SAAT pertama kali bergabung dengan komunitas film pada 2014 silam, Akbar Rafsanjani tak pernah membayangkan bahwa ia bisa merasakan dan menyaksikan langsung bagaimana film difestivalkan di Amerika—negara yang disebut-sebut sebagai “kiblat” industri film dunia. Namun, ia begitu tekun mempelajari industri perfilman Hollywood dan membandingkannya dengan industri film dari negara-negara lain, seperti Bollywod, Eropa, Asia, bahkan Indonesia. Lucunya, ia mempelajarinya dengan presumsi bahwa industri Hollywod itu jelek, kapitalis, dan sejenisnya.
“Padahal, secara historis, dia juga merupakan bagian dari sejarah perlawanan akan industri,” kata Akbar seolah ‘mengklarifikasi’ asumsinya selama ini tentang film-film besutan Hollywood sat berbincang dengan byklik, Selasa malam, 29 Juli 2025.
Namun, siapa sangka jika ia kini bisa merasakan langsung iklim perfilman di negeri Paman Sam itu. Bahkan, belum lama ini Akbar terlibat sebagai relawan pada Wisconsin Film Festival (WFF). Sebuah pengalaman yang memberinya perspektif baru tentang tata kelola festival film yang ideal. WFF merupakan festival film tahunan yang usianya sudah lebih dari seperempat abad sejak dicetuskan pada 1999 silam. Festival ini diadakan setiap April di Kota Madison, Wisconsin—tempat Akbar kini bermukim sejak tahun 2024.
Festival ini sebenarnya dicetuskan oleh University of Wisconsin-Madison, Communication and Arts Department dan kini menjadi festival film berbasis kampus terbesar di Amerika Serikat. Mulanya, festival ini hanya berlangsung selama lima hari, tetapi sekarang diperpanjang menjadi delapan hari karena animo masyarakat yang tinggi. Persiapan teknisnya kurang lebih selama setahun, sedangkan pertemuan para relawan pertama kali dilakukan dua bulan sebelumnya. Ada ratusan film dari dan luar Amerika yang diputar selama lebih sepekan durasi dan genre yang berbeda, seperti film cerita, dokumenter, dan film pendek. Bagi Akbar, ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan, sekaligus menambah “jam terbangnya” sebagai programer film.
“Lokasi pemutarannya pun tidak berpusat di satu tempat sehingga pengunjung bebas memilih lokasi dan film yang sesuai minat mereka,” kata Akbar.
Menariknya kata Akbar, festival ini berhasil menjadi rantai ekonomi bagi Kota Madison. Penontonnya berdatangan dari berbagai kota di Wisconsin, yakni sebuah negara bagian di tengah Amerika Serikat. Saat festival berlangsung, hotel-hotel di Madison menjadi penuh, bahkan sudah dipesan jauh-jauh hari.
Akbar Rafsanjani adalah seorang programer film yang selama ini aktif di Yayasan Aceh Documentary (YAD). Selama dua tahun terakhir, pria asal Pidie itu hijrah ke Amerika Serikat dan bermukim di sana. Selama di Amerika, pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan film tetap ia lakoni secara remote. Pada Februari 2025, ketika ia mendapatkan informasi tentang penerimaan relawan WFF, Akbar pun tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Ia segera mendaftar via surel.
“Alhamdulillah, saya lolos, pemberitahuannya via surel juga. Bagi relawan yang lolos seleksi diminta untuk membuat akun di betterimpact.com. Hal-hal teknis yang berkaitan dengan tugas kita ada di portal tersebut.”
Betterimpact.com adalah portal yang dikelola khusus oleh penyelenggara FFW. Portal ini sengaja dihadirkan untuk mengurangi beban administrasi penyelenggara. Semua proses administratif relawan selama kegiatan berlangsung terdata dan terkelola secara online. Dari segi waktu dan tenaga, jadi sangat efektif dan efisien. Misalnya, kata Akbar, mengenai penentuan jam kerja selama menjadi relawan, relawan tinggal memilih sesuai jadwal yang sudah tercantum di portal. Apakah mau masuk di pagi, siang, sore, atau malam hari. Durasi jam kerja juga tidak begitu panjang, per sesi hanya selama tiga jam. Pembatasan ini dilakukan untuk menghindari terjadinya eksploitasi tenaga dan waktu relawan yang telah mendedikasikan dirinya untuk menyukseskan festival. Relawan pun tidak perlu menghabiskan waktunya di lokasi festival selama seharian.
Begitu juga dengan pendistribusian tiket bagi penonton. Semuanya dipesan secara daring melalui aplikasi. Nanti saat hari-H, penonton tinggal hadir ke lokasi dan menunjukkan kode bar yang akan dipindai oleh para relawan sebagai syarat masuk ke tempat pemutaran. Relawan juga bisa memilih bertugas di bagian yang mereka sukai, apakah sebagai house staff (ticketting), liaison officer (LO), atau festival support (set ruangan, dll).
“Antara satu bagian dengan bagian lain tidak ada yang tumpang tindih pekerjaan. Setiap relawan hanya fokus pada job desk mereka masing-masing. Misalnya, di bagian ticketting, tugas relawan hanya memindai tiket masuk saja. Kalau di bagian set ruangan, memastikan ruangan sudah bersih dan siap dipakai lagi untuk pemutaran film selanjutnya,” kata Akbar.
Berbeda halnya dengan festival-festival di Indonesia yang para relawannya dominan anak-anak muda, para relawan FFW justru didominasi oleh para “veteran” yang sudah memasuki usia masa pensiun. Mereka datang dari berbagai kota di Wisconsin secara sukarela dan dengan biaya sendiri selama menjadi relawan. Orang-orang muda yang seusia Akbar, bisa dihitung dengan jari. Rata-rata orang muda ini adalah mahasiswa-mahasiswa yang kuliah di kampus-kampus yang ada di Kota Madison. Penonton pun demikian, banyak dari kalangan para “sesepuh”.
Meskipun para relawan tidak mendapatkan “fasilitas” semacam makan, kudapan, atau biaya transportasi, peminatnya tetap banyak. Motivasi mereka menjadi relawan umumnya memang untuk mencari “kesibukan” dan bersosialisasi. Namun, bukan berarti tidak ada kompensasi sama sekali bagi relawan.
“Kompensasinya itu adalah tiket film. Jadi, kalau kita rajin, kita bisa mengumpulkan banyak tiket menonton gratis. Para relawan bisa memanfaatkan waktu-waktu kosong di sela-sela bertugas untuk menonton,” katanya.
Bagi Akbar, justru “reward” tiket itu yang menarik. Dalam banyak festival, seringnya relawan sama sekali tak mendapat kesempatan untuk menonton film-film bagus selama festival berlangsung karena sibuk pada hal-hal teknis, yang bahkan di luar tupoksinya.
Bagi Akbar, menonton film lebih dari sekadar sebuah tontonan untuk mencari hiburan. Menurutnya, banyak elemen dalam film yang membuka celah untuk diskusi di luar teknis produksi, seperti soal kultur, filsafat, dan ideologi yang terkait dengan kehidupan sehari-hari. Film dapat menjadi salah satu ruang belajar untuk mempelajari banyak hal yang kompleks.
Ia sendiri mulai terpapar dengan film sejak usia dini. Keluarganya adalah penggemar berat film India. Namun, keterlibatannya dalam proses-proses produksi film baru dimulai sejak tahun 2014. Ketika ia mengikuti kompetisi film dokumenter yang diadakan oleh Aceh Documentary. Dari sinilah karya dokumenter pertamanya lahir, “Teungku Rangkang” yang berkisah tentang seorang teungku rangkang atau guru mengaji di dayah (pesantren).
Lama-lama, Akbar merasa bahwa film adalah renjananya. Alhasil, ia tak menolak ketika mendapat tawaran dari ADC untuk menjadi supervisor yang mendampingi proses produksi film para peserta Aceh Documentary Junior 2015. Sejak saat itu, Akbar mulai fokus mengikuti kelas-kelas kritik film. Sembari terus membangun jejaring di komunitas film di tingkat lokal, nasional, bahkan internasional, termasuk dalam berbagai festival film.
“Saya menyadari bahwa passion saya ada pada menulis, jadi fokus saya menjadi kritikus film dan programmer/kurator film,” ujarnya seraya menyebutkan, curah pikirnya tentang film atau isu-isu terkait lainnya terdokumentasi di https://letterboxd.com/akbarrafs/films/reviews/.
Berkaca dari pengalamannya menjadi relawan FFW, orang-orang di AS menurutnya cukup peduli dengan tontonan dan diskusi tentang film. Hal ini, bisa jadi karena akses mereka pada film lebih muda. Misalnya, sebut Akbar, di semua perpustakaan publik di sana mempunyai DVD film yang bisa dipinjam gratis. Juga terdapat klub-klub menonton yang selalu penuh—tak terkecuali tontonan-tontonan yang berbayar.
“Dalam hal penyelamatan arsip film, mereka juga punya lembaga yang proper. Hiburan selain menjadi industri juga menjadi kajian dalam pendidikan.”
Dalam setahun, tak kurang dari 500 judul film yang ditonton Akbar untuk berbagai keperluan, utamanya untuk kepentingan kurasi festival film. Ia bahkan pernah menonton hingga tiga ribu judul film panjang dan/atau pendek dengan berbagai genre. Sanggup, tuh?[]