Sejumlah elemen sipil mengkritisi kebijakan Pemerintah Aceh yang mengalokasikan anggaran untuk beberapa lembaga vertikal dengan jumlah fantastis, Rp32,179 miliar. Kita sebut fantastis bukan hanya dari aspek angka semata, sebab jumlah sangat relatif, tergantung untuk apa anggaran tersebut digunakan.
Jika dana tersebut digunakan untuk membangun gedung sekolah, sarana jembatan, atau infrastruktur pertanian, maka jumlah itu lebih dari cukup. Untuk membangun satu unit SD dengan ruang belajar, ruang guru, toilet, ditambah dengan perabotan lengkap, lebih dari lima unit sekolah bisa dibangun, meski kalkulasinya harus mempertimbangkan lokasi, kualitas material, dan upah pekerja.
Jangan lupa, masih ada kabupaten di Aceh yang belum memiliki SD terdekat sehingga murid harus berjibaku dengan alam karena infrastruktur untuk menjangkau sekolah belum dibangun.
Anggaran Rp32,179 miliar juga bisa digunakan untuk membantu bea siswa tahunan untuk anak dari keluarga kurang mampu. Jika setiap anak miskin diberikan Rp1,5 juta sampai Rp2 juta, maka ada 16.000 sampai 21.000 anak terbantu.
Jangan lupa, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, masih ada 804 ribu lebih atau 12,64 persen penduduk miskin di Aceh per September 2024. Angka ini jauh di atas rata-rata nasional yakni posisi 8,57 persen pada periode sama. Dengan kondisi perekonomian sekarat seperti sekarang, di mana lapangan kerja sulit dan badai PHK menghantam, jumlah penduduk miskin bisa jadi bertambah.
Anggaran Rp32,179 miliar juga bisa digunakan untuk program pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) atau untuk akses air bersih dan sanitasi atau berbagai program lainnya yang menyentuh langsung kepentingan rakyat Aceh. Dan yang lebih penting, program tersebut tidak melanggar peraturan.
Berbagai regulasi, mulai dari Undang-Udang Nomor 23/2014 Tentang Pemerinatah Daerah, Peraturan Presiden Nomor 12/2019, sampai Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor Nomor 900.1.1/435/SJ Tahun 2023, melarang alokasi dana hibah kepada lembaga vertikal yang berada di bawah kendali pemerintah pusat.
Pembiayaan instansi yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat, telah menjadi tanggung jawab Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), bukan dibebankan pada APBA.
Praktik ini sudah berlangsung lama. Bukan hanya di APBA, tetapi juga di APBK sejumlah kabupaten dan kota di Aceh. Selama ini sudah pernah ada pihak yang mengkritisinya. Namun, alokasi dana untuk lembaga vertikal masih terus terjadi. Padahal, beberapa lembaga tersebut, seperti kepolisian dan kejaksaan, adalah lembaga penegak hukum yang mustahil tak tahu hibah dana tersebut melanggar hukum.
Dari informasi yang diperoleh media ini, alokasi dana hibah Rp32,179 miliar ini berada di bawah penjabat gubernur Aceh. Namun, semua pihak mengharapkan Pemerintahan Muzakir Manaf – Fadhlullah serta DPR Aceh, bisa membatalkan alokasi dana tersebut dalam APBA. Semua pihak sudah bersuara keras untuk mengalihkan dana tersebut untuk kebutuhan yang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat Aceh.
Para pejabat di lembaga vertikal pun, harusnya sadar diri dan malu meminta anggaran tersebut pada Pemerintah Aceh. Mereka bukan anak yatim yang harus disuapi APBA.[]