Byklik | Banda Aceh–Universitas Syiah Kuala (USK) menerima kunjungan delegasi Kedutaan Besar (Kedubes) Selandia Baru untuk Indonesia yang dipimpin oleh Deputy Head of Mission, Dr. Giselle Larcombe. Kedatangan delegasi tersebut disambut langsung oleh Wakil Rektor Bidang Akademik USK, Prof. Dr. Ir. Agussabti, M.Sc., di Ruang Mini Rektor USK, Selasa, 23 September 2025.
Kunjungan ini menjadi momen penting karena bertepatan dengan 20 tahun penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005 silam, yang menandai berakhirnya konflik dan lahirnya perdamaian di Aceh.
Dalam sambutannya, Dr. Larcombe menyampaikan bahwa tujuan kunjungan ini adalah untuk memahami lebih dekat perkembangan politik, sosial, dan ekonomi Aceh pasca-MoU Helsinki. Selain itu, pihaknya juga menjajaki peluang kerja sama, khususnya dalam bidang pendidikan, pemberdayaan ekonomi perempuan, energi terbarukan, dan pertanian.
“Kami bersyukur dapat berkunjung ke USK dan tidak sabar melihat situs budaya Aceh. Kami ingin menyaksikan secara langsung bagaimana pembangunan sosial dan ekonomi berjalan setelah dua dekade perdamaian,” ujar Dr. Larcombe.
Sementara itu, Prof. Agussabti menyampaikan penghargaan atas kunjungan tersebut. Menurutnya, kunjungan ini memiliki makna khusus karena merupakan kunjungan pertama Kedubes Selandia Baru ke USK sejak tahun 2018.
“Atas nama Rektor USK, dengan penuh kehormatan dan kebahagiaan saya menyampaikan sambutan hangat kepada peserta delegasi dari Kedutaan Besar Selandia Baru. Kami melihat kunjungan ini sebagai kesempatan penting untuk memperkuat hubungan antara USK dan Selandia Baru,” ungkapnya.
Prof. Agussabti juga menjelaskan bahwa meskipun USK belum memiliki kerja sama akademik formal dengan universitas di Selandia Baru, beberapa dosen USK merupakan alumni dari institusi pendidikan di negara tersebut. Hal ini, menurutnya, menjadi penghubung nyata antara kedua komunitas.
“Kami berharap kunjungan ini dapat membuka jalan bagi dialog lebih lanjut, tidak hanya dalam kerja sama akademik, tetapi juga dalam pertukaran pengetahuan dan perspektif yang lebih luas, sehingga dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan di Aceh,” tambahnya.
Di sisi lain, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USK, Dr. Mahdi Syahbandir, S.H., M.Hum., turut memberikan pandangan terkait kondisi Aceh pasca-MoU Helsinki. Ia menyebut salah satu hasil nyata dari perjanjian damai tersebut adalah lahirnya partai lokal di Aceh, yang memungkinkan masyarakat menyalurkan aspirasi politik secara lebih langsung.
“Bahkan Gubernur Aceh merupakan mantan Panglima GAM, sehingga mampu menjaga stabilitas dan meredam potensi gejolak. Selain itu, Aceh juga memiliki lembaga khusus seperti Dinas Syariat Islam dan Badan Pengelola Zakat, serta memperoleh dana Otonomi Khusus sebesar 1 persen dari APBN. Kini muncul aspirasi agar dana tersebut ditingkatkan menjadi 2 persen dan bersifat permanen,” jelas Mahdi.
Kunjungan ini menandai momentum penting bagi USK untuk memperkuat hubungan internasional, sekaligus membuka peluang kolaborasi baru dengan Selandia Baru dalam mendukung pembangunan berkelanjutan dan pengembangan sumber daya manusia di Aceh.[]