Berita Utama

GAPKI dan Pemerintah Aceh Perkuat Perlindungan Anak dari Eksploitasi di Industri Sawit

×

GAPKI dan Pemerintah Aceh Perkuat Perlindungan Anak dari Eksploitasi di Industri Sawit

Sebarkan artikel ini
Buku pandukan Sawit Indonesia Ramah Anak dan Perlindungan Hak-Hak Pekerja Perempuan dai Perkebunan Sawit. Foto: Ihan Nurdin

Byklik | Banda Aceh–Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) bersama mitra strategis PAACLA Indonesia, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh yang didukung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) mengadakan Seminar dan Workshop Perlindungan dan Pencegahan Pekerja Anak di Perkebunan Sawit sekaligus meluncurkan buku panduan praktis dan praktik baik Sawit Indonesia Ramah Anak. Kegiatan ini berlangsung di hotel Ayani Banda Aceh, Rabu, 27 Agustus 2025.

Kegiatan ini menghadirkan empat narasumber, yaitu Rinaldi Umar (Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Kemnaker), Dwi Jalu Atmanto (Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Kemen PPPA), Sumarjono Saragih (Ketua Bidang Pengembangan SDM GAPKI), dan Prita Bahruny (Direktur Bahruny Group).

Kepala DPPPA Aceh, Meutia Juliana, mengapresiasi inisiatif GAPKI yang dinilai sejalan dengan upaya Pemerintah Aceh dalam mewujudkan Aceh sebagai provinsi yang layak anak. Inisiatif untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi menurutnya tidak hanya diberlakukan di industri sawit saja, tetapi juga dalam berbagai praktik usaha lainnya.

Ia juga menyatakan dukungan terhadap pengelolaan sawit yang berkelanjutan, di antaranya, yang mengedepankan praktik-praktik baik dalam perlindungan anak, termasuk perlindungan bagi tenaga kerja perempuan. Dengan terjamin dan terlindunginya hak-hak anak, menurutnya akan berdampak pada produktivitas ibu yang bekerja, tak terkecuali dalam sektor industri sawit.

“GAPKI memiliki peran strategis dalam hal ini karena industri sawit bersentuhan langsung dengan isu anak yang lebih luas. Oleh karena itu, perlu membangun standar operasional yang tidak membahayakan anak dan memenuhi hak anak melalui pendidikan dan kesehatan,” katanya saat membuka kegiatan tersebut.

Buku Sawit Indonesia Ramah Anak berisikan beberapa bagian, yakni Bagian I tentang Pendahuluan berisikan tentang kilasan sawit Indonesia, pemahaman anak dan hak-hak anak, dan tentang pekerja anak; Bagian II tentang Prinsip Hak-Hak Anak dalam Dunia Usaha yang berisikan tentang prinsip-prinsip dunia usaha dan hak-hak anak, dan pentingnya penerapan prinsip-prinsip bisnis dan hak anak di industri sawit.

Baca Juga  Menkomdigi: Industri Gim Harus Lindungi Anak dari Konten Kekerasan

Selanjutnya, Bagian III tentang Mewujudkan Kawasan Sawit Ramah Anak yang beriiskan tentang penghormatan terhadap hak-hak anak, larangan pekerja anak, lingkungan perkebunan yang aman bagi anak, keluarga dan pengsuhan anak dan dukungan terhadap pemenuhan hak-hak anak; Bagian IV tentang Program Sawit Ramah Anak yang terdiri atas tahap perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasi.

Melalui panduan praktis tersebut, GAPKI setidaknya mencoba untuk membangun ekosistem perkebunan sawit yang ramah anak melalui lima kerangka strategis. Yaitu pendekatan berbasis komunitas, pengembangan kebijakan standar perusahaan sawit, akses pendidikan dan layanan dasar, pemberdayaan keluarga dan alternatif ekonomi, serta kolaborasi multipihak.

Inisiatif ini untuk mempromosikan dan mendorong anggota GAPKI serta pelaku industri sawit yang baik dan berkelanjutan, dengan merespons agenda dan standar global terkait dunia usaha yang melindungi, menghormati, dan mendukung pemenuhan hak anak.

Para narasumber

Rinaldi Umar dalam paparannya menjelaskan, pekerja anak didefinisikan sebagai setiap anak yang mendahulukan pekerjaan yang memiliki sifat dan intensitas yang dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan dan keselamatan anak serta tumbuh kembang anak secara optimal, baik fisik, mental, sosial, dan intelektualnya.

Selain pekerja anak, juga ada istilah anak bekerja yakni seorang anak yang bekerja seperti membantu orang tua atau bekerja dalam waktu tertentu. Dalam konteks ini, anak bekerja dibolehkan karena hak-haknya tetap terpenuhi dan tidak ada yang terabaikan serta tidak mengalami eksploitasi.

Baca Juga  Ahok Diperiksa Kortastipidkor Polri Terkait Kasus Pengadaan Lahan di Cengkareng

Berdasarkan klasifikasinya, seorang anak yang berusia antara 13–15 tahun hanya boleh bekerja maksimal tiga jam per hari dan mereka wajib dibayar seperti jasa tenaga orang dewasa. Sedangkan anak yang berusia 15–17 tahun sudah boleh bekerja delapan jam per hari atau 40 jam per minggu. Namun, syaratnya juga sangat ketat, yaitu jam sekolah anak tersebut tidak boleh terganggu.

“Kalau dilihat sama saja sebetulnya, ini dibuat ketat supaya tidak mudah untuk mempekerjakan anak,” katanya.

Kegiatan ini diikuti sekitar 120  peserta yang berasal dari anggota GAPKI, perusahaan non-GAPKI, perwakilan petani, instansi pemerintah, akademisi, organisasi masyarakat sipil, serikat pekerja, dan media. Workshop secara khusus melibatkan perwakilan perusahaan anggota GAPKI di bidang SDM dan keberlanjutan.

Sesi workshop akan difasiitasi oleh PAACLA Indonesia akan diadakan 27 – 28 Agustus 2025 dengan fokus pada peningkatan kemampuan teknis perusahaan dalam melindungi dan memenuhi hak anak, mencegah dan memantau pekerja anak, membangun kemitraan multipihak, serta melakukan pemetaan isu perlindungan anak di rantai pasok sawit.

Pada akhir seminar dilakukan penandatanganan komitmen bersama aksi kolaborasi membangun Aceh bersama Sawit Ramah Anak yang dilakukan oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh (DPPPA) Meutia Juliana, mewakili Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yakni Plt Ketua GAPKI Aceh, Mawardi, Ketua Bidang Pengembangan SDM GAPKI Sumarjono Saragih, dan Andi Akbar Kepala Sekretariat Nasional Patnership for Action Against Child Labour in Agriculuture (PAACLA) Indonesia.[]

Example 120x600