Hiburan & Budaya

Sunyi di Ruang Gelap, tentang Negara yang Absen dari Layar Publik

×

Sunyi di Ruang Gelap, tentang Negara yang Absen dari Layar Publik

Sebarkan artikel ini

Oleh Akbar Rafsanjani*

Dalam diskursus pembangunan kebudayaan, perfilman sering kali hanya dilihat sebagai bagian dari industri hiburan. Dianggap sebagai sektor ekonomi kreatif, film dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, atau peningkatan citra daerah. Tetapi pendekatan semacam ini mengabaikan bahwa film pada hakikatnya adalah praktik budaya dan pengetahuan visual. Jika negara atau pemerintah daerah ingin terlibat serius dalam dunia perfilman, maka intervensi yang perlu mereka lakukan bukan hanya dalam produksi, melainkan dalam menciptakan infrastruktur publik untuk penayangan dan pengarsipan film yang dapat diakses semua warga.

Apa yang dimaksud dengan infrastruktur publik perfilman? Ini adalah jaringan institusi, ruang, teknologi, dan sistem kuratorial yang memungkinkan masyarakat menyaksikan film-film bermutu secara rutin, gratis atau dengan biaya terjangkau. Dalam konteks yang mendorong diskusi, refleksi, dan pembelajaran. Ini bukan sekadar membangun bioskop, tetapi menciptakan sebuah ekosistem budaya yang menjadikan film sebagai bagian dari kehidupan intelektual dan sosial masyarakat.

Menurut Larkin (2013), infrastruktur publik perfilman mencakup elemen material dan non-material. Jaringan distribusi, proyektor, tempat pemutaran, listrik, teknologi digital, institusi pendidikan, regulasi, pelatihan teknis, arsip, hingga kuratorial dan kritik sinema. Secara historis, gagasan tentang cinema as infrastructure memperluas cakupan infrastruktur ke ruang institusi yang mendidik dan distribusi pengetahuan, bukan sekadar alat teknis.

Dalam kajian sejarah pendidikan sinema di Amerika Utara dan Eropa pada awal abad ke-20, Dahlquist & Frykholm menyoroti peran krusial universitas dan layanan ekstensi (extension departments) dalam membangun jaringan film edukatif nasional. Mereka membentuk perpustakaan film (film libraries), distribusi melalui sekolah atau komunitas, dan memperluas jangkauan film edukasi ke populasi umum, bukan hanya ke bioskop komersial 

Dalam ekosistem ideal tersebut, tersedia ruang-ruang penayangan film yang bebas tiket, terbuka untuk publik, dan dikelola oleh institusi pendidikan atau kebudayaan. Di ruang-ruang ini, film tidak dipilih berdasarkan potensi keuntungannya, melainkan atas dasar nilai historis, estetis, dan pedagogisnya. Penayangan dikurasi oleh kurator atau programmer yang berasal dari tenaga pendidik, peneliti, seniman, atau pelaku budaya yang memahami pentingnya literasi film dan membangun keterhubungan antara film lintas waktu dan genre.

Baca Juga  Makam Pahlawan Nasional Teuku Umar Selesai Direnovasi, Diresmikan Pangdam IM

Disini, peran programmer film akhirnya mendapatkan tempat, dan menjadi tak terelakkan. Peter Bosma dalam bukunya Film Programming: Curating for Cinemas, Festivals, Archives (2015) menyebut proses ini sebagai praktik kuratorial sinema, yang menempatkan film programmer bukan hanya sebagai penyusun jadwal, tetapi sebagai “penjaga budaya sinema” (custodians of cinema culture). Mereka yang bertanggung jawab menjaga keragaman film dan menyambungkan masa lalu sinema dengan audiens masa kini. Tentu saja programmer ini memiliki pengetahuan yang cukup tentang sejarah dan perkembangan sinema.

Dengan cara ini, film klasik, dokumenter penting, sinema dunia, hingga film eksperimental bisa terus hidup, tidak sekadar diarsipkan, tetapi ditonton dan dibicarakan. Di sinilah film benar-benar menjadi bagian dari pendidikan publik dan penciptaan ruang dialog.

Infrastruktur perfilman publik juga mencakup ruang kerja untuk produksi pengetahuan dan pelatihan teknis. Mahasiswa atau peserta didik yang belajar tentang film, arsip audiovisual, atau sejarah media dapat dilibatkan dalam kegiatan kuratorial atau restorasi. Proyek-proyek ini tidak berhenti di ruang kelas, tetapi menghasilkan karya nyata yang diputar untuk publik. Pengetahuan tidak disimpan, tetapi didistribusikan kembali kepada masyarakat.

Bosma menyebut bahwa programmer film beroperasi dalam jejaring perantara (network of intermediaries) yang mencakup institusi pendidikan, laboratorium arsip, pengelola ruang pemutaran, dan penonton itu sendiri. Sinema dalam model ini bukan aktivitas terputus, melainkan siklus berkelanjutan antara produksi, kurasi, pemutaran, dan apresiasi.

Selain ruang pemutaran, perpustakaan publik juga berperan penting sebagai simpul distribusi film yang adil. Idealnya, perpustakaan tidak hanya menyediakan koleksi buku, tetapi juga film dalam berbagai format. Mulai dari DVD, VCD, bahkan akses ke platform digital kurasi seperti Kanopy, atau sekarang di Indonesia ada platform seperti Bioskop Online, Klik Film, hingga Rangkai. Perangkat pemutar (DVD player, proyektor portable) pun dapat disediakan sebagai bagian dari layanan peminjaman. Ini penting, agar kesenjangan teknologi tidak menjadi penghalang dalam mengakses film.

Sejak dekade 1920-an di Amerika Serikat, perpustakaan publik sudah meminjamkan koleksi film 16 mm/DVD/VCD sebagai bagian dari program edukasi dan dokumenter. Rossi‑Snook (2005) mencatat bahwa koleksi film ini pernah sangat beragam. Mulai dari film pendidikan, dokumenter, film avant‑garde, hingga proyek mahasiswa.

Baca Juga  Dosen ISBI Aceh Tiga Tahun Berturut Juarai Sayembara Cerita Anak

Dengan cara ini, perpustakaan menjadi gerbang ke literasi film, menyediakan film-film yang tidak hadir di bioskop komersial, seperti dokumenter, sinema minoritas, film restorasi, dan karya sinema dunia yang berkualitas tinggi.

Agar film bermutu dapat ditonton dengan kualitas maksimal, ruang-ruang penayangan publik perlu dilengkapi proyektor yang mumpuni. Termasuk di dalamnya kemampuan memutar film dalam berbagai format: digital (DCP), seluloid (35mm, 16mm), dan format klasik lainnya. Hal ini memungkinkan pemutaran film-film yang telah direstorasi dalam bentuk aslinya. Dengan cara ini, pengalaman menonton tidak hanya berfungsi sebagai konsumsi hiburan, tetapi juga sebagai pengalaman sejarah yang utuh.

Seperti yang dijelaskan Bosma, teknologi bukan hanya alat, tetapi bagian dari cinema dispositif, perangkat yang membentuk bagaimana penonton menerima dan memaknai film. Ruang, pencahayaan, kualitas suara, bahkan posisi duduk dalam bioskop, semuanya mempengaruhi makna film dalam benak penonton.

Gagasan tentang infrastruktur publik perfilman bukanlah mimpi utopis, tetapi kebutuhan konkret jika kita mengakui bahwa film adalah bagian dari ekosistem pengetahuan dan budaya. Walaupun selama ini semua yang berhubungan dengan infrastruktur publik perfilman terbangun secara organik oleh kelompok masyarakat seperti komunitas film, yang sebenarnya itu adalah tanggung jawab negara atau pemerintah daerah untuk menyediakan infrastruktur publik untuk masyarakat, lewat regulasi dan pembangunan sarana dan prasarana.

Negara atau pemerintah daerah tidak perlu membangun studio film atau mensubsidi produksi besar-besaran. Yang lebih fundamental dan berjangka panjang adalah membangun akses ruang untuk menonton, institusi untuk mengkurasi, teknologi untuk memutar, dan sistem distribusi yang adil.

Seperti yang dikatakan Bosma, tugas programmer film bukan hanya menyusun program, tetapi “mengaktifkan percakapan” dan menciptakan pengalaman bersama. Dalam konteks ini, negara dan masyarakat sipil dapat bersama-sama mengambil peran sebagai programmer kolektif yang memastikan bahwa sinema tidak hanya hidup di layar lebar, tetapi juga dalam pikiran dan percakapan publik.[]

Editor: Ihan Nurdin

*Akbar Rafsanjani adalah kurator film, sekarang bermukim di Wisconsin, Amerika Serikat. Baca tulisan film lainnya di akun Letterboxd pribadinya: https://letterboxd.com/akbarrafs/films/reviews/

 

Example 120x600