Berita Utama

Suara Perempuan Aceh di Dua Dekade Usia Perdamaian

×

Suara Perempuan Aceh di Dua Dekade Usia Perdamaian

Sebarkan artikel ini
Dewan Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh periode 2024--2029: Ani Darliyani, Rukiyah Hanum, Rasyidah, Amrina Habibi, dan Asmawati usai terpilih dan dikukuhkan dalam Duek Pakat Inong Aceh V pada 31 Oktober 2024. Foto: Ihan Nurdin

Byklik | Banda Aceh–Balai Syura Ureung Inong Aceh bekerja sama dengan Komnas Perempuan menggelar webinar bertajuk “Suara Perempuan yang Terpinggirkan: Memaknai dan Merawat 20 Tahun Perdamaian Aceh”. Webinar ini untuk memperingati 20 tahun damai Aceh sekaligus 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Berlangsung secara daring pada Selasa, 19 Agustus 2025.

Ketua Dewan Presidium Balai Syura, Rasyidah, dalam sambutannya menyampaikan, memasuki usia dua dekade perdamaian Aceh, masih terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi oleh rakyat Aceh, khususnya perempuan. Misalnya, isu-isu yang berkaitan dengan kemiskinan, kekerasan terhadap perempuan, hingga kebencanaan.

“Melalui kegiatan ini kita ingin merefleksikan perjalanan dua dekade perdamaian Aceh, mengidentifikasi capaian dan tantangan yang masih dihadapi, serta memperkuat suara perempuan yang selama ini terpinggirkan dalam proses pembangunan pascakonflik,” kata Rasyidah yang juga dosen UIN Ar-Raniry itu.

Lebih lanjut ia mengatakan, tahun 2025 menjadi tonggak bersejarah bagi Aceh yaitu dua dekade sejak penandatanganan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Kesepakatan ini mengakhiri hampir 30 tahun konflik bersenjata yang membawa dampak sosial, ekonomi, dan kemanusiaan yang besar.

MoU memuat komitmen penting, antara lain penghentian kekerasan, penarikan pasukan nonorganik, amnesti dan reintegrasi mantan kombatan, komitmen pemenuhan Hak Asasi Manusia, pemulihan hak-hak korban, serta penerapan otonomi khusus sebagai landasan tata kelola baru Aceh.

Selama 20 tahun terakhir, masyarakat Aceh menikmati kehidupan tanpa konflik bersenjata, ruang demokrasi lebih terbuka, dan sejumlah kebijakan otonomi khusus telah dijalankan.

“Namun, tidak semua butir MoU terealisasi optimal. Proses reintegrasi mantan kombatan belum tuntas, kesenjangan ekonomi tetap terasa, dan pemenuhan hak korban konflik, khususnya perempuan, belum berjalan adil dan menyeluruh. Sebagian kebijakan lokal pascadamai masih bias gender, bahkan membatasi hak-hak perempuan,” katanya.

Baca Juga  FK-MPR Kota Lhokseumawe Gelar Halalbihalal

Bagi perempuan Aceh, dua dekade damai adalah momen refleksi yang tidak hanya mengajak mengingat sejarah dan merayakan capaian, tetapi juga menelaah hambatan dan tantang yang masih ada, serta merumuskan langkah untuk memperkuat keberlanjutan perdamaian dan kertelibatan peran penting perempuan.

Bukan Hanya Berakhirnya Kekerasan Bersenjata

Perdamaian idealnya dipahami bukan sekadar berakhirnya kekerasan bersenjata, melainkan proses dinamis yang harus dirawat melalui keadilan, partisipasi, dan inklusivitas. Dua puluh tahun pengalaman membuktikan bahwa keterlibatan aktif masyarakat sipil, termasuk di dalamnya peran perempuan bukan hanya elite politik atau eks-kombatan, menjadi kunci keberlanjutan perdamaian.

Di sisi lain, struktur politik dan sosial pascadamai sebagian besar masih didominasi laki-laki, terutama mereka yang memiliki latar belakang militer atau politik, sehingga perempuan kerap terpinggirkan dalam pengambilan keputusan di berbagai tingkatan. Padahal, pengalaman dan perspektif perempuan sangat penting untuk melahirkan kebijakan yang adil dan inklusif.

Tanpa keadilan sosial dan kesetaraan gender, perdamaian akan rapuh dan berpotensi melahirkan bentuk-bentuk kekerasan baru, termasuk kekerasan struktural yang tidak kasat mata.

“Mengabaikan suara dan pengalaman perempuan berarti menafikan setengah kekuatan Aceh yang berperan menjaga harmoni sosial, memperkuat ketahanan keluarga, dan membangun kembali komunitas pascakonflik,” kata Rasyidah.

MoU Helsinki telah membuka ruang sipil baru yang sebelumnya nyaris tertutup bagi perempuan Aceh. Sebelum kesepakatan damai, pengawasan militer, ancaman kekerasan, dan situasi keamanan yang mencekam membatasi partisipasi mereka di ruang publik. Setelah MoU, kebebasan berserikat dan mengakses informasi mulai terwujud, peluang politik mulai terbuka, dan mandat untuk rekonsiliasi serta pemulihan korban menjadi bagian dari agenda resmi perdamaian.

Momen ini seharusnya menjadi titik balik pengakuan atas penderitaan perempuan korban konflik serta perjuangan untuk hak-hak mereka dalam pemulihan ekonomi, sosial, dan psikologis. Namun, kesempatan yang lahir belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk memperkuat posisi perempuan. Banyak kebijakan lokal pascaperdamaian masih bias gender, bahkan membatasi hak atas nama moralitas atau agama. Karena itu, keterlibatan penuh perempuan dalam setiap pengambilan keputusan menjadi syarat mutlak agar kebijakan benar-benar mencerminkan kebutuhan seluruh warga Aceh, bukan hanya sebagian kelompok.

Baca Juga  Raih WTP ke-10, Wagub: Ini Buah Komitmen Tata Kelola Pemerintahan yang Baik

Karena itu, Balai Syura Ureung Inong sebagai lokomotif gerakan perempuan Aceh memandang penting mendorong partisipasi perempuan dalam mengawal pelaksanaan MoU Helsinki melalui inisiatif Webinar 20

Tahun Damai Aceh yang menjadi ruang diskusi terbuka lintas pemangku kepentingan, sarana edukasi generasi muda, pengingat sejarah, sekaligus advokasi agar isu-isu penting yang belum terselesaikan tidak tenggelam dalam narasi besar perdamaian. Salah satu fokus utama adalah memastikan posisi perempuan diakui dan diperkuat dalam proses pascakonflik, mengingat perempuan Aceh merupakan kelompok yang paling terdampak saat konflik bersenjata, mengalami kekerasan fisik, psikologis, dan seksual, kehilangan keluarga serta sumber penghidupan, namun pemulihan dan pengakuan yang layak masih jauh dari terpenuhi.

Dengan komitmen pada keadilan, kemanusiaan, dan kearifan lokal Aceh, Balai Syura menghadirkan ruang dialog inklusif yang memberi tempat bagi perempuan, terutama yang terpinggirkan, untuk bersuara, mengangkat isu-isu yang kerap diabaikan, melestarikan memori kolektif, dan mencegah terulangnya ketidakadilan.

Webinar ini menghadirkan sejumlah narasumber, yaitu Roslita (representatif dari korban konflik dari Aceh Selatan), Siti Hajar (eks kombatan dari Simeulue), Masariani (perempuan kelompok minoritas dari Singkil), Narsiah (perempuan di wilayah terpencil Pulo Aceh-Aceh Besar), dan Erlinda (perwakilan kelompok  disabilitas).

Selain itu, juga ada penanggap dari Komnas Perempuan, Kementerian Dalam Negeri, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh, serta Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah. Webinar ini diikuti lebih dari 150 peserta dari berbagai unsur masyarakat, baik di tingkat Aceh maupun nasional.[]

Example 120x600