Berita Utama

Aceh Tegaskan Kepemilikan Empat Pulau di Perbatasan dengan Sumatera Utara

Avatar
×

Aceh Tegaskan Kepemilikan Empat Pulau di Perbatasan dengan Sumatera Utara

Sebarkan artikel ini
Mualem rapat bersama FORBES DPR/DPD-RI
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, saat menggelar rapat bersama FORBES DPR/DPD-RI asal Aceh membahas isu strategis terkait sengketa empat pulau perbatasan Aceh–Sumut di Meuligoe Gubernur, Banda Aceh, Jumat (13/6/2025). 📷: Dok. Humas Aceh

ByKlik.com | Banda Aceh — Pemerintah Aceh secara tegas menyatakan kepemilikan atas empat pulau di wilayah perbatasan antara Kabupaten Aceh Singkil (Aceh) dan Kabupaten Tapanuli Tengah (Sumatera Utara).

Untuk membahas isu penting ini, Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), menggelar rapat khusus bersama anggota FORBES DPR dan DPD RI asal Aceh, pimpinan dan anggota DPRA, ketua fraksi DPRA, ketua partai politik, Plt. Sekda Aceh, kepala SKPA dan biro, serta rektor perguruan tinggi dan ulama pada Jumat (13/6/2025) malam.

Mualem menegaskan bahwa Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Mangkir Besar sah berada dalam wilayah Aceh, bukan Sumatera Utara. Dalam pemaparannya, Mualem menguraikan sejumlah fakta hukum, historis, dan teknis yang memperkuat status kepemilikan Aceh terhadap pulau-pulau tersebut.

“Terkait sengketa pulau, Pemerintah Aceh menolak keras penetapan sepihak Kementerian Dalam Negeri yang menyatakan empat pulau, yaitu Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Kecil, dan Mangkir Besar masuk wilayah Sumatera Utara,” tegas Mualem dilansir Humas Aceh, Sabtu (15/6).

Sengketa ini bermula dari perubahan koordinat wilayah administratif melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 050-145 Tahun 2022 dan Kepmendagri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022, yang memasukkan keempat pulau tersebut ke dalam wilayah Tapanuli Tengah.

Baca Juga  Illiza Serahkan Sapi Kurban Bantuan Presiden Prabowo

Padahal, menurut data Pemerintah Aceh, penetapan ini bertentangan dengan berbagai dokumen resmi, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Aceh, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), serta hasil kerja lapangan dari Tim Pemetaan Pulau Aceh tahun 2016 dan 2018.

Secara hukum, keempat pulau telah diakui sebagai bagian dari Aceh berdasarkan surat Gubernur Sumatera Utara pada tahun 1953. Selain itu, berbagai dokumen historis menunjukkan bahwa pulau-pulau ini selama ini berada dalam struktur pemerintahan dan pelayanan administratif Aceh.

Secara administratif, empat pulau tersebut telah bertahun-tahun berada di bawah pelayanan dan pengelolaan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil. Data pemetaan bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2016 dan 2018 juga menguatkan bahwa titik koordinat keempat pulau tersebut berada dalam garis batas wilayah Aceh.

Pemerintah Aceh bahkan telah melakukan pendataan dan pendefinisian keempat pulau secara formal dalam dokumen Surat Keputusan (SK) Gubernur Aceh Nomor 050/933/2016, serta memasukkannya ke dalam daftar resmi pulau pada rapat validasi Kemendagri tahun 2022 di Bali.

Dalam pertemuan tersebut, Mualem bersama anggota FORBES DPR dan DPD RI asal Aceh, anggota DPR Aceh, tokoh ulama, dan seluruh peserta rapat menyatakan komitmen dan kesepakatan bersama untuk mendesak agar keputusan sepihak Kemendagri ditinjau ulang dan dibatalkan.

Baca Juga  Wagub Aceh Promosikan Kopi Gayo kepada Rombongan Menteri Besar Kelantan

Mereka juga meminta proses validasi ulang terhadap batas wilayah Aceh–Sumatera Utara dilakukan secara terbuka dan berbasis data historis serta teknis yang objektif, serta meminta keempat pulau tersebut dikembalikan ke dalam wilayah administrasi Aceh sebagaimana mestinya.

Revisi UUPA Harus Pertahankan Kekhususan Aceh

Selain isu tapal batas, Gubernur Muzakir Manaf juga membahas rencana revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Ia meminta agar setiap perubahan terhadap UUPA tetap berpijak pada semangat MoU Helsinki tahun 2005, yang menjadi dasar hukum perdamaian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.

“Kita perlu memastikan agar setiap perubahan tetap merujuk pada semangat MoU Helsinki 2005 dan memperkuat kekhususan Aceh, bukan justru menguranginya,” ujar Mualem.

Gubernur juga menyerukan agar para anggota FORBES DPR/DPD asal Aceh bersatu suara dalam mengawal proses revisi UUPA agar tidak menyimpang dari kesepakatan damai yang sudah diakui secara nasional dan internasional. Seluruh peserta menyatakan sepakat untuk bersama-sama mendukung dan mengawal proses revisi UUPA hingga tuntas. []

Example 120x600