HeadlineHumaniora

Kisah Rahmiana Rahman Membumikan Literasi di Tempat Paling Sunyi

×

Kisah Rahmiana Rahman Membumikan Literasi di Tempat Paling Sunyi

Sebarkan artikel ini
Rahmiana Rahman (jilbab hijau) saat bersama anak-anak di Bumoe Learning Center yang ia dirikan.

LAZIMNYA orang-orang bermimpi untuk menjadi eksmud alias eksekutif muda setelah tamat dari perguruan tinggi. Bekerja di ruangan yang nyaman, dengan setelan kantor yang licin dan wangi, ditambah lanyard bergantung di leher, adalah dambaan banyak orang. Dengan itu semua, “harga diri” pun naik. Harkat dan martabat keluarga ikut menanjak. Prestise dan bergengsi.

Namun, hal itu tak berlaku bagi Rahmiana Rahman. Sejak duduk di bangku kuliah, ia justru mengidam-idamkan menjadi seorang social worker. Ya, menjadi pekerja sosial yang akrab dengan dunia kerelawanan. Tak ada seragam, apalagi lanyard sebagai tanda pengenal sekaligus “simbol” strata di dunia kerja. Bahkan, secara khusus ia menuliskan cita-cita tersebut di dream book-nya.

Demi mewujudkan cita-citanya itu, Ami–panggilan akrabnya–pun rela menanggalkan jabatan sebagai kepala asrama di sebuah sekolah terpadu berkurikulum internasional di Kota Makassar. Jabatan itu setingkat dengan posisi sebagai kepala sekolah. Sesuai untuk dirinya yang lulusan S-2. Tak hanya tanggung jawab yang besar. Penghasilan bulanan yang diterima per bulan juga cukup menjanjikan mengingat sekolah tersebut sangat mentereng.

“Sekolah terpadu ini milik sebuah yayasan. Saat itu hanya ada dua di Indonesia. Yang untuk Indonesia barat ada di Bogor, sedangkan untuk wilayah Indonesia timur ada di Kota Makassar. Ini sekolah mahal. Siswanya anak-anak orang berpunya dari berbagai daerah di Indonesia timur,” kata Rahmiana saat berbincang dengan byklik di Banda Aceh, Sabtu, 10 Mei 2025.

Rahmiana adalah seorang makkunrai Bugis. Takdir membawanya berjodoh dengan pria Aceh. Setelah menikah, ia memutuskan untuk pindah ke Aceh pada Desember 2017. Ke tanah kelahiran suaminya, Perdana Romi Saputra. Kini, ia pun “bekerja” penuh waktu sebagai social worker di  Rumah Relawan Remaja (3R). Ami menyebutnya sebagai mimpi yang terkabulkan.

3R merupakan komunitas yang dibentuk oleh Romi pada tahun 2013. Awalnya berbentuk perkumpulan. Belakangan diubah badan hukumnya menjadi yayasan. Saat itu Romi masih kuliah di Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Aceh. Dua tahun sebelumnya, Romi sang aktivis kampus mengadakan bakti sosial di Desa Baling Karang, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang. Mereka membawa banyak buku ke sana. Mengenalkan anak-anak Baling Karang pada buku dan mengajarkan mereka baca-tulis.

Setelah program baksos selesai, Romi masih “kepikiran” pada nasib anak-anak di Baling Karang. Romi melihat untuk anak-anak yang akan menempuh pendidikan dasar, harus memiliki kemampuan berenang agar bisa ke seberang Desa Baling Karang. Selain itu, anak-anak usia sekolah tersebut pun, masih banyak yang sulit untuk mengenal huruf.

Setelah 3R resmi terbentuk, program pertama yang digagas adalah Peace Camp, Peace School, Pustaka Kampung Impian. Saat itu namanya masih Pustaka Damai. Baling Karang pun menjadi desa pertama sebagai lokus program 3R. Alhasil, Romi yang berasal dari Aceh Selatan dan merantau ke Banda Aceh jadi sering bolak-balik Banda Aceh–Aceh Tamiang.

Nun di Makassar sana, Ami pun sibuk dengan komunitasnya sendiri. Ia mendirikan dan aktif di Sahabat Indonesia Berbagi (SIGi). Setiap libur kuliah, Ami dan temannya ngebolang untuk berbagai kegiatan literasi dan kemanusiaan. Romi dan Ami juga sama-sama aktif di mapala kampus masing-masing. Di kegiatan organisasi inilah pertama kali mereka bertemu pada tahun 2010. Setelah sempat hilang kontak dan terhubung kembali, mereka pun akhirnya berjodoh sebagai suami istri. Ami si perempuan Bugis akhirnya diperistri lelaki Aceh. Dua daerah yang konon memiliki akar pertalian sejarah yang kuat.

Baca Juga  Atlet Asal Aceh Nadita Aprilia Wakili Indonesia di Kejuaraan Angkat Besi di China

“Saat nama 3R sudah sah di 2013, saya sdh ketemu Bang Romi di Pontianak saat pertemuan mapala nasional tahun 2010. Setelah pertemuan itu, pernah intens saling menghubungi, namun sempat saling hilang kabar. Hahahaha ..saat itu juga Bg Romi fokus menyelesaikan kuliahnya hingga 7 tahun dan menguatkan gerakan di 3R. Saya pun di tahun 2012 sudah sibuk dengan menginisiasi Sahabat Indonesia Berbagi (SIGi) Makassar. Kemudian, di 2017, akhirnya dipersunting deh.

Fokus pada Literasi Dasar

Rahmiana Rahman (jilbab merah) menjadikan buku sebagai alat berinteraksi dengan anak-anak.

Fokus 3R lebih banyak pada program-program pendidikan perdamaian dan penguatan literasi di tingkat tapak. Setelah terbentuk pertama kali di Desa Baling Karang, Pustaka Kampung Impian selanjutnya hadir di Lapeng, Pulo Aceh, Aceh Besar (2015); Kecamatan Ketol, Aceh Tengah (2016); dan Desa Sarah Baru, Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan (2018).

“Semua desa tempat Pustaka Kampung Impian dilaksanakan sangat-sangat terisolasi. Akses jalan ke sana sulit, bahkan ada yang harus menyeberangi sungai seperti di Baling Karang dan Sarah Baru. Ada yang harus menyeberangi lautan seperti di Pulo Aceh,” ujar Ami.

Ami ingat sekali, di masa-masa awal PKIP hadir di Baling Karang, membutuhkan waktu hingga empat jam untuk sampai ke desa tujuan dari jalan lintas nasional. Pasalnya, setelah lelah karena semalaman atau seharian perjalanan dari Banda Aceh, masih harus dilanjutkan dengan perahu getek menyusuri sungai, bahkan pernah hingga empat jam. Ketika jalan mulai diperbaiki, dari kota Kuala Simpang, masuk ke area Baling Karang dengan kendaraan darat sekitar satu jam, lalu lanjut 10 menit dengan getek.

“Kalau sekarang sudah ada jembatan penghubung, tidak perlu naik getek lagi. Jadi, sekitar satu jam sudah sampai ke Baling Karang. Lebih hemat waktu,” kata Ami, yang juga menjabat sebagai Ketua Forum TBM Aceh.

Begitu juga untuk menuju ke Desa Sarah Baru di Kluet Tengah. Relawan harus naik perahu kecil dan menyusuri Sungai Kluet yang luas dan berarus deras. Pernah suatu kali, Ami dan Romi bersama dua buah hatinya yang balita sudah berada di atas perahu. Mesin perahu sudah dihidupkan oleh pengemudi. Namun, perahunya malah tak sanggup melawan arus sungai yang deras. Ami tak berani membayangkan apa yang akan terjadi, jika saja Romi tak sigap melompat dan menahan laju perahu.

Namun, semua itu tak membuat Ami kapok. Anak-anaknya juga tidak. Kecemasan sesaat yang dirasakan selama berada di getek kala menyusuri sungai atau kala berada di atas perahu nelayan yang membawanya ke Pulo Aceh, tak seberapa dibandingkan kebahagiaan yang muncul ketika melihat anak-anak didiknya bisa membaca. Atau ketika mereka mulai menggandrungi buku-buku bacaan. Yang membahagiakan lagi, ketika mereka akhirnya mengerti artinya pendidikan, dan memilih untuk lanjut baik itu pendidikan formal pun nonformal.

Baca Juga  Indonesia Tetapkan Idulfitri 31 Maret, Arab Saudi 30 Maret

“Ketika dulu di Lapeng, Pulo Aceh, bisa mengenakan seragam SMP itu sudah sangat luar biasa. Ke sekolah jauh sehingga minim sekali minat mereka untuk melanjutkan ke SMA. Ditambah, beberapa memang ada yang putus sekolah karena faktor ekonomi,” ujar lulusan magister pendidikan itu mengutip ulang pernyataan seorang teungku imuem di Lapeng.

Mereka memang tidak memasang target muluk-muluk. Di awal-awal program PKIP berjalan, yang dicanangkan memang mengajarkan baca-tulis-berhitung atau literasi dasar. Baru setelah itu berlanjut pada tahap meningkatkan minat baca anak-anak di desa. Terakhir, barulah tahap berkreativitas yang diharapkan bisa menjadi modal untuk berubah kelak. Pola relawan 3R mengajar juga berbeda. Mereka bukan hadir sebagai “si paling tahu”, tetapi sebagai yang sama-sama ingin belajar. Dengan begitu, interaksi bisa berlangsung dua arah. Anak-anak menjadi lebih nyaman dan leluasa dalam belajar. Mereka tak harus bisa semua hal.

Ami juga berkeyakinan, jika perubahan dimulai dari desa, maka akan menciptakan perubahan bagi suatu negara. Karena sejatinya, organisasi negara yang besar ini berpijak pada satu pondasi besar, yaitu kumpulan desa-desa. Tempat-tempat seperti itu, dapat dikatakan sebagai tempat yang paling sunyi. Yang belum terjamah oleh hiruk pikuk modernisasi. Sebab, tak semua orang berkesempatan datang ke sana. Apalagi untuk membumikan literasi.

Kendala bukan tak ada. Banyak malah. Selain akses jalan dan transportasi, juga tantangan pada akses pendanaan. Maklum, 3R digerakkan dengan modal semangat dan berjejaring para penggeraknya. Namun, Ami berprinsip, selama tujuan mereka untuk menciptakan perubahan, pasti selalu ada jalan yang membawa pada kemudahan. Ia mengakui, terkadang semangatnya up and down. Apalagi, ia juga mengelola para relawan untuk ditempatkan di keempat lokasi PKIP. Pastilah membutuhkan energi ekstra.

Namun, kenyataan bahwa 3R bisa hadir untuk mengajarkan literasi dasar kepada bocah-bocah di berbagai pelosok itu adalah sumber kekuatan yang tak ternilai. Ia menemukan esensi dari cita-cita yang pernah ia tuliskan di buku impiannya. Kenikmatan yang tidak bisa ditakar dengan besar kecilnya nominal rupiah. Maka dari itu, program demi program pun lahir dari 3R.

Saat ini 3R memiliki beberapa program unggulan, seperti Peace Camp, Peace School, Pustaka Kampung Impian, Festival Pustaka Kampung Impian, hingga Beasiswa Impian. Festival Pustaka Kampung Impian setiap tahunnya dilaksanakan di Kota Banda Aceh. Di arena ini karya-karya anak-anak dari keempat PKIP dipamerkan. Anak-anak dari desa-desa tersebut juga difasilitasi untuk datang ke Banda Aceh. Dengan demikian, mereka bisa melihat “dunia luar” itu seperti apa. Semakin terbuka wawasan mereka, semakin besar keinginan mereka untuk berani bermimpi.

“Satu lagi, menunjukkan kepada publik bahwa anak-anak bisa mengembangkan potensi, bahkan berkarya jika diberi akses apalagi menjadi hak mereka,” kata Ami.

Falsafah hidup Ami sederhana saja, yakni berbagi tidak membuat rugi. Demi bisa berbagi dengan anak-anak di pelosok negeri, ia rela “kehilangan” seragam licin nan wangi. Ia tinggalkan sekolah mentereng demi sekolah yang tanpa loteng.[]

Example 120x600