ByKlik.com | Lhoksukon — Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Aceh Utara melayangkan kritik keras terhadap pemerintah atas lambannya penyelesaian proyek Bendungan Krueng Pase yang hingga kini tak kunjung rampung. Wakil Ketua HKTI Aceh Utara, Rasyidin, menilai kondisi ini telah membuat ribuan petani terabaikan dan menanggung kerugian besar setiap musim tanam.
“Setiap musim tanam, ribuan petani di wilayah Krueng Pase menanggung derita. Sawah kering, hasil panen merosot, dan beban hidup makin berat. Sementara proyek bendungan yang dijanjikan bertahun-tahun tidak kunjung tuntas. Ini bukan sekadar soal teknis, ini soal nyawa petani dan masa depan pangan Aceh,” ungkap Rasyidin kepada ByKlik, Selasa (30/9/2025).
Menurutnya, pembangunan bendungan seharusnya menjadi prioritas, mengingat perannya yang vital sebagai sumber irigasi dan penopang ketahanan pangan daerah. Ia menuding kelambanan tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap petani.
“Pemerintah pusat selalu bicara soal swasembada pangan, tapi di lapangan petani diperlakukan seperti tak penting. Bagaimana mau bicara kedaulatan pangan kalau irigasi dasar saja dibiarkan terbengkalai?” kata Rasyidin dengan nada geram.
“Negara seakan hanya hadir ketika musim pemilu tiba, tapi saat rakyat menjerit karena gagal panen, semua diam seribu bahasa. HKTI mendesak pemerintah pusat dan daerah segera mencari solusi konkret,” tambahnya.
Kritikan serupa datang dari akademisi Universitas Malikussaleh (Unimal), Nazaruddin. Menurutnya, mangkraknya Bendungan Krueng Pase bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan cerminan ketidakadilan struktural yang menempatkan Aceh sebagai “daerah pinggiran” dalam pembangunan nasional.
“Selama puluhan tahun Aceh menyumbang kekayaan alam untuk APBN, tapi irigasi dasar bagi petani saja dibiarkan terbengkalai. Ini pola kolonial: daerah hanya jadi penyuplai bahan baku, tanpa pernah ditempatkan sebagai subjek pembangunan yang berdaulat,” ujar putra Kecamatan Samudera, Aceh Utara, itu.
Nazaruddin bahkan membandingkan proyek tersebut dengan pembangunan di Jawa, menyoroti disparitas alokasi dana. “Pemerintah pusat bisa menggelontorkan Rp1.280 triliun untuk Giant Sea Wall di Pantura Jawa, sementara Bendungan senilai Rp44 miliar di Aceh mangkrak bertahun-tahun. Di mana letak keadilan itu?” tegas dosen FISIP Unimal ini.
Ia menilai lambannya penyelesaian proyek Bendungan Krueng Pase memperlihatkan bahwa nasib petani Aceh belum dianggap genting dalam kebijakan nasional.
“Jika tidak ada intervensi serius dari kepemimpinan nasional, bendungan ini akan berdiri sebagai monumen kegagalan negara mengakhiri kolonialisme ekonomi, sekaligus mengubur harapan petani Aceh untuk mendapat keadilan pembangunan,” pungkas Nazaruddin. []