Byklik | Banda Aceh–Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala (BEM FKH USK) menyoroti kebijakan pemerintah yang berencana mengimpor hingga 150.000 ekor sapi hidup sepanjang tahun 2025.
Kebijakan ini dinilai tidak tepat waktu dan berisiko tinggi, mengingat wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) masih aktif melanda 29 provinsi di Indonesia. Berdasarkan data hingga Desember 2024, sebanyak 14.630 ekor sapi dilaporkan terjangkit PMK, menandakan bahwa sistem pengendalian penyakit ternak nasional belum benar-benar stabil.
Kepala Departemen Kajian dan Strategi BEM FKH USK, Siti Fatimah Azahra, menjelaskan, di tengah situasi wabah yang belum sepenuhnya terkendali, kebijakan impor sapi dalam jumlah besar justru dikhawatirkan memperburuk penyebaran penyakit dan melemahkan daya saing peternak lokal. Impor sapi juga berpotensi menekan harga jual sapi lokal di pasar, membuat peternak kecil kehilangan pendapatan, serta mengganggu keseimbangan rantai pasok daging nasional.
“Selain itu, banjirnya sapi impor berisiko menyebabkan kelebihan stok atau oversupply, yang dapat membuat sapi hasil ternakan lokal sulit terserap pasar. Kondisi ini tidak hanya merugikan peternak, tetapi juga menciptakan distorsi harga yang tidak sehat di tingkat nasional,” katanya, Senin, 3 November 2025.
Pihaknya juga menilai bahwa arah kebijakan impor sapi saat ini mencerminkan ketergantungan jangka pendek terhadap pasar luar negeri. Padahal, Indonesia memiliki potensi besar dalam sektor peternakan, baik dari sisi populasi sapi lokal, ketersediaan lahan, maupun kapasitas sumber daya manusia. Sayangnya, potensi tersebut belum dimaksimalkan karena lemahnya dukungan kebijakan, keterbatasan teknologi peternakan, dan belum optimalnya sistem kesehatan hewan di tingkat nasional maupun daerah.
Fatimah Azahra menegaskan, langkah impor sapi di tengah wabah aktif bukanlah solusi jangka panjang, melainkan bentuk ketergantungan yang berisiko.
“Impor sapi di tengah wabah PMK bukan solusi jangka panjang, melainkan bentuk ketergantungan yang berisiko. Pemerintah seharusnya berpihak kepada peternak lokal dan memperkuat produksi dalam negeri,” tegasnya.
BEM FKH USK mendorong pemerintah untuk memprioritaskan penyelesaian wabah PMK secara menyeluruh melalui vaksinasi nasional, peningkatan biosekuriti, dan pengawasan lalu lintas ternak antar daerah. Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat posisi peternak lokal melalui pendampingan teknis, peningkatan mutu bibit, dan akses pembiayaan yang lebih inklusif. Dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia dapat memperkuat produksi sapi lokal tanpa harus bergantung secara berlebihan pada impor.
Langkah cepat melalui impor sapi mungkin terlihat menguntungkan dalam jangka pendek, terutama untuk menekan harga daging di pasar, namun jika tidak dibarengi dengan pengendalian penyakit dan pemberdayaan peternak lokal, kebijakan ini justru akan meninggalkan dampak negatif yang panjang. Ketika peternak kecil terus terdesak dan produksi lokal melemah, kemandirian pangan nasional pun akan semakin sulit dicapai.
Indonesia dinilai tidak kekurangan sapi—yang kurang adalah komitmen untuk memperkuat peternak sendiri. Pemerintah perlu mengubah arah kebijakan dari ketergantungan pada impor menuju penguatan sistem peternakan nasional yang sehat, berdaya saing, dan berdaulat.
“Pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan impor sapi dan memastikan setiap langkah yang diambil berpihak kepada peternak lokal serta keselamatan ekosistem peternakan nasional. Karena hanya dengan memperkuat sektor dalam negeri, Indonesia dapat membangun kemandirian pangan yang sejati dan berkelanjutan,” kata Fatimah.[]












