Editorial

Memaknai Idulfitri

Avatar
×

Memaknai Idulfitri

Sebarkan artikel ini
Sumber: pixabay.com

Masyarakat muslim Indonesia, termasuk di Aceh, merayakan Idulfitri 1446 H pada Ahad, 31 Maret 2025. Namun ada juga yang sudah merayakan Idulfitri yang berbeda dengan ketetapan pemerintah. Tidak menjadi masalah.

Hari raya Idulfitri sering dimaknai sebagai hari kemenangan setelah umat Islam berpuasa selama sebulan penuh. Padahal, Idulfitri bukan sekadar perayaan kemenangan setelah sebulan penuh menahan lapar, dahaga, dan hawa nafsu.

Lebih dari itu, Idulfitri adalah momentum untuk menjadi pribadi yang baru—jiwa yang lebih bersih, hati yang lebih lapang, serta perilaku yang lebih baik. Dalam makna yang lebih dalam, Idulfitri mengajak kita untuk kembali ke fitrah, ke keadaan suci sebagaimana kita dilahirkan.

Selama bulan Ramadan, kita telah menjalani latihan spiritual yang intens. Kita belajar menahan diri, bersabar, dan memperbanyak ibadah. Kita juga didorong untuk lebih peduli terhadap sesama, baik melalui zakat maupun berbagai bentuk kebaikan lainnya. Jika selama sebulan penuh kita telah berusaha memperbaiki diri, maka Hari Fitri adalah kesempatan untuk meneguhkan perubahan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Mulai hari ini dan seterusnya.

Baca Juga  Sentimen Negatif IHSG Setelah Pengesahan RUU TNI

Namun, perubahan tidak cukup hanya menjadi wacana atau sekadar euforia sesaat. Sering kali, setelah Ramadan berlalu, kebiasaan baik yang telah dibangun perlahan-lahan mengendur. Semangat berbagi berkurang, kesabaran menipis, dan kembali pada pola lama yang kurang baik. Oleh karena itu, menjadi orang baru di Hari Fitri berarti berkomitmen untuk menjadikan nilai-nilai kebaikan sebagai bagian permanen dalam hidup kita.

Salah satu langkah awal adalah dengan memaafkan dan meminta maaf dengan tulus. Idulfitri identik dengan saling memaafkan, baik kepada keluarga, sahabat, maupun orang-orang yang mungkin pernah kita sakiti, disengaja atau tidak. Dengan memaafkan, kita tidak hanya membebaskan orang lain dari kesalahan, tetapi juga membebaskan diri sendiri dari beban emosi yang menghambat ketenangan jiwa.

Selain itu, refleksi diri juga menjadi kunci penting. Apa yang sudah kita perbaiki selama Ramadan? Apa yang masih perlu ditingkatkan? Menjadi orang baru berarti memiliki tekad untuk terus memperbaiki diri, bukan hanya dalam urusan ibadah, tetapi juga dalam sikap dan hubungan sosial. Apakah kita sudah lebih sabar? Lebih jujur? Lebih empati terhadap sesama?

Baca Juga  Antisipasi Gangguan Kamtibmas, Polsek Blang Mangat Insentifkan Patroli

Akhirnya, Idulfitri harus menjadi titik tolak untuk kehidupan yang lebih baik. Bukan sekadar berganti pakaian baru, tetapi juga memperbarui hati dan pikiran. Hari Fitri mengajarkan bahwa setiap manusia selalu memiliki kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik, selama ada kemauan dan kesadaran untuk terus memperbaiki diri.

Maka, mari kita jadikan Hari Fitri ini sebagai awal yang baru. Mari kita bawa semangat Ramadan ke dalam keseharian kita, agar keberkahan dan nilai-nilai kebaikan tidak hanya bertahan dalam satu bulan, tetapi terus hidup dalam diri kita sepanjang waktu.[]

 

 

 

Example 120x600