Baitul Mal Aceh atau BMA memiliki program inovatif dengan memberikan asuransi ketenagakerjaan bagi petani miskin. Program ini dinilai menjadi salah satu upaya strategis untuk melindungi tenaga kerja rentan yang selama ini belum tersentuh jaminan sosial.
Kabupaten Aceh Besar dipilih sebagai lokasi pilot project. Jika ini berhasil, diharapkan program serupa dilanjutkan di kabupaten kota lainnya di Aceh. Bisa saja nanti kelompok sasaran bukan hanya petani miskin, tetapi juga profesi lainnya yang selama ini hidup di bawah garis kemiskinan.
Dengan potensi yang dimilikinya, seharusnya Baitul Mal Aceh memang dapat menjangkau berbagai program pemberdayaan masyarakat khususnya pada aspek-aspek yang selama ini belum digarap instansi terkait.
Baitul Mal Aceh adalah lembaga non-struktural di Aceh yang mengelola dana zakat, wakaf, dan harta agama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk petani miskin. Asuransi bagi petani miskin diharapkan menjadi salah satu program inovatif yang berkesinambungan.
Program ini dimulai dengan pendataan petani miskin di Aceh Besar. Tahapan ini seharusnya sudah selesai jauh-jauh hari jika instansi terkait selalu memperbaharui data yang mereka miliki.
Masalah data yang akurat, lengkap, dan mudah diakses masih menjadi pekerjaan rumah klasik yang belum selesai, atau sengaja tidak diselesaikan dengan berbagai alasan. Soal politisasi data warga miskin untuk mendapat tambahan bantuan, sudah berlangsung lama.
Selain asuransi ketenagakerjaan, Baitul Mal Aceh juga dapat mendukung petani miskin melalui pemberian modal usaha berbasis zakat produktif, yang dapat dianggap sebagai bentuk “asuransi ekonomi” untuk mencegah kerugian finansial. Dana zakat digunakan untuk modal kerja, pelatihan, dan pendampingan agar petani bisa mandiri.
Modal tanam ini bisa membantu petani dalam mengatasi keterbatasan finansial dan risiko gagal panen karena berbagai sebab.
Selama ini, petani miskin tidak memiliki akses dengan sumber pembiayaan. Di sinilah dibutuhkan peran optimal Baitul Mal Aceh sebagai lembaga keuangan mikro syariah yang menawarkan solusi berbasis prinsip tolong-menolong untuk petani miskin. Ini mencakup pembiayaan usaha mikro yang mengurangi ketergantungan pada sistem ribawi, sehingga petani memiliki “jaring pengaman” finansial.
Baitul Mal Aceh sudah memiliki payung hukum Qanun Nomor 10 Tahun 2007 yang memberikan kewenangan untuk mengelola dana zakat secara produktif, termasuk untuk sektor pertanian. Program asuransi bagi petani dan modal usaha lainnya merupakan implementasi dari regulasi tersebut.
Tantangannya selalu ada. Selain keterbatasan data, anggaran juga sangat terbatas. Kesadaran masyarakat dan perusahaan dalam membayar zakat, infak, dan sedekah kepada Baitul Mal masih relatif rendah. Beberapa perusahaan minyak dan gas yang diharapkan ikut membayar zakat sesuai regulasi daerah, sejauh ini masih mengabaikannya.
Padahal, Aceh memiliki potensi zakat luar biasa jika segala isntrumen zakat menjadi ibadah sosial dan bukan sebagai ibadah individu, sebagaimana yang ditulis Dr Damanhur Abbas Lc, dosen Universitas Malikussaleh dalam bukunya Zakat di Negeri Syariat.
Dibutuhkan kesadaran membayar zakat yang mengakar di setiap individu dan korporat untuk mengatasi anggaran yang terbatas. Di sisi lain, Baitul Mal juga harus bisa menjadi dipercaya melalui pengelolaan dana yang transparan, akuntabel dan profesional, serta seluruh aktivitas sesuai nilai syariat.[]