Fatherless atau absennya figur ayah dalam proses tumbuh kembang anak saat ini sedang menjadi isu yang mulai sering dibicarakan. Hasil riset menunjukkan, fatherless dapat memunculkan masalah emosional hingga persoalan identitas diri bagi sang anak. Sebaliknya, anak bisa menemukan potensi dirinya sejak awal jika kedekatannya dengan sang ayah terjalin dengan baik dan akrab. Setidaknya, itulah yang terjadi pada Rahmat Aulia, putra kelahiran Montasik, Aceh Besar, yang kini dipercayakan untuk menakhodai Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Aceh.
Sejak kecil, Rahmat punya kebiasan menonton televisi bersama almarhum ayahnya, khususnya menonton berita. Ia suka membaca running text di layar televisi. Dari sinilah timbul pertanyaan-pertanyaan kepada ayahnya. Komunikasi dua arah antara ayah dan anak terjalin.
“Dari sini pula kemampuan membaca saya tumbuh,” katanya, Jumat, 10 Oktober 2025.
Saat duduk di bangku SMP pada tahun 2007, minat membacanya semakin besar. Ia mulai terakses dengan buku-buku yang ada di perpustakaan sekolah. Buku-buku yang disukainya, seperti antologi cerpen dari puisi kerap ia pinjam untuk dibawa pulang. Semua jenis buku yang ditulis oleh berbagai pengarang ia lahap. Dengan koleksi perpustakaan yang terbatas saat itu, semua buku menjadi menarik.
Tamat SMP, Rahmat melanjutkan pendidikannya ke MAN Model Banda Aceh. Aksesnya ke buku semakin terbuka lebar, ia bahkan kerap mengunjungi berbagai toko buku yang ada di Banda Aceh. Mengunjungi toko buku salah satu sumber kebahagiaan baginya karena bisa menemukan buku-buku dengan genre yang berbeda.
“Saya favoritkan Habiburrahman El Shirazy kalau untuk penulis Indonesia,” kata Rahmat.
Pada tahun 2014, Rahmat bergabung dengan FLP, salah satu komunitas penulis terbesar di Indonesia yang lahir di puncak milenium kedua. Sepuluh tahun kemudian, Rahmat dipercayakan untuk menakhodai forum tersebut di Aceh. Setelah sebelumnya ia lebih dulu memimpin FLP Kota Banda Aceh.
Keterampilan menulis mulai ia dapatkan sejak bergabung di FLP. Tak hanya itu, ia juga mulai berjejaring dengan para penulis di Aceh. Menemukan teman-teman sefrekuensi membuat semangatnya dalam menulis semakin terpacu. Di awal-awal meniti karier kepenulisan, ia lebih suka menulis puisi.
Namun, seiring dengan populernya blog yang berbasis internet, Rahmat pun menekuni aktivitas sebagai bloger. Puncaknya, ia terpilih sebagai salah satu bloger di Indonesia untuk mengikuti event promosi pariwisata yang dibuat oleh Pemerintah Malaysia pada tahun 2017. Jadilah selama seminggu ia berada di negeri jira itu, mengunjungi berbagai spot menarik untuk nantinya ia tuliskan di dalam blog. Semua kegiatan itu dibiayai secara penuh atau fully funded oleh Pemerintah Malaysia. Membuatnya semakin yakin bahwa profesi sebagai penulis—jika ditekuni secara serius—juga memiliki peluang besar.
Tak hanya di blog, tulisan-tulisannya juga ada yang berbentuk buku, seperti yang termuat dalam antologi Seurungkeng. Antologi ini memuat karya-karya santri di Aceh tentang dunia pesantren dan segala dinamikanya. Karyanya juga termuat dalam antologi tentang kearifan lokal hasil kegiatan Inkubator Literasi Penulis Nasional (IPLN) Wilayah Aceh.
“Di sini saya menulis tentang hukum adat yang ada di Aceh. Ada juga tulisan saya tentang perjalanan menuju makam Teuku Umar yang termuat dalam antologi yang lain,” ujarnya.
Baru-baru ini, ia baru saja menelurkan buku cerita anak yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Aceh. Buku berjudul Fikri dan Tambang Emas Geurudong tersebut berkisah tentang Fikri, seorang anak yang terpaksa putus sekolah demi membantu ayahnya menjadi penambang ilegal. Namun, setelah tambang tutup karena memakan korban, Fikri memutuskan untuk sekolah kembali demi meraih cita-citanya.
Dari sekian banyak tulisan yang sudah dihasilkannya, ada satu karya yang sangat memorable bagi Rahmat. Beberapa tahun lalu ia pernah menuliskan artikel tentang Nyak Sandang, seorang warga Aceh yang telah berjasa dalam pembelian pesawat Seulawah RI-001. Pesawat pertama yang dipunyai oleh Republik Indonesia di awal-awal kemerdekaan. Nyak Sandang adalah salah satu penyumbang melalui pembelian surat obligasi yang diterbitkan pemerintah saat itu.
“Tulisan ini viral dan heboh satu Indonesia yang berujung pada diundangnya Nyak Sandang ke Istana Negara,” kata Rahmat.
Hal-hal semacam itu yang membuat Rahmat semakin konsisten menekuni jalan sebagai penulis. Dua tahun terakhir ini ia cenderung mengangkat tema-tema lokal untuk ditulis. Menurutnya, pernak-pernik budaya dan adat istiadat Aceh yang kaya perlu terus ditulis agar lebih banyak diketahui orang. Bagi Rahmat, menulis lebih dari sekadar menargetkan keuntungan finansial. Aktivitas ini bisa menjadi “terapi” yang ampuh untuk mengurangi beban yang bersemayam di jiwa. Melalui tulisan ia lebih leluasa mengungkapkan isi hati dan pikiran.
“Jujur, seringnya saya lebih suka menanggapi sesuatu isu atau persoalan dengan menulis. Jadi, saya bisa ‘memengaruhi’ orang-orang melalui tulisan saya,” kata alumnus FISIP Universitas Syiah Kuala ini.
Dibandingkan fiksi, ia lebih suka menulis nonfiksi, seperti artikel, feature, atau opini. Menulis fiksi menurutnya terasa lebih berat dan menantang karena ada hal-hal yang tak boleh diabaikan seperti alur, plot, penokohan, dan lain-lain yang dikenal sebagai unsur-unsur intrinsik. Namun, ia juga pernah mendapat “kejutan”, ketika salah seorang anak SMA yang ia bimbing menulis cerpen justru terpilih mewakili Aceh untuk lomba tingkat nasional di lomba festival literasi tahun ini.
“Ke depan sepertinya saya bisa juga nih fokus menulis cerpen,” ujarnya.
Sebagai penulis profesional, ia dituntut untuk bisa menulis kapan saja, tetapi waktu-waktu favoritnya adalah di malam hari, di atas pukul sepuluh malam, setelah membereskan semua rutinitas. Atau, di pagi hari sebelum memulai aktivitas harian. Untuk saat ini, bersama tiga rekannya, Rahmat dipercayakan oleh sebuah perusahaan migas di Aceh untuk mendokumentasikan perjalanan perusahaan tersebut di Aceh dalam bentuk buku yang dijadwalkan rilis akhir tahun ini.

Konsistensinya dalam dunia tulis-menulis telah menghadirkan sejumlah prestasi bagi Rahmat. Ia pernah memperoleh Juara I Kompetisi Film Pendek Islami oleh Kemenag Aceh dengan judul “Rumoh Adat Aceh – Simbol Kearifan Lokal Yang Sarat Nilai Keislaman.” Namanya juga tercantum dalam antologi Melancong di Tanah Rencong yang diterbitkan oleh Perpusnas Pres. Pernah juga terpilih sebagai salah satu penulis Buku Konten Lokal yang diterbitkan oleh Dinas Arsip dan Perpustakaan Provinsi Aceh.
Selain itu, Rahmat juga kerap terlibat dalam berbagai kegiatan literasi, baik sebagai peserta, fasilitator, sebagai mentor, hingga menjadi narasumber.
Sebagai salah satu putra Aceh yang bergiat di dunia literasi, Rahmat menyimpan secuil harapan kepada para pemangku kebijakan. Program-program yang dilahirkan oleh pemerintah harus lebih banyak menyentuh hajat hidup orang banyak, terutama yang berkaitan dengan peningkatan literasi. Perpustakaan harus hadir di lokasi-lokasi yang strategis agar bisa dijangkau dengan mudah oleh masyarakat.
“Cobalah anggarannya difokuskan untuk mencerdaskan anak bangsa dengan menghadirkan perpustakaan di tempat-tempat strategis. Karena mustahil bagi seorang penulis menghasilkan karya bagus tanpa dibarengi dengan aktivitas membaca,” kata mantan ketua Ikatan Pemuda dan Pelajar Montasik ini.
Saat ini Rahmat punya kesibukan sebagai salah satu pengajar aktif di Dayah Ulee Titi, Aceh Besar. Ia juga merintis usaha floris dan berjualan roti bakar, kebab, dan burger.
Ia juga punya pesan bagi anak-anak muda Aceh, seperti tidak membuang waktu pada hal-hal yang tidak produktif. Mereka harus melatih keterampilannya sejak muda sebagai bekal hidup kelak. Harus diakui bahwa hidup di Aceh dengan peluang kerja yang sempit menjadi tantangan tersendiri.
“Jadi, latihlah skill sedini mungkin. Temukan passion mulai sekarang. Jangan buang-buang waktu, we can always make more money, but we can never make more time. Satu lagi, jangan lupa mengaji, ikut kajian-kajian di dayah. Saya termasuk orang yang menemukan ketenangan dengan mengaji,” kata Rahmat.[]