EditorialHeadline

Inti dari Perluasan Kewenangan Pengelolaan Migas

Avatar
×

Inti dari Perluasan Kewenangan Pengelolaan Migas

Sebarkan artikel ini
Foto ilustrasi: Pixabay.com

KEMENTERIAN Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk pertama kalinya memberi izin kepada Aceh untuk terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi (migas) di wilayah laut 12 hingga 200 mil dari garis pantai. Artinya, peluang Aceh untuk makmur dari sektor migas semakin terbuka lebar, melampaui keistimewaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Sekretaris Daerah Aceh, Muhammad Nasir Syamaun, menyebutkan penambahan kewenangan tersebut tercantum dalam surat Kementerian ESDM Nomor T-465/MG.04/MEM.M/2025 tertanggal 23 Oktober 2025, yang ditujukan kepada Gubernur Aceh Muzakir Manaf. Keputusan ini memang tindak lanjut dari surat Gubernur Aceh tertanggal 11 Maret 2025 yang meminta perluasan kewenangan pengelolaan migas di atas 12 mil laut.

“Lahirnya keputusan ini merupakan hasil nyata sinergitas Pemerintah Aceh, DPRA, BPMA, dan elemen masyarakat lainnya yang konsisten memperjuangkan hak daerah,” ujar Nasir, yang menilai perluasan kewenangan itu bukan sekadar persoalan teknis pengelolaan migas, melainkan simbol pengakuan terhadap kekhususan Aceh.

Menindaklanjuti keputusan tersebut, menurut Nasir, Pemerintah Aceh akan memperkuat kerja sama sektor migas dengan sejumlah investor asing, termasuk Jepang yang berminat menjajaki peluang kerja sama migas di Aceh. Kini, Aceh dapat ikut serta dalam kegiatan hulu migas di wilayah laut lepas melalui kerja sama antara SKK Migas dan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).

Baca Juga  Digitalisasi Bansos Dimulai, Pemerintah Terapkan GovTech Berbasis AI

Perluasan kewenangan ini baru menjadi kabar gembira di atas kertas. Peluang itu harus dibuktikan Pemerintah Aceh melalui langkah nyata, bukan hanya dengan seremoni atau retorika politik.

Pemerintah Aceh perlu segera memperkuat kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan, termasuk dinas teknis dan BPMA. Sebagai lembaga yang menjalankan fungsi operasional dan pengawasan, BPMA harus tampil profesional, transparan, dan berwibawa. Kerja sama dengan lembaga pendidikan tinggi yang relevan—seperti Universitas Syiah Kuala, Universitas Malikussaleh, dan Politeknik Negeri Lhokseumawe—perlu diperkuat untuk memastikan ketersediaan tenaga ahli di bidang teknik perminyakan, geologi, dan ekonomi energi.

Selain itu, Pemerintah Aceh harus menyusun peta jalan migas Aceh secara komprehensif untuk jangka pendek, menengah, dan panjang. Dokumen tersebut harus memuat target eksplorasi, produksi, pendapatan, dan strategi investasi, serta diintegrasikan dengan rencana pembangunan daerah dan visi-misi Gubernur Muzakir Manaf dan Wakil Gubernur Fadhlullah (Dek Fad). Skema ekonomi migas Aceh harus dapat diimplementasikan secara nyata agar masyarakat benar-benar merasakan manfaat dari janji kemakmuran.

Baca Juga  Tiba di Lhokseumawe, Kapolres Ikut Salat Jenazah Personel Polairud

Untuk jangka panjang, Aceh juga harus menyiapkan transisi ekonomi pasca-migas agar tidak terjebak dalam ketergantungan terhadap sumber daya alam yang bersifat tidak terbarukan. Isu ini sejatinya sudah beberapa kali muncul, terutama menjelang berakhirnya produksi migas di Arun Field. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa meski sudah ada cetak biru pemanfaatan kilang PT Arun NGL, realisasinya tidak optimal, dan rencana pembangunan Kilang BBM di Arun pun tak pernah terwujud.

Kiranya, berbagai kendala sektor migas di masa lalu harus menjadi pelajaran berharga untuk membangun tata kelola energi yang lebih mandiri, transparan, dan berkelanjutan. Pemerintah Aceh perlu belajar dari dinamika proyek-proyek sebelumnya di Arun, Lhokseumawe, dan Blok B North Sumatra Offshore—bahwa potensi besar tidak otomatis menghadirkan kesejahteraan tanpa tata kelola yang bersih, profesional, dan berpihak kepada rakyat.

Perluasan kewenangan ini semestinya menjadi titik balik bagi Aceh untuk mengelola kekayaan alamnya dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan. Momentum ini bukan sekadar tentang hak istimewa dalam bingkai otonomi, tetapi tentang kemampuan Aceh membuktikan diri sebagai daerah yang mampu mengelola sumber daya secara profesional dan berdaulat.[]

 

Example 120x600