HeadlinePendidikan & Karier

Jeri At Thabari, Fire Engineer Asal Lhokseumawe Lulusan Belgia

×

Jeri At Thabari, Fire Engineer Asal Lhokseumawe Lulusan Belgia

Sebarkan artikel ini
Muhammad Jeri At Thabari. Foto: dok pribadi

SAAT mengenang kembali cita-cita masa kecilnya, Jeri tak bisa menahan diri untuk tidak terpingkal-pingkal. Cita-citanya bermacam-macam. Ia pernah bercita-cita untuk menjadi tukang mainan, ingin menjadi dokter, dan … pernah punya cita-cita bisa membuat Transformer atau robot di dunia nyata. Namun, kelak setelah dewasa, ia justru menjadi ahli di bidang fire science and engineering ‘ilmu dan rekayasa kebakaran’.

Melalui bidang ini, ia mempelajari sains di balik fenomena kebakaran. Bagaimana api akan menyala dan bergerak? Bagaimana pergerakan asap dan jelaga yang dihasilkan dalam memenuhi ruangan? Fenomena fisika seperti apa yang bisa diaplikasikan untuk mengendalikan proses pembakaran pada api? Hingga memahami karakteristik pembakaran ‘membara’ (smoldering combustion) dan pembakaran ‘menyala’ (flaming combustion). Banyak hal menarik yang Jeri pelajari dari bidang tersebut.

“Singkatnya, kita setara dengan Zuko sebagai pengendali api di serial animasi Avatar atau Portgas D. Ace di serial animasi One Piece,” kata Jeri untuk menggambarkan betapa menariknya cabang ilmu sains yang baru saja selesai ia pelajari di Ghent University, Belgia sana.

Muhammad Jeri At Thabari. Itulah nama yang diberikan oleh orang tuanya saat ia dilahirkan di Lhokseumawe bertepatan dengan tahun runtuhnya era Orde Baru. Ayah dan ibunya, Joni Jalil dan Ratnawati, memanggilnya Jeri. Ayah Jeri adalah mantan karyawan PT Pupuk Iskandar Muda. Sedangkan ibunya seorang PNS di SMPN 2 Lhokseumawe, mulanya sebagai guru tetapi belakangan pindah tugas ke bagian tata usaha.

Ikut Program Fast Track S-2

Jeri menghabiskan masa kanak-kanaknya di Kota Lhokseumawe. Enam tahun masa sekolah dasar ia enyam di SDN 3 Banda Sakti. Memasuki masa remaja, anak ketiga dari empat bersaudara itu pun hijrah ke Banda Aceh. Meskipun harus jauh dari ayah-ibu dan saudara-saudaranya, tetapi demi bisa sekolah di Fatih Bilingual School, tak masalah bagi Jeri. Enam tahun selama SMP dan SMA ia habiskan di sekolah asrama tersebut. Setelah tamat SMA, Jeri pun kembali mengangkat ransel dan melangkah lebih jauh. Ia merantau ke Tanah Jawa demi memeluk impiannya untuk kuliah di Program Teknik Mesin Universitas Indonesia (S-1).

“Waktu kuliah di UI ini sekalian dengan S-2. Saya mengikuti anjuran orang tua untuk ikut program fast track, jadi hanya dengan menambah masa studi satu tahun lagi saya sudah bisa menyelesaikan S-2. Lumayan, hemat setahun,” katanya kepada byklik, Selasa, 29 Juli 2025.

Program fast track atau percepatan di UI berhasil ia selesaikan pada Agustus 2021. Hanya berselang dua bulan setelah itu, Jeri kembali menggendong ransel. Ia melompat lebih jauh. Bukan hanya meninggalkan tanah lahir, melainkan juga tanah air. Bukan hanya antarpulau, melainkan antarbenua. Semua demi bisa kuliah di Ghent University, Belgia. Sebuah universitas riset negeri yang didirikan oleh Raja William I dari Belanda pada tahun 1817.

“Secara praktis, bidang yang saya pelajari adalah fire science and engineering. Tapi on paper, degree-nya itu electro-mechanical engineering atau semacam teknik mesin kalau di Indonesia pada umumnya,” kata Jeri.

Jeri merasa dirinya tercebur ke bidang tersebut karena terinspirasi dari Prof. Yulianto S. Nugroho. Ia adalah guru besar pertama di Indonesia di bidang fire science and engineering. Pembimbing Jeri saat S-1 di UI. Jeri mengagumi pribadinya sebagai sosok yang berdedikasi dan memosisikannya sebagai life mentor. Jadi, di awal-wal dulu Jeri sendiri tidak tertarik dengan latar belakang keilmuan sang profesor. Namun, semuanya berubah ketika ia harus membuat keputusan saat mendaftar program fast track di UI.

Calon mahasiswa harus memiliki jalur riset (research pathway) yang ingin digeluti nantinya. Tak bisa hanya modal semangat dan mau kuliah saja. Harus jelas tujuannya untuk apa, manfaatnya nanti gimana? Alhasil, Jeri pun memilih bidang yang sesuai dengan bidang kepakaran Yulianto. Motivasinya ‘supaya bisa belajar menjadi seperti beliau’ saking kagumnya Jeri pada sosok tersebut.

Baca Juga  Kemenhub Tegaskan Indonesia Airlines Belum Kantongi Izin Operasi, Ini Sebabnya

Setelah dipelajari, Jeri menemukan kejutan-kejutan bahwa ternyata bidang ini menarik dan cukup indah. Seperti yang telah ia sampaikan sebelumnya, meski tak jadi tukang mainan atau tukang robot, tetapi ia bisa menjadi Zuko atau Portgas si “pengendali” api. Pilihan ini sangat relevan mengingat salah satu bencana nonalam yang sering terjadi di Indonesia adalah kebakaran.

Dan aspek di atas baru berkaitan dengan sains di balik kebakaran, belum lagi dengan implikasinya terhadap evakuasi, kerugian finansial, kerusakan lingkungan, dan lain-lain.

“Jadi, saya menemukan bahwa ilmu ini amat sangat penting, unik, dan cukup indah,” katanya.

Bahkan kalau Jeri mengingat-ingat lagi, sejak kecil ia ingin sekolah karena ada tujuan yang definitif. Saat berumur tiga tahun, ia ingin segera bersekolah. Dalam pikiran kanak-kanaknya saat itu, betapa kerennya bersekolah. Ke mana-mana membawa tas.  Setelah cukup umur dan mulai diantarkan ke TK oleh ibunya, ia malah mulai sering membolos karena ternyata membosankan juga menjadi murid tadika. Inginnya baca komik saja di rumah. Apalagi, ponten-ponten yang diberikan oleh guru di sekolahnya “paling banter” hanya bintang 5.

“Sementara anak SD-SMP bisa sampai 100 nilainya. Jadi ,ya, kayaknya saya dari dulu pengin sekolah karena ada tujuan yang definitive, terlepas tujuan itu lumrah bagi orang dewasa atau tidak,” ujarnya.

Dari Universitas Indonesia ke Ghent University

Jeri bersama para dosen di kampus

Kesempatan Jeri untuk studi S-3 di Belgia berstatus fully funded dari Dewan Penelitian Riset Belgia untuk Pemerintahan Flanders (The Research Foundation–Flanders; FWO) atau semacam LPDP kalau di Indonesia.

Awalnya Jeri tak punya preferensi khusus harus melanjutkan studi ke negara mana. Kriterianya adalah kampus dengan grup-grup riset terbaik untuk bidang fire science and engineering. Syukurnya ia diterima di Ghent University–yang merupakan grup riset paling mahsyur spesialisasinya di Eropa untuk simulasi  computational fluid dynamic (CFD) pada kebakaran.

Jeri memulai program doktoralnya sejak kwartal akhir tahun 2021 hingga Juni 2025. Selama belajar di salah satu negara di barat Eropa itu, Jeri mengaktifkan seluruh pancaindranya agar bisa menyerap banyak hal. Ia sangat terkesan dengan sistem egaliter yang dipraktikkan dalam ekosistem belajar ataupun bekerja di Belgia.

“Sebagai doctoral student/researcher, kita diperlakukan layaknya kolega oleh supervisor/pembimbing karena secara teknis kita melakukan riset dalam satu project. Setiap pendapat dihargai dan tidak ada penyalahgunaan relasi kuasa dari supervisor ke pihak yang di supervise (i.e. doctoral student).”

Uniknya, meskipun konsep egaliter dipraktikkan, lingkungan kerja tetap hangat karena kepedulian yang timbul secara naluriah dari satu sama lain, tanpa ada paksaan. Lalu, apresiasi tidak pernah salah sasaran. Semua orang diapresiasi berdasarkan kepantasan dan kepatutan, sehingga tak ada sedikit pun fenomena “cari muka” atau mengeklaim pencapaian orang lain atas nama individu lagi.

“Jadi, saya merasa lingkungan kerja di grup riset saya sangat sehat dan prima,” kata Jeri yang menjaga semangat belajarnya melalui sepotong kalimat want to learn from the best.

Di Belgia, kata Jeri, program doktoral dilakukan berbasis riset, tanpa ada mata kuliah (courses) yang harus dipenuhi, kecuali jika latar belakang S-2 mereka agak melenceng dari topik riset saat studi S-3. Dengan demikian, hampir tidak ada interaksi belajar-mengajar antara profesor dan mahasiswa doktoral.

Dari amatannya, relasi kuasa antara profesor dengan mahasiswa S-1 atau S-2 secara umum juga berjalan sesuai rules. Tidak ada yang menyalahgunakan posisi atau jabatan. Mahasiswa dengan mudahnya bertanya kepada profesor dan pengampu mata kuliah, tanpa khawatir akan perilaku intimidatif dari dosen. Motto dari Ghent University sendiri adalah “dare to think”, jadi nilai ini benar-benar diterapkan dalam proses belajar-mengajar. Menjadi mahasiswa Ghent University adalah kesempatan untuk menguji keberanian berpikir seseorang.

Belasan tahun merantau: dari Lhokseumawe ke Banda Aceh; dari Banda Aceh ke Jakarta; dan dari Jakarta ke Ghent, ternyata Jeri masih juga mengalami beban psikis karena berada sangat jauh dari keluarganya. Perasaan ini cepat sekali ia sadari tak lama setelah memijakkan kaki di Kota Ghent–ibu kota Provinsi Flandria Timur dan tercatat sebagai kota terbesar kedua di Belgia dari segi jumlah penduduk.

Baca Juga  KRI Teluk Palu-523 Kembali Bersandar di Krueng Geukueh, Ada Apa?

Awalnya, Jeri cukup pede kalau dirinya tak akan rindu pada kampung halaman. Ternyata, merantau sejak SMP tak bisa jadi garansi. Pasalnya, jarak Lhokseumawe–Ghent terlampau jauh. Butuh berhari-hari perjalanan lintas benua-lintas negara kalau ingin menengok ayah ibunya.

“Belum lagi, setidaknya bagi saya, bagaimanapun enaknya work-life-balance yang terjaga dan semua fasilitas mumpuni yang bisa kita nikmati sebagai penduduk sini, tetap, Banda Aceh masih lebih nyaman,” katanya lagi.

Di Indonesia, banyak toko yang buka hingga larut malam, sementara di sina, pukul delapan malam sudah sulit untuk berbelanja. Di Indonesia, kalau larut malam kita lapar, malas memasak, atau pengin jajan, banyak opsi yang tersedia. Sedangkan di Ghent, jajanan (street food stall) tidak banyak dan kedai makan atau restoran hanya buka hingga pukul sepuluh malam. Belum lagi, soal rasa makanan yang sangat jauh berbeda dari makanan yang kita makan di Indonesia.

Untuk menyiasati rasa kangen pada kampung halaman, dan untuk memanjakan lidahnya, Jeri kerap memasak sendiri. Ia juga melalaikan diri dengan membaca buku-buku sastra, seperti Breast and eggs karya Mieko Kawakami. Saat ini sedang membaca The Three-Body Problem karya Cixin Liu. Jeri juga menonton semua film dari berbagai genre asalkan amanatnya bagus.

Bekerja sebagai Fire Engineer di Ignis Fire Risk

Dengan rekan-rekan kuliah.

Meskipun studinya sudah selesar sejak Juni 2025 lalu, tetapi saat ini Jeri masih di Belgia karena ia harus menunggu masa kontrak selesai hingga September nanti. Per akhir September, ia akan mulai “uji nyali” dengan bekerja sebagai fire engineer di sebuah perusahaan konsultansi fire safety engineering di Indonesia, Ignis Fire Risk. Perusahaan ini merupakan perusahaan pertama di Indonesia yang khusus atau spesialisasinya di konsultansi kebakaran berbasis sains dan rekayasa (engineering).

Bagi Jeri, pendidikan sangatlah penting dan tak boleh dianggap sepele. Selama ada kesempatan, harus terus digapai dan digenggam. Ia juga memotivasi generasi muda yang saat ini sedang dalam masa-masa sekolah, jangan terkecoh dengan argumen-argumen menyesatkan semacam “Bill Gates dan Steve Job di-DO dari kampusnya tapi tetap bisa sukses”.

“Perlu diketahui bahwa mereka di-DO dari kampus top dunia, meaning, they are worthy to be there at the very first place. Ada satu scene dari satu film Indonesia berjudul Alangkah Lucunya Negeri Ini tentang pendidikan yang cukup saya yakini, yaitu percakapan dua karakter, yang satunya bilang ‘pendidikan itu enggak penting’, yang satu lagi bilang ‘setidaknya kamu butuh pendidikan untuk tahu kalau pendidikan itu tidak penting’. Jadi, selama kamu dikasih kesempatan dan rezeki oleh Allah untuk terdidik, take that privilege and appreciate it to your heart content,” ujar Jeri serius.

Ia juga memotivasi anak-anak muda untuk tidak kebanyakan membuang waktu pada TikTok atau bermain game nirfaedah. Harus lebih banyak membaca, budayakan saring sebelum sharing, dan belajar bahasa Inggris dengan serius. Saat ini kata Jeri, banyak “tembok” tak kasat mata yang bisa “dirobohkan” dengan kemampuan bahasa Inggris yang mumpuni. Menguasai bahasa Inggris tak sama dengan menjadi sombong sehingga tak perlu khawatir dianggap tidak cinta bahasa endatu. Kemampuan ini akan membuat seseorang memiliki “pintu Doraemon” yang membuka akses pada ilmu pengetahuan yang lebih luas.

“Dan kalau ada yang bilang ‘lam kubu han jitanyöng basa Inggréh‘, jangan langsung percaya, karena mereka sendiri belum ada pengalamannya ‘kan (?)” kelakar Jeri.

Ia sendiri berpendapat, actions speak louder than passive thought. Ya, tindakan nyata memang lebih berpengaruh dibandingkan ‘no action talk only’. Karena itu pula, Jeri mengajak semua orang untuk terus action menggemakan free free Palestine![]

Example 120x600