Kasus bunuh diri marak terjadi di Aceh belakangan ini, khususnya menimpa generasi muda. Kejadian ini hampir tak pernah terbayangkan di masa lalu terjadi di sini, di bumi Aceh yang terkenal kental dengan nilai syariat Islam meski tanpa harus dilegalkan dalam regulasi.
Bagi masyarakat yang hidup dengan nilai-nilai islami, bunuh diri adalah dosa besar yang tak terampuni. Betapa pun beratnya penderitaan seperti gempa tsunami dahsyat yang menelan korban jiwa dan harta benda secara mengenaskan, bunuh diri bukanlah solusi.
Meningkatnya kasus bunuh diri di Aceh belakangan ini, perlu dianalisis dari berbagai pendekatan, tidak hanya masalah religiositas semata. Ada masalah kesehatan mental masyarakat yang terganggu oleh berbagai sebab, sehingga butuh pendekatan yang kompleks untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Demikian antara lain pandangan psikolog klinis Rumah Sakit Jiwa Aceh sekaligus dosen psikologi Universitas Muhammadiyah Aceh, Devianti, M.Psi, Psikolog. Menurutnya, kasus bunuh diri tidak bisa serta-merta dikaitkan dengan kadar keimanan, tetapi juga berkaitan dengan ketangguhan mental seseorang, selain lingkungan tempat tinggal korban.
Meningkatnya kasus bunuh diri harus menjadi perhatian semua pihak, terutama pemerintah. Fenomena ini harus disikapi dengan bijak dengan mengajak keterlibatan ulama, akademisi, kepala keluarga, dan terutama kelompok rentan untuk menyusun program pencegahan dan penanggulangan berkelanjutan.
Keluarga menjadi pilar utama dalam menghindari masalah kesehatan mental. Penyebab eksternal seperti kasus perundungan di sekolah atau tempat kerja atau di mana pun, tak akan berdampak fatal seperti bunuh diri. Setiap korban sudah memiliki sistem pertahanan otomatis sehingga setiap keputusan yang diambil berdasarkan banyak pertimbangan.
Orang tua sekarang harus lebih peduli terhadap kesehatan mental anak. Komunikasi orang tua dengan anak menjadi aspek penting untuk mengetahui permasalahan krusial anak-anak. Surga yang diperoleh anak-anak di dalam rumah, biasanya juga mereka bawakan ke pergaulan sosial. Demikian juga dengan nerakanya.
Setelah proteksi keluarga, sosial juga sangat menentukan kesehatan mental anak-anak. Lingkungan yang kondusif bagi kesehatan mental anak sangat menentukan ketika mereka berhadapan dengan kompleksitas masalah di era digital.
Jepang yang dikenal tinggi dengan kasus bunuh diri, sudah lama memperkenalkan program Society 5.0, yakni sebuah lingkungan masyarakat yang berpusat pada penyelesaian berbagai permasalahan sosial dengan memanfaatkan data dan teknologi terintegrasi dalam ruang maya dan fisik.
Masyarakat tidak perlu lagi khawatir dengan pekerjaan, rumah tangga, ketidaksediaan fasilitas umum, dan birokrasi yang sulit. Semua permasalahan itu dapat diatasi dengan mengintegrasikan fasilitas umum maupun pribadi dalam sistem dan teknologi seperti drone, artificial intelligence hingga big data.
Indonesia tentunya belum bisa mengadopsi program seperti itu di tengah berbagai kendala dan aksesibilitas masyarakat terhadap teknologi. Namun, untuk kelas remaja yang sudah akrab dengan teknologi digital, program konseling dengan mengoptimalkan teknologi sudah bisa diterapkan mulai sekarang.
Selain masalah teknologi, perbedaan kehidupan sosial dan budaya juga harus dipertimbangkan sehingga berbagai program pencegahan kasus bunuh di luar negeri, tidak serta merta bisa diterapkan di Indonesia, apalagi di Aceh. Harus ada penyesuaian kehidupan sosial, budaya, teknologi, pendidikan, dan kehidupan religi.[]