Oleh: Akbar Rafsanjani*
Ada sesuatu yang tidak pernah selesai dalam “Cairo Station” (Bab el Hadid), baik pada tataran cerita maupun sejarahnya. Film ini berakhir dengan tubuh yang mati dan mimpi yang kandas, juga dengan rasa getir bahwa janji-janji modernitas Mesir yang diagungkan setelah revolusi 1952 telah berubah menjadi kegelisahan sosial yang tidak tertata. Bagi penonton hari ini, karya Youssef Chahine ini terasa seperti potret dini dari kontradiksi yang terus menghantui dunia Arab. Antara harapan revolusi dan realitas yang menindas.
Ketika film ini dirilis pada tahun 1958, publik Mesir menolaknya. Ia disebut sebagai “kegagalan terbesar” dalam sejarah sinema Mesir. Terlalu kelam, terlalu berani, dan terlalu jujur untuk zaman yang masih mabuk oleh euforia revolusi. Namun, seiring waktu, “Cairo Station” diakui sebagai mahakarya Chahine. Film yang bukan hanya mengubah arah sinema Mesir, tetapi juga menandai kematangan seorang sutradara yang berani melihat bangsanya dari jarak yang menyakitkan.
Setting film di stasiun kereta Kairo adalah dunia kecil yang mencerminkan seluruh Mesir. Para buruh, pedagang informal, perempuan penjual minuman, musisi, polisi, hingga pengangguran dan pemimpi. Di tengah hiruk-pikuk itu, berdirilah tokoh utama, Kenawi (diperankan oleh Chahine sendiri), seorang pemuda pincang yang bekerja sebagai penjual koran. Ia jatuh cinta pada Hanuma (Hind Rostom), penjual minuman yang atraktif dan menggoda, yang juga menjadi kekasih dari Abu Siri (Farid Shawqi), seorang buruh pengangkut peti yang karismatik dan kuat.
Di tangan Chahine, kisah ini tidak pernah menjadi melodrama cinta segitiga yang biasa. Kenawi adalah representasi dari kelas sosial yang tersingkir dan kehilangan akses terhadap seks, cinta, dan harga diri. Ia menatap dunia dengan mata haus dan penuh ketakutan. Ia memuja Hanuma, tetapi juga ingin memilikinya, menghancurkannya, dan akhirnya membunuhnya. Dalam dirinya, Chahine menyusun potret kompleks dari pria Mesir pasca-revolusi yang terpinggirkan, terobsesi, namun tetap dipenuhi fantasi tentang cinta dan kemuliaan.
Salah satu gagasan paling radikal dalam “Cairo Station” adalah bagaimana Chahine menghubungkan seksualitas dengan kelas sosial. Akses terhadap seks, dan bahkan terhadap cinta, tergantung pada posisi ekonomi dan bentuk maskulinitas yang diakui masyarakat. Hanuma, dengan tubuhnya yang energik, menjadi medan pertarungan antara hasrat dan moralitas, antara yang proletar dan yang ideal. Ia menginginkan kehidupan yang layak dan penuh cinta, tetapi tubuhnya menjadi simbol sekaligus alat perlawanan terhadap norma sosial yang menindas perempuan.
Yang menarik, Chahine menolak untuk memfilmkan tubuh perempuan dengan cara yang objektif atau fetisistik. Ia jarang menggunakan close-up erotik. Hanuma lebih sering ditampilkan dalam long shot, sehingga yang tampak adalah energinya seperti gerak tubuh, tawa, dan kebebasannya di antara kerumunan stasiun. Kamera Chahine menatapnya bukan
dengan tatapan predatoris, melainkan dengan campuran kekaguman dan simpati. Dalam hal ini, “Cairo Station” sudah mendahului kritik feminis terhadap pandangan laki-laki (male gaze) yang baru muncul secara teoritis dua dekade kemudian.
Para kritikus Barat sering menyebut “Cairo Station” sebagai karya realisme sosial Mesir, terpengaruh oleh neorealisme Italia. Tapi ini adalah simplifikasi. Chahine memang memotret realitas jalanan Mesir dengan kamera yang gelisah, dinamis, dan penuh improvisasi. Namun, film ini melampaui dokumentasi kehidupan buruh. Ia memasuki ranah psikoanalitik dan simbolik yang jarang disentuh sinema Mesir pada masa itu. Adegan-adegan fantasi dan mimpi buruk Kenawi, misalnya, mengaburkan batas antara dunia nyata dan imajinasi patologis.
Kita bisa melihat di sini pengaruh ekspresionisme dan noir. Bayangan tajam, tatapan obsesif, dan atmosfer menekan. Tapi dibalik itu semua, film tetap memiliki akar sosial yang kuat. Stasiun kereta menjadi mikrokosmos dari Mesir modern, tempat di mana orang-orang datang dan pergi tanpa arah, di mana arus modernitas (kereta, musik barat, industrialisasi) bertemu dengan tradisi dan kemiskinan yang membatu. Dalam satu gambar paling simbolik, Kenawi berdiri di bawah patung Ramses II, bayang-bayang kejayaan masa lalu yang menjulang tinggi di atas manusia kecil yang tersesat di masa kini.
Kini patung itu sudah tidak ada lagi di stasiun. Ia dipindahkan ke museum. Sebuah metafora yang makin ironis bahkan sisa-sisa kebesaran sejarah Mesir kini telah diasingkan dari kehidupan sehari-hari rakyatnya.
Ironisnya, film yang kini dianggap salah satu film Arab terbesar sepanjang masa adalah film yang nyaris mengakhiri karier Chahine. Saat rilis, “Cairo Station” ditolak mentah-mentah oleh penonton. Mereka marah melihat Farid Shawqi, bintang laga paling populer kala itu, memerankan buruh yang lemah lembut dan penuh keraguan. Mereka jijik melihat Chahine memainkan tokoh cacat yang terobsesi secara seksual pada perempuan. Bahkan ada cerita bahwa Chahine diludahi di jalan oleh penonton.
Namun, film tersebut kemudian diterima dengan hangat di Eropa. Ketika diputar di Festival Film Berlin, “Cairo Station” mendapat sambutan yang luar biasa, meski gagal meraih penghargaan karena juri mengira Chahine benar-benar cacat. Baru pada tahun 1970-an, ketika ditayangkan di televisi Mesir, generasi baru penonton dan kritikus mulai melihat film ini sebagai karya visioner. Sebuah potret dini tentang kehancuran mimpi revolusi dan munculnya kesadaran kelas yang pahit.
Salah satu alasan utama mengapa film ini begitu mengguncang adalah keberaniannya menampilkan sisi gelap dari masyarakat pasca-revolusi. Pada masa itu, sinema Mesir didominasi oleh film-film nasionalis yang penuh optimisme terhadap pemerintahan Gamal Abdel Nasser. Film seperti “Rodd Qalbi” (1957) menampilkan revolusi sebagai kisah cinta dan pembebasan. “Cairo Station”, sebaliknya, menunjukkan Mesir yang murung, penuh kekerasan, dan kehilangan arah moral.
Chahine berani menampilkan buruh-buruh yang tidak heroik. Mereka adalah manusia biasa dengan kelemahan dan amarahnya. Ia juga memperlihatkan represi seksual sebagai bentuk represi politik, bagaimana masyarakat menolak mengakui keinginan, baik keinginan tubuh
maupun keinginan kebebasan. Tidak heran jika film ini sempat mendapat peringatan dari keamanan nasional karena “terlalu simpatik terhadap kaum pekerja”.
Secara teknis, “Cairo Station” adalah eksplorasi sinematik yang luar biasa untuk ukuran sinema Mesir 1950-an. Chahine bekerja dengan sinematografer Elvi Sorfaneli, yang berlatar dokumenter. Hasilnya adalah kamera yang hidup dan bergerak bebas, mengalir mengikuti tubuh-tubuh para buruh dan pedagang di stasiun. Ada semacam koreografi spontan yang memperlihatkan rasa kebersamaan, juga kekacauan sosial.
Film ini memiliki beberapa adegan yang hampir tanpa dialog, di mana bahasa tubuh dan pandangan menggantikan kata-kata. Salah satunya adalah saat Kenawi menatap Hanuma dari kejauhan, diiringi band musik bergaya Barat. Dalam diam, film itu memunculkan emosi yang melompat dari ejekan, iba, hingga ekstasi. Di sinilah Chahine menegaskan dirinya sebagai auteur, seseorang yang menggunakan sinema bukan sekadar untuk bercerita, tetapi untuk menelusuri kompleksitas manusia.
Salah satu lapisan menarik dari “Cairo Station” adalah ketegangan antara pengaruh Timur dan Barat. Baik dalam musik, gaya visual, maupun ideologinya. Skor musik Fuad al-Zahiri menggabungkan unsur orkestra Barat dengan melodi Arab, menciptakan nuansa yang hibrid, modern tapi masih sarat melankolia lokal. Ini bukan kebetulan. Chahine, yang belajar di Pasadena Playhouse di California, memang memiliki hubungan ambivalen dengan budaya Barat. Ia mengagumi Gene Kelly dan Hollywood musicals, sekaligus berusaha menegaskan identitas sinema Mesir yang “tidak bisa disebut apa pun selain Mesir.”
Keterbukaan ini menjelaskan mengapa “Cairo Station” terasa universal meski sangat lokal. Ia bicara tentang Mesir, tapi juga tentang dunia ketiga yang sedang berjuang dengan modernitas. Ia menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi tanpa keadilan sosial hanya akan melahirkan generasi yang terpinggirkan seperti Kenawi.
Menonton “Cairo Station” hari ini adalah melihat sejarah yang masih berdenyut. Film ini berbicara tentang sistem sosial yang menindas orang kecil, tentang perempuan yang dituntut untuk “dihukum” karena kebebasannya, dan tentang modernitas yang kehilangan jiwa. Tapi dibalik kegetiran itu, ada keberanian seorang pembuat film untuk tidak tunduk pada narasi resmi.
Chahine menciptakan film yang terlalu jujur untuk zamannya, tapi justru karena itu ia menjadi abadi. Dalam kereta yang terus melaju di akhir film, membawa tubuh-tubuh, mimpi, dan kebohongan yang belum selesai, “Cairo Station” masih berbicara kepada kita tentang cinta yang tak tersampaikan, tentang revolusi yang kehilangan arah, dan tentang manusia yang terus mencari tempatnya di tengah sejarah yang bergerak tanpa belas kasihan.[]

*Akbar Rafsanjani adalah kurator film, sekarang bermukim di Wisconsin, Amerika Serikat. Baca tulisan film lainnya di akun Letterboxd pribadinya: https://letterboxd.com/akbarrafs/films/reviews/
Editor: Ihan Nurdin












