, bertemu orang-orang baru, menginjak daerah yang belum pernah dituju, dan menatap binar dari bocah-bocah yang enggan melepas pandangan dari lembaran buku, adalah kebahagiaan yang membuat waktu begitu cepat merambat. Rengekan bocah ketika saling mendahului agar buku pilihannya dibacakan nyaring, justru jadi pemandangan yang mengasyikkan. Lelah dalam menempuh perjalanan, atau bahkan alarm tubuh yang memanggil minta perhatian, jadi lenyap seketika. Luntur disirami lautan bahagia. Perjalanan yang ditempuh sejak pukul menunjuk pagi dan tiba di rumah ketika hari berganti malam, terasa bagai perjalanan ringan yang ingin diulang kembali.
Membersamai perpustakaan untuk mendekatkan jarak antara buku dengan pembaca, adalah panggilan sekaligus tantangan. Kegiatan membaca nyaring sering saya lakukan agar kehadiran buku semakin bermakna bagi anak-anak yang belum bisa mengeja aksara. Memberi edukasi bagi orang tua tentang pentingnya membaca merupakan langkah jitu untuk mendorong daya dukung orang tua terhadap kegiatan literasi. Dengan demikian, orang tua diharapkan akan mendampingi buah hatinya membaca buku dan rajin datang ke pustaka desa.
Terkadang rasa sedih datang menyelinap manakala literasi dan buku masih dipandang sebelah mata dan kalah penting dari lainnya. Tapi justru, ini menjadi pelecut untuk terus mampu berdiri tegak. Tak boleh goyah untuk terus berbuat, dan menggerus pandangan minus orang-orang yang tak literat. Mengetuk hati generasi agar tergugah untuk mencintai buku dan menjadikan kegiatan membaca sebagai budaya kehidupan yang bermartabat.
Masa depan bangsa kita ditentukan oleh generasi hari ini. Bayangkan jika mereka tumbuh tanpa kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, tanpa minat membaca sejarah bangsanya sendiri, atau tanpa daya kritis yang diasah melalui literasi, maka kita sedang berjalan menuju masa depan yang lemah dan rapuh.
Kini, berkat program literasi yang kian gencar dilakukan oleh pemerintah melalui Perpustakaan Nasional RI , keberadaan buku semakin menjangkau masyarakat. Perpustakaan desa hadir sebagai rumah tempat berkumpulnya aneka buku. Bahkan, di daerah kami di Kabupaten Bireuen, buku-buku itu berjalan menembus belantara, menyapa anak-anak di permukiman transmigrasi. Meskipun mereka tinggal di daerah terisolir yang jauh dari dunia luar, namun dari buku yang dibaca, telah membuat pandangan mereka melompat jauh melewati batas, berkelana mengarungi semesta.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak Perpusnas. Buku-buku bantuan ini sangat berharga dan bermanfaat bagi kami. Mohon Ibu rekomendasikan kembali, apabila Perpusnas ada kemudahan dan program bantuan dalam bentuk apa pun, kami dengan senang hati menerimanya, Sekali lagi terima kasih, Ibu.”
Begitulah ungkapan tulus dari Pak Abdullah, Pengurus Perpustakaan Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Cot Kruet, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen itu membuat hati saya jadi hangat. Ungkapan ini mewakili suara-suara lain yang saya temui di setiap perjalanan membersamai perpustakaan demi perpustakaan di lokus kegiatan.
Harapannya, perpustakaan terus mampu menemani perjalanan generasi Indonesia bersahabat dan mencintai buku. Agar mereka tumbuh menjadi generasi yang cakap literasi, pribadi yang memiliki critical thinking, berwawasan luas, dan berkarakter mulia demi martabat bangsa. Dan semua itu, hanya bisa dimulai dari satu hal sederhana: membaca.[]
Penulis adalah Relawan Literasi Masyarakat (Relima) Kabupaten Bireuen
Editor: Ihan Nurdin