Editorial

Mengantisipasi Susutnya Lahan Persawahan

Avatar
×

Mengantisipasi Susutnya Lahan Persawahan

Sebarkan artikel ini
Areal persawahan di Punteut Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe. Foto: Wahyuni

Kementerian Pertanian menargetkan produksi padi secara nasional mencapai 32 juta ton pada 2025 ini untuk mendukung swasembada pangan yang ditargetkan tercapai pada 2027 mendatang. Untuk Aceh, pemerintah membebankan sekitar 1,6 juta ton.

Sepintas, target itu sangat realistis karena tidak jauh berbeda dengan hasil produksi pada 2024 lalu. Di tengah konsentrasi semua pihak—bahkan turut melibatkan TNI—untuk mendukung swasembada pangan, harusnya kita menatap target tersebut secara realisrtis, apalagi jika membaca visi dan misi Pemerintah Mualem – Dek Fad, salah satunya adalah meningkatkan produktivitas sektor pertanian.

Di tengah optimisme tersebut, Aceh sebagaimana daerah lain di Indonesia, kini berhadapan dengan sejumlah kenyataan yang berpotensi menurunkan produksi pertanian. Jumlah lahan persawahan dari tahun ke tahun makin berkurang. Data Dinas Pertanian Aceh menunjukkan, pada 2010 luas sawah 363.111 hektar. Tiga tahun kemudian, luas lahan menurun menjadi 334.384 hektar.

Pada tahun 2016, luas lahan pertanian di Aceh turun lagi menjadi 307.410 hektar dan pada 2023 tambah menyusut menjadi 213.998 hektar. Terlihat penyusutan luas lahan terjadi secara simultan di 22 kabupaten dan kota di Aceh, kecuali Kota Sabang yang tidak memiliki lahan persawahan.

Baca Juga  Benahi Iklim Investasi di Aceh

Di kawasan Cot Gapu, Kota Juang, Kabupaten Bireuen, terlihat jelas bagaimana areal persawahan beralih fungsi menjadi kafe. Di tempat lain tak jauh beda, lahan sawah beralih fungsi menjadi perumahan dan pertokoan. Atau sebagian dibiarkan begitu saja menjadi lahan tidur bertahun-tahun.

Sejumlah pemilik lahan di Cot Gapu mengungkapkan, mereka lebih memilih menjual atau menyewakan lahan daripada menggarapnya. Pertimbangan ekonomi menjadi alasan pengalihan fungsi lahan tersebut. Ada yang menjual lahan sampai Rp300 ribu per meter karena lokasinya strategis. Ada juga yang memilih menyewakan dalam jangka waktu tertentu dengan pertimbangan yang lebih ekonomis di masa mendatang.

Ironisnya, di tengah kondisi seperti itu pemerintah malah menggulirkan program pencetakan sawah baru seluas 3 juta hektar dengan membabat hutan, selain program intensifikasi lahan yang sudah ada. Langkah ini, selain dinilai tidak terlalu berpengaruh terhadap peningkatan produksi lahan, juga tidak ramah lingkungan. Beberapa titik pembukaan lahan baru seperti di Papua, Kalimantan, dan Sumatra, malah terbengkalai seperti di Papua dan Sumatra Selatan, sementara hutan sudah telanjur rusak. Harusnya pemerintah bercermin dari program pembukaan lahan gambut yang menelan Rp1,6 triliun tapi tidak memberikan hasil.

Baca Juga  Media Massa Daring di Era AI

Kenyataan itu diperburuk dengan semakin rendahnya minat generasi muda untuk menjadi petani. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik pada 2021, persentase usia 16 – 30 tahun yang bekerja di sektor pertanian menurun drastis. Kini hanya 3,95 juta petani muda, termasuk generasi milenial, atau sekitar 21,9 persen dari total petani di Indonesia.

Jadi, program swasembada pangan, terutama beras, menghadapi tantangan komplek di tengah kondisi negatif di atas. Moderisasi alat dan sarana pertanian serta masuknya teknologi, perlu dilakukan tanpa merusak kearifan lokal masyarakat tani. Tanpa sistem yang efektif dan efisien, mustahil bisa mengoptimalkan hasil pertanian.[]

 

Example 120x600