Byklik | Banda Aceh—Anggota Komisi III DPR RI asal Aceh, Nasir Djamil, menyoroti persoalan tambang ilegal yang marak di berbagai daerah di Aceh. Ia menyebut persoalan ini tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan, tetapi juga menciptakan aliran “uang hitam” yang menggerus hak masyarakat dan mengganggu distribusi bahan bakar minyak (BBM).
Hal itu disampaikan Nasir dalam diskusi publik bertajuk “Mengurai Benang Kusut Tambang Ilegal, Uang Hitam, dan Solusinya” yang diselenggarakan oleh Aceh Bergerak, Forum Jurnalis Lingkungan (FJL), dan Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina) di Hoco Coffee, Lambhuk, Banda Aceh, Selasa, 7 Oktober 2025.
Menurut Nasir, isu tambang ilegal di Aceh kembali mencuat setelah temuan Panitia Khusus (Pansus) Mineral dan Batubara (Minerba) serta Minyak dan Gas (Migas) Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tentang aktivitas pertambangan tanpa izin beredar luas di media sosial dan diberitakan oleh media arus utama.
“Diskusi ini menurut saya adalah turunan dari temuan Pansus DPRA. Sayangnya, ketua atau anggota Pansus belum bisa hadir, padahal kita ingin tahu data sebenarnya—siapa pemilik alat berat itu, berapa tarif yang berlaku, dan bagaimana peredaran uangnya,” ujarnya.
Nasir menilai, tambang ilegal bukan hanya soal kerusakan alam, tetapi juga berimplikasi pada distribusi solar bersubsidi, yang banyak bocor ke aktivitas pertambangan tanpa izin. “Akibatnya, SPBU jadi antrean panjang, sementara masyarakat yang membutuhkan solar justru sulit mendapatkannya,” ujarnya.
Politikus PKS itu menegaskan bahwa pengawasan publik dan partisipasi masyarakat penting untuk memastikan kebijakan pemerintah berjalan di jalur yang benar. Ia menilai, aksi unjuk rasa dan kritik publik adalah bagian dari kontrol rakyat terhadap kekuasaan, bukan bentuk permusuhan kepada pemerintah.
“Demonstrasi itu baik. Itu cara rakyat mengoreksi keputusan yang berdampak besar terhadap hajat hidup banyak orang,” tegasnya.
Dalam diskusi tersebut, Nasir juga menyinggung kontradiksi antara kekayaan sumber daya alam Aceh dan tingkat kemiskinan di delapan kabupaten termiskin di Aceh, di antaranya Aceh Singkil, Pidie, Aceh Barat, Gayo Lues, Bener Meriah, dan Aceh Selatan. Ia mengungkapkan, temuan di lapangan menunjukkan ratusan alat berat beroperasi di wilayah-wilayah yang terdapat aktivitas pertambangan tanpa izin resmi.
“Ada data yang menyebut lebih dari 800 unit alat berat bekerja di tambang tanpa izin. Keuntungan dari situ hanya dinikmati segelintir orang,” katanya.
Nasir mengingatkan agar praktik pertambangan ilegal tidak menjadikan Indonesia sebagai negara “predatory state”—istilah yang ia gunakan untuk menggambarkan lemahnya penegakan hukum yang sering berhenti pada pelaku kecil, sementara aktor besar di balik layar luput dari jeratan hukum.
“Masalah tambang ilegal ini bukan hanya terjadi di Aceh, tapi di hampir semua provinsi di Indonesia. Ini pekerjaan rumah nasional. Presiden bahkan sudah memberi instruksi agar aktivitas pertambangan tanpa izin ditertibkan, karena semua pihak sebenarnya tahu siapa di baliknya,” ujarnya.
Ia juga menilai, penyelesaian masalah tambang tidak cukup dengan penindakan hukum. Pemerintah, kata Nasir, perlu memberikan alternatif ekonomi dan edukasi bagi masyarakat yang menggantungkan hidup pada sektor tambang. “Kita tidak bisa hanya menutup tambang ilegal tanpa menyiapkan solusi bagi rakyat. Mereka perlu dibimbing agar bisa bekerja secara legal dan berkelanjutan,” pungkasnya.[]