BELUM lama ini Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mengumumkan nama-nama yang terpilih sebagai Relawan Literasi Masyarakat (Relima) Tahun 2025. Dari nama-nama tersebut, salah satunya adalah Dewi Sofiana yang berasal dari Kabupaten Bireuen. Dewi merupakan satu dari sepuluh relima yang terpilih mewakili Aceh. Sembilan orang lainnya tersebar di berbagai kabupaten/kota lainnya di Aceh.
Relima merupakan program baru di Perpusnas. Para relawan ini akan bekerja di paruh kedua tahun ini sejak Juli hingga Desember 2025. Ada beberapa tugas yang diemban oleh seorang relima, seperti mendampingi TBM atau perpustakaan desa/tempat ibadah yang difasilitasi oleh Perpusnas.
“Kami juga akan melakukan kampanye budaya baca dan melakukan advokasi yang berkaitan dengan literasi. Jika diperlukan, kami juga akan beraudiensi dan berkoordinasi dengan pemangku kepentingan di daerah masing-masing,” kata Dewi, Minggu, 29 Juni 2025.
Sejumlah proses telah dilalui Dewi hingga akhirnya terpilih dan ditetapkan sebagai Relima 2025. Seluruh tahapan seleksi, mulai dari seleksi administrasi, portofolio, hingga menulis esai dan wawancara berhasil dilalui Dewi. Bagi Dewi, terpilihnya ia sebagai relima bukan hanya bentuk apresiasi dari Perpusnas, melainkan sebagai penanda betapa lamanya sudah ia berkecimpung di dunia literasi. Ya, relima hanya mengkhususkan pada orang-orang yang sudah berpengalaman, minimal selama lima tahun terakhir. Dewi bersyukur, tetapi ini bukanlah akhir dari pengabdiannya sebagai pegiat literasi.
Dewi Sofiana berasal dari Juli, Bireuen. Ia lahir dan dibesarkan di sana. Setelah tamat SMA, Dewi hijrah ke Banda Aceh untuk melanjutkan kuliah di Universitas Syiah Kuala. Setelah meraih gelar S-1 dari Prodi Sosial Ekonomi Pertanian pada tahun 2002, Dewi tak langsung pulang ke kampung halaman. Ia ingin menempa diri dan meniti karier di ibu kota provinsi. Namun, setelah menjadi korban tsunami pada Minggu, 26 Desember 2004, Dewi pun memutuskan pulang ke Juli.
Meskipun lulusan dari Fakultas Pertanian, tetapi Dewi pernah mengidam-idamkan menjadi presenter televisi.
“Tapi keinginan tersebut tidak tercapai. Saya juga bercita-cita menjadi dosen, tetapi lagi-lagi belum tercapai. Meskipun begitu, saya menikmati kegiatan sekarang karena saya suka aktivitas yang membuat saya bisa bertemu orang-orang baru, tempat baru, dan berbagi pengalaman di dunia literasi,” ujarnya.

Saat ini Dewi mendedikasikan diri sebagai guru honorer di MTsS Juli. Ia sangat menikmati hari-harinya sebagai guru di madrasah. Di luar aktivitas sebagai guru, Dewi juga bergabung dengan beberapa komunitas menulis. Ia juga tercatat sebagai pengurus Forum Literasi BERLIAN Bireuen. Sebuah forum yang berada di lingkungan Kemenag Bireuen. Mulai tahun ini, Dewi dipercayakan menjabat Ketua Bidang Literasi Menulis Buku di BERLIAN hingga 2028 nanti.
Kilas balik ke masa lalunya, Dewi menyadari bahwa ia sudah suka membaca sejak kecil. Kegemaran itu menumbuhkan minat yang besar terhadap dunia baca-tulis. Lebih dari itu, terpacu pula untuk menebarkan semangat membaca dan menulis bagi lingkungan sekitarnya. Memang tak mudah, tantangan pasti akan selalu ada. Namun, di situlah letak keasyikannya.
Promosi baca-tulis adalah dua hal yang Dewi seriusi. Sebagai guru, ia menyadari bahwa dua hal ini akan berdampak besar dalam memajukan pendidikan, membangun peradaban sebuah bangsa, ataupun dalam menciptakan kehidupan yang lebih berkualitas dan berkarakter.
“Apalagi di zaman sekarang, dampak negatif teknologi sudah sangat merusak anak-anak kita dan mengubah gaya hidup dan perilaku masyarakat sehingga kita memerlukan solusinya yaitu literasi,” katanya.
Orang-orang yang membumikan literasi di Aceh ibarat menempuh jalan sepi yang banyak tantangan. Namun, bukan berarti tidak ada geliatnya. Pemerintah dan masyarakat terus bersinergi untuk mendenyutkan literasi di masyarakat. Berbagai dinas terkait menurutnya terus melahirkan program-program literasi yang bisa diakses oleh masyarakat. Ia berharap denyut ini semakin membesar sehingga budaya literasi bisa mengakar dalam kehidupan sehari-hari setiap individu.
Sejalan dengan itu, akses untuk memperoleh fasilitas dan sumber bacaan berkualitas bisa terus dibuka selebar-lebarnya, terutama oleh pemerintah. Tanpa dukungan dari semua pihak, giat literasi ini akan jalan di tempat. Secara pribadi Dewi pun merasa begitu, dukungan anak-anak dan suami membuatnya selalu punya energi untuk beraktivitas. Rekan-rekan kerjanya juga demikian.
Dewi adalah tipikal orang yang gemar membaca buku segala genre. Cerpen, puisi, novel, artikel, atau buku-buku populer lainnya ia lahap. Ia juga tidak fanatik pada penulis-penulis tertentu. Di antara penulis-penulis beken Indonesia, beberapa penulis yang karya-karyanya sering masuk dalam “keranjang belanjaan” Dewi ada Helvy Tiana Rosa, Tere Liya, Habiburrahman El Shirazi, dan Taufik Ismail.
Waktu favoritnya untuk membaca adalah malam hari karena hanya saat itu waktu yang tepat untuk “me time” bersama buku. Berbeda dengan ketika masih bocah dulu, di luar waktu-waktu mengaji dan sekolah, ia akan membaca di waktu kapan saja. Setelah dewasa, dengan aktivitas yang beragam jadwal membaca dan menulis pun perlu disesuaikan.
Bagi Dewi, membaca bukan sekadar hobi. Banyak manfaat yang dirasakan jika membaca menjadi kebiasaan. Selain menambah wawasan dan pengetahuan, membaca juga dapat melatih cara berpikir seseorang menjadi lebih kritis.
“Dan yang paling penting, membaca bisa menjadi terapi sekaligus sarana hiburan. Dengan membaca kita bisa nyambung dalam bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang lain,” kata Dewi yang sejak SD sudah terpapar dengan aneka majalah seperti Kartini, Femina, Intisari, Gatra, Tempo, Anita Cemerlang, Hai, dan lainnya.
Majalah-majalah itu ia peroleh dari koleksi paman-pamannya yang kuliah di Banda Aceh. Ketika musim liburan sekolah tiba, Dewi sering berlibur ke Banda Aceh dan menginap di kosan mereka. Setelah mereka berangkat ke kampus, Dewi pun mulai bergerilya dan membongkar koleksi-koleksi mereka.
“Kadang-kadang dimarahi juga, tapi sangat mengasyikkan bisa mencuri-curi baca seperti itu. Bacaan-bacaan tersebut tanpa sadar membuat saya terkesan lebih dewasa dari usia sebenarnya. Selain bacaan yang belum sesuai umur itu, saya juga suka membaca buku-buku cerita dari perpustakaan sekolah, meskipun untuk satu judul buku kadang sampai terbaca berulang-ulang karena terbatasnya koleksi buku saat itu,” kenangnya.
Relima adalah tonggak estafet untuk keberlanjutan Dewi dalam menggeluti dunia literasi. Sebelumnya, ia juga terpilih sebagai Sosialisator Program Literasi (SPL) Nasional Nyalanesia pada program Gerakan Sekolah Menulis Buku (GSMB) Nasional untuk Kabupaten Bireuen. SPL GSMB yang ia peroleh pada tahun 2020 merupakan prestasi pertamanya yang menjadi buah manis dari aktivitasnya di dunia literasi.
Pada tahun 2022, ia juga lolos sebagai Fasilitator Daerah Literasi dan Instruktur visitasi AKMI Kemenag RI. Pada 2022, tulisannya juga terpilih dalam sepuluh tulisan terbaik dari tantangan menulis oleh Andi F. Noya ( Kick Andi). Dewi juga pernah menjuarai lomba menulis artilkel, esai, serta cipta dan baca puisi.
“Terakhir, pada perayaan Hardiknas 2025, alhamdulillah saya mendapatkan juara 2 Lomba Cipta Puisi Tingkat Pengajar Se-Nusantara yang diselenggarakan oleh Bestari Literasi Indonesia,” katanya.
Prestasi-prestasi itu adalah pemantik yang membuat api semangat Dewi terus menyala. Ia terus menyimpan bara agar budaya literasi di Aceh semakin tinggi. Apalagi, Aceh yang notabenenya mayoritas muslim, harus memahami esensi literasi sebagai anjuran agama seperti yang tertera dalam surat Al-‘Alaq.
“Dan ini adalah PR besar agar generasi Aceh menjadi generasi yang cinta baca dan maju pendidikannya,” kata Dewi.[]