HeadlineHumanioraLingkungan & Energi

Akmal Senja, Hutan Wakaf, dan Konservasi Islami

×

Akmal Senja, Hutan Wakaf, dan Konservasi Islami

Sebarkan artikel ini
Tim hutan wakaf menemani rombongan Dinas Kehutanan Aceh ke hutan wakaf. Dok: Akmal Senja

Kupi saboh teuk,” kata Akmal kepada anak muda yang bekerja di warung itu. Itu gelas kedua yang ia pesan kira-kira setelah kami berdiskusi selama dua jam. Akmal juga menawari saya lagi, tapi saya membatasi hanya satu gelas kopi saja sehari. Sesaat kemudian, kopi pesanannya pun dihidangkan. Segera ia seruput selagi asapnya masih mengepul.

Sehari sebelumnya Akmal mengabari. Ia punya waktu untuk kami minum kopi. Rencana pertemuan yang sebelumnya tertunda-tunda pun terwujud. Jadilah hari itu, mulai pukul setengah sembilan pagi hingga menjelang azan Zuhur , kami ngopi dan berdiskusi di sebuah warung di Jalan Syiah Kuala, Banda Aceh, Rabu, 11 Juni 2025.

Perbincangan kami lebih banyak mengenai aktivitas yang telah ditekuni Akmal selama lebih dari satu dekade terakhir, yakni mengelola gerakan filantropi hutan wakaf Aceh. Juga, rasanya tak “sedap” jika tak turut membahas polemik penambangan di Raja Ampat yang sedang mengguncang jiwa dan akal sehat masyarakat Indonesia. Lalu, mengaitkannya dengan Geumpang di Pidie. Yang minim sorotan publik, minim advokasi, tetapi kerusakannya begitu nyata di depan mata.

Begitulah si “Beauty and the Beast” kita temukan dalam objek berupa bentang alam. Ternyata, konsep beauty privilege pun dapat berlaku tak hanya pada manusia.

“Sehingga perlu dipertanyakan lagi suara-suara yang muncul dalam diri kita. Apakah kita berdengung karena memang menyadari betapa berbahaya dan merusaknya aktivitas tambang? Atau membela yang cantik dan indah itu tanpa paham apa substansi dan esensinya?”

Pertanyaan itu dilontarkan bukan untuk menafikan apa yang sedang diperjuangkan oleh rakyat agar Raja Ampat terbebas dari keserakakan dan “kutukan” sumber daya alam. Melainkan agar pikiran kita tak turut terjebak pada situasi beauty privilege tadi. Barangkali, jika Raja Ampat tak seindah itu, belum tentu memikat banyak hati untuk bersuara.

Selebihnya, diskusi beralih pada topik tentang “kesadaran diri”. Sebuah kesadaran yang baru bisa ditemukan dengan banyak berkontemplasi; melihat jauh ke dalam diri sendiri. Agar jiwa yang murni dapat dicapai.

Afrizal Akmal atau yang lebih dikenal dengan sebutan Akmal Senja, adalah inisiator terbentuknya gerakan Komunitas Inisiatif Konservasi Hutan Wakaf. Selain Akmal, juga ada Azhar–pegiat lingkungan yang kini sudah bermukim di ibu kota negara. Juga ada dua rekan lainnya.

Gagasan ini tercetus pada 2012 silam. Bermula dari keresahan mereka melihat alam sekitar yang semakin hari semakin rusak. Hutan-hutan yang tak punya kuasa untuk membela diri. Hutan yang dibabat dengan brutal, harga dirinya dirampas, kandungannya dieksploitasi habis-habisan, tanpa ada kesempatan bagi alam untuk memulihkan diri. Reboisasi yang dulu sering kita baca pada buku-buku ilmu pengetahuan alam sudah lama menjelma menjadi artefak kata.

“Akhirnya, setelah berdiskusi dengan Azhar, spontan tercetuslah hutan wakaf. Karena hanya wakaf yang nggak bisa diutak-atik. Siapa yang mau mengutak-atik, komitmen wakaf kan langsung sama Tuhan?” cerita Akmal mengulang ingatannya.

Baca Juga  Aksi Free Palestina Menggema di Banda Aceh

Setelah lebih dari satu dekade, gerakan hutan wakaf semakin menyebar. Lingkaran filantropi ini semakin membesar. Gaungnya ke mana-mana. Semangatnya mulai ada yang mengadopsi sehingga kini, di Bogor, Jawa Barat, juga sudah ada hutan wakaf sebagai upaya konservasi.

Bermula dari Dunia Tipu-Tipu

Namun, Akmal yang berasal dari Kota Bakti, Pidie, tidaklah serta-merta menjadi seseorang yang environmental minded. Semua justru bermula dari dunia yang penuh tipu-tipu. Dunia yang tertolak oleh sanubarinya. Itu sudah lama sekali. Saat ia masih menjadi mahasiswa arsitektur di salah satu universitas swasta pada tahun 1992.

Ia punya bakat menggambar yang bagus. Jiwa seninya juga menonjol. Dua hal ini yang membuatnya sebagai mahasiswa tingkat awal saat itu sering diajak berkolaborasi oleh dosen sebagai tukang gambar untuk proyek-proyek bersama pihak ketiga.

“Masa itu sedang tren jendela berkanopi. Nah, saya sering diminta untuk mendesain bentuk kanopinya,” kenang Akmal, “tetapi kemudian ada hasil kerja saya yang tidak dibayar oleh kontraktornya,” sambungnya.

Hal itu membuatnya berpikir. Kok begini? Akmal yang penuh dengan integritas, mulai berhadapan dengan para pengibul profesional. Ia berpikir lagi, apakah akan begitu seterusnya dunia yang akan dihadapinya jika kelak menjadi seorang arsitek? Dalam situasi seperti itu, ia justru bertemu dan mulai bergaul dengan mahasiswa dari Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan (STIK) Teungku Chik Pante Kulu.

Akmal Senja saat menemani dosen FH UI, Wirdianingsih, yang meneliti tentang hutan wakaf pada 2018. Foto: Ihan Nurdin

Ia bertemu dan terlibat diskusi mendalam dengan senior-senior di STIK, di antaranya, almarhum Ilham Sinambela. Akmal merasa klik. Cerita-cerita tentang hutan dan dunia konservasi membuatnya jatuh hati. Alhasil, kampus terdahulu ia tinggalkan begitu saja setelah dua tahun menjadi mahasiswa di sana. Selanjutnya ia mendaftar dan kuliah di STIK. Dari sinilah jiwa konservasionisnya semakin terasah dan tertanam.

Di STIK pula ia mendapatkan kesempatan bertemu dengan Ir. Mohamad Kasin Arifin yang legendaris. Pertemuan sebagai murid dan guru. Kasim Arifin adalah legenda IPB yang menghabiskan masa KKN-nya di Pulau Seram, Maluku, hingga lima belas tahun lamanya. Ia tetap bergeming meskipun berkali-kali dibujuk agar mau kembali ke IPB dan menjadi dosen.

Belakangan, cerita Akmal, Kasim Arifin mau juga keluar dari Pulau Seram. Bukan untuk kembali ke IPB, melainkan pulang ke Aceh setelah membaca surat ancaman ibunya yang memintanya pulang untuk menikah. Seteguh-teguhnya hati Arifin, luluh juga pada keteguhan penantian sang ibu. Dari gurunya, Akmal belajar tentang pengabdian sejati.  Namun, Akmal tak pernah menggantungkan pensil dan kertas gambarnya. Ia tetap menggambar. Hingga sekarang. Itu adalah bagian lain dari dirinya.

Setelah tak lagi menjadi mahasiswa, Akmal pun mulai bergelut di dunia swadaya masyarakat. Ia pernah bergabung dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh. Bersama rekan-rekannya, seperti Ivan Krisna, Yasir Premana, dan lain-lain, ia aktiv mengadvokasi isu-isu penyelamatan lingkungan, sejak era Ladia Galaska pada tahun 2000-an. Ini merupakan proyek pembangunan jalan sepanjang 496,5 kilometer di Kawasan Ekosistem Leuser di masa Gubernur Abdullah Puteh.

Baca Juga  Gubernur Mualem Lepas Keberangkatan Rombongan Mudik Gratis Pemerintah Aceh

Jalan-jalan ini sejatinya dibangun untuk menghubungkan tiga batasan wilayah, mulai di pesisir selatan yang berbatasan dengan Samudra Hindia, di tengah di sepanjang dataran tinggi Gayo dan Alas, hingga di pesisir timur yang berbatasan dengan Selat Malaka. Akronimnya yang indah, Ladia Galaska, justru menjadi pintu masuk untuk merusak hutan-hutan alami di KEL.

Konservasi ala Islam Menjadi Solusi

Gerakan hutan wakaf murni dijalankan dengan semangat dan visi menjadikan Islam yang rahmatan lil alamin. Rahmat bagi sekalian alam. Akmal dan teman-temannya di gerakan berkeyakinan, mustahil mewujudkan Islam yang menjadi rahmat bagi sekalian alam jika malah mengabaikan alam itu sendiri. Tempat yang menjadi rumah bagi segala makhluk, utamanya flora dan fauna.

Gerakan ini dimulai dengan menggalang donasi serupiah demi serupiah. Kampanye demi kampanye diriuhkan di beranda-beranda media sosial di jagat maya ataupun dari meja ke meja di warung kopi. Begitulah, hingga akhirnya, dari uang yang terkumpul itu bisa membeli dua petak lahan kritis di Gampong Data Cut, Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar. Ya, lahan kritis. Memang ini misinya gerakan hutan wakaf. Menyulap lahan kritis menjadi hutan yang penuh dengan sumber daya. Lahan pertama dibeli pada tahun 2016.

Sebagaimana konsep wakaf dalam Islam, hutan ini tak boleh diperjualbelikan atau berpindah tangan dengan alasan apa pun. Namun, manfaat hasil hutan bukan kayunya (HHBK) dapat diambil untuk kemaslahatan masyarakat sekitar. Lahan kritis itu kini sudah menjelma menjadi hutan yang sebenar-benarnya hutan. Bahkan aneka satwa, termasuk satwa liar dilindungi, pernah mampir ke sini. Babi hutan bebas berkubang di alur-alur yang basah. Burung-burung migran juga kerap transit sebelum akhirnya melanjutkan penerbangan mereka melintasi benua.

Tugu ikrar hutan wakaf. Foto: Razuardi Essek

Menariknya, lahan hutan wakaf ini berada persis di tengah-tengah hamparan kebun sawit di Data Cut. Hutan wakaf yang heterogen seolah menjadi tameng alam agar kawasan yang homogen tak semakin berekspansi. Pohon enau yang tumbuh di sini bisa dipetik buahnya atau diambil niranya oleh masyarakat. Rotan pun demikian. Tak hanya itu, hutan wakaf kini mulai digandrungi para akademisi untuk meneliti, siswa dan mahasiswa untuk mengeksplorasi alam, dan siapa saja yang ingin melihat hutan lebih dari sekadar tempat yang jauh dari keriuhan kota.

“Wakaf sebagai salah satu konsep pengelolaan harga agama dalam Islam menurut saya menjadi solusi tunggal dalam dunia konservasi,” kata Akmal.

Konsep inilah yang terus menyalakan semangat, khususnya di dalam diri Akmal, dan umumnya siapa saja yang terlibat dalam gerakan hutan wakaf. Bahwa di tengah masifnya kemunculan neraka-neraka kecil seperti di Geumpang, Tangse, bahkan hingga Raja Ampat di Papua akibat aktivitas tambang dan penebangan liar, masih ada solusi yang sakti mandraguna.[]

Example 120x600