Byklik.com | Lhoksukon — Peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia masih membutuhkan lembaga pengawas pemilu di tengah berbagai tantangan demokrasi nasional dan global. Ada fenomena anomali demokrasi ditandai dengan maraknya praktik borjuisme politik, arogansi aparat, serta defisit demokrasi yang berujung pada munculnya autokrasi baru.
Hal itu disampakan akademisi Universitas Malikussaleh, Dr. Teuku Kemal Fasya, M.Hum dalam diskusi publik bertajuk “Penguatan Kelembagaan dalam Membangun Strategi Pengawasan Pemilu” yang digelar Bawaslu Aceh Utara di Aula Setdakab Aceh Utara, Lhoksukon, Senin, 29 September 2025.
Menurut Teuku Kemal, dinamika demokrasi global dan nasional yang tengah menghadapi tantangan serius, antara fenomena anomali demokrasi ditandai dengan maraknya praktik borjuisme politik, arogansi aparat, serta defisit demokrasi yang berujung pada munculnya autokrasi baru.
“Demokrasi seharusnya membebaskan masyarakat dari absolutisme dan ideologi negara, namun justru sering tergelincir pada birokrasi yang sombong dan praktik populisme,” paparnya.
Teuku Kemal juga menyinggung gelombang revolusi di sejumlah negara seperti Nepal, Iran, hingga Amerika Serikat. Menurutnya, demokrasi yang gagal memenuhi aspirasi rakyat akan melahirkan perlawanan. Ia pun mengingatkan generasi muda Indonesia untuk tetap kritis terhadap potensi pelemahan demokrasi akibat polarisasi politik, munculnya post-truth, serta matinya kepakaran.
Mengulas Pemilu 2024, Teuku Kemal menekankan bahwa tingkat partisipasi pemilih nasional mencapai 81,48 persen, sementara Aceh lebih tinggi dengan 87,01 persen. Namun, Aceh juga mencatat salah satu jumlah pelanggaran tertinggi, yakni 190 temuan sejak 2022.
“Sayangnya, banyak pelanggaran pidana yang tidak bisa ditindaklanjuti karena keberanian tim peserta pemilu lebih besar dibandingkan pengawas,” kritik Kemal.
Lebih lanjut, ia menilai Bawaslu dan Panwaslih harus tampil lebih leading daripada sekadar mitra sejajar KPU. “Strateginya adalah mempertegas juknis dan juklak, memperkuat transparansi dan akuntabilitas, melakukan digitalisasi hasil pemilu, hingga membentuk Badan Peradilan Pemilu,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan agar partai politik tidak berubah menjadi “taman kanak-kanak” yang abai terhadap prinsip demokrasi. “Lembaga pengawas harus mampu menjaga kualitas demokrasi sekaligus mengawal proses politik agar tetap sehat.”
Selain itu, Teuku Kemal menekankan perlunya melibatkan generasi milenial dan Gen-Z dalam pengawasan pemilu. Menurutnya, kelompok muda perlu diberi ruang untuk menilai kinerja lembaga pengawas. “Mereka adalah garda depan dalam menjaga demokrasi di era digital,” tutupnya.[]