Ekonomi & Bisnis

Hanya 7 Persen CPO Aceh Diekspor Lewat Pelabuhan Sendiri, Rp372 Miliar Menguap di Jalan Raya Setiap Tahun

Avatar
×

Hanya 7 Persen CPO Aceh Diekspor Lewat Pelabuhan Sendiri, Rp372 Miliar Menguap di Jalan Raya Setiap Tahun

Sebarkan artikel ini
Safuadi
Pemerhati ekonomi dan pembangunan Aceh, Safuadi. Foto: Dok. Pribadi

Byklik.com | Banda Aceh — Produksi crude palm oil (CPO) Aceh sudah menembus 1 juta ton per tahun. Angka ini tercatat dalam laporan Dinas Pertanian Perkebunan dalam rilis data pada 14 Oktober 2024. Jumlah tersebut merupakan 2,41% dari total produksi CPO nasional.

Dengan luas kebun ± 470 ribu hektare dan 63 pabrik kelapa sawit (PKS) aktif, sawit menjadi tulang punggung ekspor non migas provinsi. Namun, hanya 70 ribu ton—setara 7%—yang diekspor via pelabuhan di Aceh seperti Krueng Geukueh (Aceh Utara) dan Calang (Aceh Jaya). Sedangkan sisanya ± 930 ribu ton terpaksa diangkut dengan truk tangki menuju dermaga ekspor di Sumatra Utara.

Ilustrasi hitungan biaya logistik CPO Aceh:
• Ongkos darat: Rp400 ribu per ton
• Beban truk berat: 930.000 t ÷ 35 t/truk ≈ 26.571 perjalanan/tahun (742 truk per hari)
• Uang logistik “hilang” ke luar Aceh: 930.000 t × Rp400.000 = Rp372 miliar per tahun

Jika langsung diekspor dari Aceh maka pengusaha CPO Aceh tidak perlu mengeluarkan ongkos angkut darat sebesar 2,4 miliar untuk setiap kali pengapalan (6 ribu ton per kapal dikali 400 ribu rupiah per ton.

“Jika seluruh CPO diekspor dari pelabuhan Aceh, bea keluar yang kini dinikmati provinsi lain akan berpindah ke Aceh dan nilainya bisa ratusan miliar,” dan akan berdampak pada hitungan Dana Bagi Hasil bagi Aceh,” ungkap Safuadi, pemerhati ekonomi dan pembangunan Aceh, dalam tulisannya yang diterima ByKlik, Rabu (23/4).

Baca Juga  PT Flora Agung Bakal Bangun Pabrik Minyak Goreng di Aceh

Pelabuhan Ekspor Representatif, Pengungkit PAD

Safuadi mengutip hasil kajian cepat Kementerian Keuangan sebagai unit pengelola Creative Financing KPBU dengan dukungan Dinas Perhubungan memperkirakan investasi ± Rp 700 miliar untuk memodernisasi Pelabuhan Krueng Geukueh.

“Dengan throughput fee sekitar Rp55 ribu per ton, skema KPBU untuk pengembangan dermaga akan mampu balik modal dalam tujuh sampai delapan tahun,” jelasnya.

Selain itu, kata dia, juga dapat menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) lebih dari Rp 40 miliar/tahun dari retribusi bongkar muat, menaikkan harga tandan buah segar (TBS) petani ± Rp 100–150/kg karena potongan transpor berkurang, dan membuka peluang hilirisasi oleokimia dan biodiesel di kawasan pelabuhan.

Pelabuhan ekspor yang dapat dikembangkan dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) ini bukan hanya Krueng Geukueh namun juga Pelabuhan Calang (termasuk juga membangun breakwater), Pelabuhan Meulaboh, Pelabuhan Surin–Abdya dan juga Pelabuhan Singkil.

Jalan atau Pelabuhan Ekspor, Aceh Memilih?

Lebih jauh, Safuadi menyebut, tanpa percepatan proyek pengembangan pelabuhan ekspor, provinsi akan terus “membayar” Rp 372 miliar setahun untuk jarak ±600 kilometer—baik jalur timur maupun barat—menuju Sumatra Utara yang sebetulnya bisa dipangkas ke bibir laut sendiri.

“Angka itu belum menghitung beban APBN untuk pemeliharaan jalan nasional, tersendatnya arus barang, hingga jejak karbon ribuan truk tangki yang saban hari menderu di aspal Aceh,” bebernya.

Baca Juga  Bertemu Menteri Ekraf, Gubernur Aceh Minta Perhatian Khusus untuk Pengembangan Ekonomi Kreatif

Membangun dermaga ekspor CPO bukan semata urusan beton, pipa, dan tangki. Ini adalah titik balik rantai nilai sawit Aceh—transformasi dari sekadar pemasok bahan mentah menjadi simpul logistik dan industri yang mempertebal pundi pundi daerah.

“Tanpa pelabuhan, uang kita mengalir keluar. Dengan pelabuhan, nilai tambah mengalir pulang,” ujar Safuadi.

“Mari bayangkan Aceh di mana Kapal-Kapal CPO bersandar di Krueng Geukueh, Cang, Meulaboh, Surin dan Singkil, dimana warga lokal mengoperasikan loading arm, dan kapal tanker bertolak ke Mumbai atau Rotterdam sambil membawa bendera “Aceh Origin Palm Oil”. Bayangkan pula remaja Pidie Jaya, Bireuen, Takengon magang di laboratorium oleokimia modern—bukan lagi merantau bekerja di luar daerah,” ucapnya.

Keputusan ada di meja para pemimpin daerah hari ini. Setiap bulan tanpa progres berarti puluhan miliar rupiah kembali tergerus di jalan raya. Jika Aceh sungguh ingin lepas dari label “hanya lumbung bahan mentah”, maka dermaga ekspor CPO adalah pintu gerbangnya.

“Karena infrastruktur bukan hanya batu dan baja; ia adalah janji masa depan yang jika terlambat diwujudkan akan ditagih oleh anak cucu kita besok,” tutup Safuadi, putra asli Aceh kelahiran Bireuen itu. []

Example 120x600